18. Ruang Rahasia

1213 Words
Muslim berjalan santai menuju kelas yang disebutkan Huzam. Selain sebagai guru BK ia memang tidak diharuskan untuk mengajar di kelas, momen mengantarkan ponsel milik Ziya adalah momen langka. Ia bisa membuat sedikit pesona di sana. Saat hendak menuruni anak tangga, ponsel di tangannya tiba-tiba bergetar. Muslim pun meniliknya. Sebuah panggilan masuk ke ponsel tersebut. Muslim tidak mungkin mengangkatnya karena memang ia tidak selancang itu. Ia menunggu sampai panggilan itu berakhir sambil memperlambat langkah. Begitu getar ponsel berakhir, Muslim bisa dengan jelas melihat layar kunci milik Ziya. Kebetulan tidak ada pasword ataupun pola. Sekilas tidak ada yang istimewa. Hanya gambar langit senja dan stupa Candi Borobudur. Muslim tidak begitu tertarik. Namun, tangan kanannya sedikit usil. Ia menggerakan jempolnya hingga gambar layar itu bergeser ke sebelah kanan. Muslim pun tersentak. “Pagi Pak Muslim,” sapa beberapa siswa putri yang hendak melakukan kegiatan olah raga. Hal itu membuat Muslim teralihkan dari ponsel Ziya. “Ya, pagi juga, Nak. Olahraga?” “Iya, Pak. Mau lari.” Standar Muslim saat menjadi guru BK di SMK Hijau adalah ramah pada murid-muridnya. Ia tidak bisa mengabaikan sapaan itu meski pikirannya sedang tertuju pada ponsel Ziya. “Mau ke mana, Pak? Buka kelas bimbingan?” “Enggak, ini jalan-jalan aja.” “Kalau begitu kami duluan, Pak.” “Ya. Yang semangat olahraganya.” Para siswi pun meninggalkan Muslim disertai senyum mengembang di wajah mereka masing-masing. Pak Muslim adalah idola. Masih muda, belum menikah serta memiliki paras yang rupawan. Begitu image-nya di depan anak-anak. Muslim menghela napas. Ia tidak mungkin membuka kunci layar ponsel milik Ziya seenak sendiri. Hilang sudah kesempatannya. Segera ia berjalan untuk mengantarkan ponsel tersebut pada pemiliknya. “Loh kok Pak Muslim?” tanya Ziya saat Muslim menyerahkan ponsel tersebut. “Huzam lagi bersih-bersih. Kurang satu kolom pengabdian.” “Tapi saya minta tolong ke Huzam, Pak. Bukan Pak Muslim.” “Nggak apa-apa, sekalian tadi mau ke kelas sebelah.” “Oh, ada bimbingan?” Muslim mengangguk. “Makasih, Pak.” “Sama-sama, Bu.” Muslim pun tersenyum tulus. Niken yang menjadi penonton percakapan itu hanya bisa terdiam. Ia sudah seperti nyamuk yang tidak dianggap keberadaanya. Ziya tidak langsung mengecek ponselnya. Ia justru masuk ke dalam kelas dan berbicara pada murid-muridnya. Setelahnya ia keluar lagi. “Ke mana, Bu?”                “Saya ke ruang guru sebentar, Pak. Sekalian mau jelasin teknis pengabdian nanti ke Huzam dan Niken. Biar tidak dua kali. Pak Muslim kalau ada jadwal di sebelah, saya nitip kelas saya sebentar, ya. Kebetulan saya harus ketemu Pak Gio dulu.”                Muslim salah memprediksi. Rupanya Ziya lebih mengkhawatirkan muridnya. Sia-sia sudah usahanya. Ya, meski belum resmi mendapatkan gelar sarjana, kembampuan mengajar Ziya sudah cukup mumpuni di mata Muslim sendiri. Semua orang juga mengakui. Meski statusnya hanya menggantikan sementara abahnya, Ziya sudah seperti anggota inti SMK Hijau. Tak lain tak bukan karena sikap ceria, lincah, enerjik dan menyenangkannya pada semua orang. Bahkan semua guru mengakuinya tak terkecuali Muslim. Sayang, Ziya terlalu peduli pada siswa siswi bermasalah di kelasnya yang akhirnya membuat beberapa orang tidak terlalu menyukainya. Muslim membiarkan Ziya dan Niken meninggalkannya. ***                “Huzam!” seru Niken saat Huzam sedang membuang sampah.                “Ngapain ke sini?”                “Disuruh Bu Ziya.”                “Emangnya pengabdianmu kurang?”                Niken menggeleng. Ia jelas sudah lebih dari cukup saat yang menilai langsung adalah wali kelasnya. Berbeda dengan Huzam dan Jaka.                “Diminta ke perpus, Zam.”                “Perpus? Ngapain ke perpus.”                “Jaka nggak masuk. Dia sakit. Pengabdian kamu hari ini gabung sama aku. Lagian Roni ada-ada aja, sih.” Niken tampak kesal menyebutkan salah satu nama teman mereka.                Huzam menghentikan aktivitasnya. “Roni kenapa?”                “Aku baru denger dari Bu Ziya. Kamu jangan kaget, ya.”                Huzam mengangguk. Ia selalu seperti itu. Berpura menjadi orang yang tidak tahu banyak hal.                “Roni udah pindah ke Jakarta. Dia nggak pamit sama kita.  Jahat banget, kan, dia?” Niken berlagak akan menangis. Atau lebih tepatnya memang bersedih akan kabar itu.                Huzam tersenyum samar. Semalam mereka bahkan bertemu. “Terus?”                “Ya dia keluar sama pindah ke Jakarta sekeluarga. Mana udah mau ujian.”                “Terus?”                “Nggak bakal ketemu lagi lah, sama dia.”                “Oh.”                “Kok oh? Kamu nggak sedih temen kita pindah?” protes Niken. Harusnya Huzam merasakan hal yang sama.                Huzam meletakkan sapu dan ekrak yang ia gunakan tadi. Sesi membersihkan ruang guru beserta lingkungannya sudah selesai. Ia mengibaskan menepuk telapak tangannya untuk menghilangkan kotoran.                “Ayo!”                “Ke mana?”                “Katanya perpus?”                “Ah iya. Berarti balik lagi. Sialan, lempoh nih, kaki.” Niken baru menyadari bahwa ia sudah bolak balik area sekolah beberapa kali. `              Huzam terkekeh. Sedikit sial nasibnya hari ini karena harus berdua saja dengan Niken. Ia jelas lebih senang saat bersama Jaka. Niken cukup berisik. Huzam pun memimpin langkah. Ia tidak ingin banyak siswa yang akan melabeli mereka couple of year karena ke mana-mana selalu berdua.                ***                Jangankan meminjam salah satu koleksi yang ada di sana. Sekadar masuk pun ia belum pernah. Huzam anti dengan perpustakaan. Disamping karena sikap petugas perpustakaan yang menurutnya kurang ramah, perpustakaan identik dengan tempatnya siswa siswi pintar. Jika seorang Huzam—tukang onar satu sekolah masuk ke sana, dijamin yang lain akan pergi semua.                “Buruan,” ujar Niken. Huzam berjalan terlalu pelan.                Huzam pun mempercepat langkah. Ia cukup gugup untuk melihat dalamnya perpustakaan seperti apa.                “Ya salam, dua murid, Bu?” tanya petugas perpustakaan pada Ziya.                “Iya, Bu. Memangnya kenapa?”                “Satu saja cukup lah, Bu. Kalau malah gaduh gimana?”                Ziya mengulas senyum. Maksud gaduh yang disebutkan pegawai perpustakaan bisa dipahami olehnya. Itu disebabkan ada Huzam yang sekali pun belum pernah berada di tempat ini.                “Insyaallah nggak, Bu. Kita kasih kepercayaan sama mereka.”                “Yakin, Bu?”                “Sangat yakin.”                Pegawai perpustakaan itu pun terpaksa mengiyakan permintaan Ziya.                “Sini kalian,” serunya. Ia tidak bisa percaya dengan dua murid terkenal itu.                Huzam dan Niken berjalan mendekat. Sungguh berbeda dari jenis pengabdian lainnya. “Ikuti saya,” imbuh petugas tadi.                Huzam melirik sekilas ke arah Ziya. Ia sedikit mengajukan pertanyaan lewat tatapan mata. Sementara Ziya mengangguk mantap.                “Ke mana, Bu?” tanya Niken. Tugasnya kemarin masih berada di area rak buku.                “Ikut saja.”                Huzam dan Niken terus berjalan. Mereka masuk ke salah satu ruangan yang berada dekat dengan meja petugas. Setelah memasang kunci dan membukanya, petugas itu meminta Huzam dan Niken untuk masuk.                “Sebanyak ini, Bu?” tanya Ziya. Rupanya ia panasaran dengan tugas berat yang dimaksudkan Pak Muslim.                “Iya, Bu. Ini buku baru semua.”                “Oh begitu.” Ziya mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Begitu juga dengan Huzam dan Niken.                “Tugas kalian adalah memberikan stempel pada setiap buku-buku itu.”                Huzam dan Niken kompak menoleh. “Semua, Bu?”                “Iya.”                Sungguh ini di luar nalar. Mengapa pengabdian yang mereka lakukan menjadi mirip sebuah kerja paksa saja. Niken beralih menatap Ziya. Ia meminta bantuan serta kompensasi pada wali kelasnya.                “Tidak harus selesai hari ini. Pelan-pelan saja,” ujar Ziya.                “Tapi, Bu ....”                Ziya tak merespons lagi. Ia sudah mengangkat tangannya. Artinya baik Huzam maupun Niken harus melakukannya. Sementara Huzam diam saja. Otaknya berkelana. Bagaimana bisa di dalam perpustakaan ada simpanan buku sebanyak ini? Terasa lucu baginya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD