17. SP

1328 Words
Huzam tiba di sekolahnya tepat sebelum pintu gerbang ditutup. Satu menit lagi, bisa jadi akan berbeda ceritanya. Pak Muslim yang kebetulan berjaga di depan menatap sinis ke arahnya.                “Jalan kaki?”                Huzam mengangguk. Ia tidak perlu menjelaskan pada guru BK itu. Tidak penting sama sekali menurutnya. Ia memilih segera memasuki halaman sekolah dengan penuh percaya diri.                “Nggak ke kelas!” seru Pak Muslim. Huzam dan rekan-rekannya wajib mengisi daftar hadir di ruang BK. Tergantung siapa yang ada di sana yang akan melayaninya.                “Siap, Pak!” jawab Huzam.                Berlari sekencang mungkin rupanya menjadi obat sendiri bagi Huzam. Meski keringatnya membasahi baju seragam, ia menemukan sedikit kedamaian. Ia bahkan lupa bahwa tadi pagi sudah merelakan motornya. Rasanya semua seperti kembali pada tananan yang ia inginkan.                “Huzam!” seru Niken. Gadis itu berjalan menuju ruang BK dari arah parkiran.                Huzam melambaikan tangan juga mengembangkan senyum seperti biasa. Niken adalah sahabatnya. Maka ia izinkan dirinya sendiri memberikan senyum itu. Ia tidak pernah tahu bahwa senyum itu membuat jantung Niken berdetak lebih kencang.                “Jalan?” tanya Niken saat menyadari Huzam datang dari arah gerbang depan.                “Lari.”                “Lari? Maksudnya?”                Huzam tidak langsung menjawab. Ia meminta Niken mendorong pintu ruang BK yang masih tertutup. Bisa jadi Bu Raimuna sedang pergi ke toilet.                “Assalamualaikum,” ujar Niken. Memang harus seperti itu aturannya.                Huzam terkekeh. Ia lupa membaca kertas yang tertempel di pintu. “Ucapkan salam terlebih dahulu,” ujarnya.                Niken mengangguk. Dari dalam terdengar suara Bu Raimuna menjawab salamnya. Setelah itu pintu ruang BK pun terbuka.                “Kalian?” tanya Bu Raimuna terkejut.                “Pagi, Bu,” sapa Niken. Huzam hanya mengangguk.                “Saya kira siapa. Ternyata kalian, hu!” Bu Raimuna tampak tidak suka dengan kehadiran Huzam dan Niken.                “Memangnya dikiranya siapa, Bu?” tanya Niken berbasa-basi.                “Nggak kalian,” sahut Bu Raimuna.                Niken mengangguk lagi. Ya, terkadang guru perempuan di sekolahnya suka seperti itu. Tidak tahu pasti apa penyebabnya, mereka kerap menampakkan kekesalan pada siswanya.                “Misuh wae,” lirih Niken.                Huzam tersenyum kecil. Ia mendengar ucapan Niken dan sangat setuju. Memang kebanyakan dari mereka seperti itu.                “Tulis di sini. Setelah itu ketemu wali kelas kalian,” ucap Bu Raimuna. Ia menyodorkan buku gelatik kembar ukuran besar yang sudah diberi garis serta nama siswanya.                “Baik, Bu.” Niken maju beberapa langkah untuk mengisinya.                Tiba giliran Huzam, ekpresi wajah Bu Raimuna cukup aneh. Bu Raimuna seperti sedang mengendus bau di sekitarnya.                “Keringetan?” tanya Bu Raimuna seraya menutup hidung.                Huzam mendesah. Baru juga bau keringat, belum bau yang lainnya, batinnya.                “Teman kalian yang satu mana?”                Jaka. Sudah tujuh lebih dan Jaka belum terlihat. Niken beserta Huzam baru menyadarinya.                “Sebentar, Bu.” Niken mengeluarkan ponselnya.                “Ngapain?”                “Mau nelfon Jaka, Bu.”                “Mau hpnya di sita?”                “Eh.” Niken pun mengusap kepalanya.                “Biar wali kelas kalian yang telpon,” ucap Bu Raimuna tidak menerima komplain.                “Baik, Bu,” jawab Niken.                “Sekarang out dari sini.” Tampak jelas ekpresi tidak suka dari Bu Raimuna.                “Sebentar, Bu,” ucap Huzam.                “Apa lagi?”                “Saya mau minta tanda tangan. Harus ada guru BK nya.”  Huzam menyodorkan surat pernyataan yang sudah ia tandatangani beserta tanda tangan orang tuanya. Mata Niken membola. “Harus saya?” tanya Bu Raimuna berlagak menjadi orang penting. “Emangnya bukan ibu?” Bu Raimuna pun terpaksa mengambil pena. Ia menjadi guru BK untuk kelas Huzam dan Niken juga Jaka. Ia tidak bisa menghindarinya. “Punya kamu?” tanyanya pada Niken. “Eh, he, itu, Bu saya lupa.” Bu Raimuna menghela napas panjang. “Pergi kalian dari sini!” hardiknya. Niken dan Huzam pun bergegas. Ia tahu Bu Raimuna tidak suka dengan anak-anak bermasalah di SMK Hijau. Apalagi anak-anak seperti mereka. Secepat mungkin Huzam dan Niken menuju ruang guru untuk bertemu Bu Ziya. “Nggak di sini. Ngajar paling,” jawab salah satu guru yang bertemu dengan Niken. “Oh, makasih, Bu. Kelas apa ya?” “Cek sendiri di jadwal. Jangan pemalas, lah.”                Niken pun sadar diri. Mana ada guru di sekolahnya yang peduli. Masih bisa sekolah saja sudah untung.                “Cabut aja, lah, Zam.” Niken mengayunkan tangan.                “Coba di WA,” usul Huzam.                Niken bersiap mengeluarkan ponsel. Sebenarnya ia lebih suka tidak bertemu Bu Ziya mengingat ia lupa membawa surat pernyataannya. Tadi pagi ia terlalu terburu-buru.                “Nggak di read, Zam.”                “Beneran? Coba di telfon.”                Niken mendesah. Mengapa Huzam menjadi bersemangat? Ada Apa?                “Nggak berdering. Masuk kelas dulu aja, pow.” Niken tak nyaman berada di dekat area ruang guru. Mereka hanya akan menjadi pusat perhatian.                Huzam setuju dengan usul Niken. Keduanya berjalan bersisihan melewati jalan lain. Mereka malas jika harus kembali melewati jalan di depan ruang BK. Meski sedikit memutar, tak masalah.                “Eh, kalian!” seru Ziya dari dalam kelas. Ia sedang mengajar di kelas X.                “Ya, Bu,” sahut Niken dan Huzam seraya mempercepat langkah.                “Maaf saya lupa nggak ngasih tau. Pagi ini ada jadwal di kelas. Surat pernyataannya mana? Biar saya tandatangani,” ucap Ziya antusias.                Huzam yang memang sudah siap dengan surat pernyataan itu pun langsung membuka tasnya. Ia merapikan kertas folio itu sebentar seraya menyerahkannya.                “Wah, sudah lengkap. Bagus, Zam. Punya kamu mana?” tanya Ziya pada Niken.                “Ehmmm, eh, itu, Bu. Ketinggalan.”                “Hmmmmmm ... lupa?”                Niken menggaruk kepalanya. “Iya, Bu.”                “Ya sudah ndak apa-apa. Padahal saya minta hari ini. Biar bisa diproses secepatnya. Ya sudah mau bagaimana lagi,” ucap Ziya sedikit kecewa.                “Saya ambil dulu pow, Bu? Saya pulang dulu.”                Ziya menggeleng. “Tidak. Tidak perlu.”                “Yahhhhh.” Giliran Niken yang tampak kecewa.                “Oh ya, Bu. Apa Jaka menghubungi Bu Ziya?” tanya Huzam. Sebenarnya ia kurang nyaman melihat ekpresi wajah Ziya dan Niken yang hampir sama.                “Sebentar, saya cek dulu.” Ziya meraba sakunya. Ia mencari ponsel yang kerap ia bawa. “Waduh,” ucapnya.                “Kenapa, Bu?”                “Sepertinya ketinggalan di ruang guru. Huzam, boleh minta tolong ambilkan?”                “Saya, Bu?”                “Iya. Biar Niken di sini sama saya.”                Huzam berpikir sebentar. Mengambil ponsel milik wali kelasnya? Hal yang nyaris tidak pernah ia lakukan. Selama ini tidak ada orang yang mempercayainya.                ‘’Cepat, Zam. Takutnya orang tua Jaka menghubungi.”                “Ba—ik, Bu.” Huzam pun berbalik. Ia bergegas kembali ke ruang guru. Sungguh, itu bukan Huzam yang biasanya. Mana pernah ia mau diminta bantuan oleh guru. Ini di luar sikapnya yang biasa. Huzam terus berjalan. Ia mengetuk pintu ruang guru terlebih dahulu, meski tidak mengucap salam. Beberapa guru pun menoleh. Ada yang benar-benar tak peduli dengannya. “Maaf, Bu. Boleh tanya mejanya Bu Ziya?” tanya Huzam pada guru yang duduk paling dekat dengan pintu. “Tuh!” ujar guru tersebut sambil menunjuk meja di sisi sebrangnya. Huzam mengangguk. Ia tidak mengucapkan terima kasih seperti murid lain karena ia adalah Huzam. Setelah memastikan di mana meja kerja Bu Ziya, Huzam melihat ponsel tersebut. Ya, tergeletak di atas meja. Ia sudah siap untuk meraihnya. “Ngapain, Zam?” sergah Pak Muslim. “Eh, Pak, ini mau ambil Hp Bu Ziya.” “Hp?” Huzam mengangguk. “Bu Ziya di kelas. Katanya ketinggalan.” Pak Muslim menatap Huzam penuh selidik. Masih teringat jelas kejadian sebelum kenaikan kelas. Huzam menyembunyikan ponsel salah satu siswa. “Biar saya yang antarkan,” ujar Pak Muslim. “Nggak apa-apa, Pak?” “Iya. Bu Ziya di mana?” “X TI satu, Pak.” “Oke. Sekarang kamu sapu ruang guru dulu. Pengabdian di kolom saya belum selesai.” “Sekarang, Pak?” Pak Muslim mengangguk. Ia meraih ponsel Ziya yang ada di atas meja. Bersiap untuk mengantarkannya. Sementara Huzam jelas merasa kecewa. “Sapu yang bersih, ya,” ucap Pak Muslim sembari meninggalkan ruang guru. Huzam mengangguk lesu. Ia jelas tidak bisa memenuhi permintaan pertama wali kelasnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD