4-Permintaan yang Tak Bisa Ditolak

1430 Words
Atas permintaan Val, Gio menurunkannya agak sedikit jauh dari rumah. Val tidak ingin menjawab pertanyaan keluarganya, terutama Mama, tentang siapa Gio. Karena ia bukan siapa-siapa, apalagi istimewa. Bahkan seharusnya Gio tidak pernah hadir dalam hidupnya. Gio itu kuman! Yang harus dibasmi. Bukan, bukan kuman. Ia tumor! Sangat ganas! Mungkin sebentar lagi Gio akan membuatnya kurus kering lalu mati.   Ah, bukankah sebenarnya saat ini ia sudah mati? Satu bagian kehidupan Val sudah direnggut paksa. Dan kini ia harus menyerahkan satu bagian lagi kepada Gio. Val tidak mengerti, mengapa ia harus mengalami kejadian buruk ini? Kenapa bukan  yang lain saja,Tuhan? Kenapa dia?   "Val? Kok, telat banget pulangnya? Mama khawatir."   Tanpa disadari, Val sudah sampai di depan rumah. Mama memandanginya dengan cemas. Ia lupa bilang kalau akan pulang terlambat. Tapi Gio memang tidak memberinya waktu untuk memikirkan keluarga dan hal lainnya.   "Maaf, Ma. Tadi Val keasyikan di toko buku. Hape Val juga mati. Lowbet." Bohong.   "Mama nelpon Sarah dan Ika. Mereka nggak ada yang tau kemana kamu pergi. Katanya kamu terburu-buru pulang dari sekolah dan hampir seharian kamu menghindari mereka. Kamu marahan sama Sarah dan Ika? Gara-gara kamu diturunin di jalan tadi malam?" Val mengangguk. Memang kenyataannya begitu.   "Sudahlah. Toh tidak terjadi apa-apa sama kamu semalam. Maafkan saja mereka."   Benarkah?   Hati Val sangat perih. Ingin rasanya ia menghambur ke pelukan Mama dan menceritakan  semuanya. Ingin rasanya ia minta pada Mama agar menyembunyikannya di tempat yang jauh atau menguburnya dalam-dalam agar ia bisa menangisi kesialannya sampai puas. Ingin rasanya ia minta agar Mama memasukkannya lagi ke dalam rahim dan ia meringkuk di sana sebagai janin. Untuk apa ia dilahirkan jika ternyata ia harus mengalami cobaan seberat ini. Untuk apa ia hidup jika pada akhirnya ia memilih mati dengan cepat.   Val terdiam sambil menenteng sepatunya.   "Lho kok malah bengong? Udah sana masuk. Makan. Kamu pasti udah lapar, kan?"   Val tak kuat lagi. Ia memeluk Mamanya.   "Val sayang Mama. Val janji nggak akan bikin Mama malu."   "Kamu kenapa, sih, Val. Tiba-tiba gini? Kayak anak kecil aja. Kamu, tuh, anak gadis kebanggaan Mama. Nggak mungkinlah kamu bakal bikin Mama malu. Udah, ah! Sana ganti baju trus makan."   Mama melepas pelukan Val dan berjalan ke meja makan. Val memandangi punggung Mama dengan sedih. Semalam, ia memutuskan ingin mengakhiri hidup secepatnya. Ia merasa hidupnya sudah hancur. Ia sudah menulis surat permohonan maaf untuk Mama. Ia terburu-buru pulang karena ingin membeli obat tidur di apotek. Ia berencana meminumnya malam ini dan meninggalkan dunia ini dengan perasaan ringan. Melupakan cita-citanya, keluarganya, juga ulah Gio dan temannya.   Tapi hari ini, kehadiran Gio di hadapan Val, seolah menyadarkan Val apa yang akan terjadi apabila Val sampai bunuh diri. Mama, Papa, keluarga besar, teman-teman, satu kota, satu Indonesia, semua akan tahu alasan Val mengakhiri hidup. Sama artinya ia mati dengan meninggalkan aib di keluarga. Kematian yang tak wajar saja sudah merupakan aib, ditambah kenyataan kalau ia sudah kehilangan keperawanannya secara paksa. Apa yang akan terjadi pada Mama? Papa? Adik dan keluarga besarnya? Mereka akan menanggung malu.   Tidak!   Itu tidak boleh terjadi. Val tidak bisa membayangkan Mama harus berurai air mata melepas kepergiannya yang menyakitkan. Ia tak bisa menerima ketika Mama harus menjawab pertanyaan orang-orang dengan raut wajah berat. Tak mengerti jawaban apa yang harus diberikan. Belum lagi cemooh dan gunjingan tanpa perasaan yang pasti sangat menyakitkan. Dan ... Apakah Mama nanti bisa bertahan? Val berjengit. Ia tidak bisa menyakiti Mama. Ia sangat menyayangi Mama. Ia harus menjaga perasaan dan nama baik Mama meski ia harus membayar mahal karenanya. Itu artinya ..., Ia harus menyetujui permintaan Gio ....   Val menghela napas berat. Terngiang perkataan Gio di telinganya. Ia sudah tidak perawan! Ia sudah ternoda! Apa perempuan yang sudah bernoda terlihat lebih kotor dan tidak layak mendapat perlakuan seperti perempuan lainnya yang masih suci?   "Val mau ke atas, Ma. Mau mandi dulu. Gerah."   "Tidak makan dulu, Val?"   "Nanti aja, Ma. Masih kenyang abis minum cendol!" teriak Val dari ujung tangga.   Setelah melemparkan tas sekolah ke atas kasur, Val bergegas masuk ke kamar mandi yang berada di dalam kamarnya. Dilepaskannya seluruh pakaian. Ia segera membuka shower dan berdiri tegak di bawahnya. Dingin. Tapi tidak sedingin hati dan tubuhnya yang terbaring kaku di atas meja. Val masih bisa merasakan sentuhan-sentuhan asing di seluruh tubuhnya. Sentuhan yang membuat bulu-bulu halus di sekujur tubuhnya berdiri. Sentuhan yang membuatnya jijik dan ingin agar seseorang membunuhnya saat itu juga. Sungguh Val memohon untuk mati pada siapa pun yang ada di ruangan itu. Tapi mulutnya dibekap erat hingga ia hmpr kehabisan napas karena terus meronta. Ia bisa merasakan air mata mengalir deras tanpa suara. Setiap bulirnya menyuarakan permohonan ampun. Memohon disudahi semua hinaan keji yang sedang ia alami.   Namun tubuhnya berdusta. Mengkhianati perasaan yang sudah dimatikan. Tubuhnya hanyalah sekumpulan organ dan syaraf-syaraf yang memiliki tugas masing-masing. Sekalipun ia menahan dan membuat tubuhnya kaku seperti sebongkah batu, ia tidak bisa mendustai rasa-rasa gemelitik yang mencubiti ujung-ujung jari kakinya. Kakinya dingin. Dingin yang aneh. Bulu-bulu halus di tangannya berdiri. Menjalar hingga ke tengkuk. Lalu sesuatu di kepalanya minta diledakkan.   Ia bisa melihat cendawan dalam gumpalan asap ledakan nuklir. Ia juga bisa melihat bunga-bunga kembang api di langit malam. Sesuatu memercikkan bara yang berkeresak membakar daun-daun kering. Sesuatu itu memecah. Meledak. Terbakar. Menghangatkan lagi ujung-ujung jari yang dingin. Membualkan butiran-butiran uap air ke udara. Tanpa sadar ia mendesah. Lega. Rasa asam bercampur karat menyapu bibirnya. Seseorang terengah di atasnya.   Seseorang ...   Air matanya kembali mengucur deras.   Di bawah shower, ia kembali menangis.   Rasa nista mengerak lagi. Rasa nista atas tubuh telanjang yang dijelajahi tanpa ampun oleh kulit-kulit tak dikenal. Rasa sesal atas puas yang ia nikmati beberapa saat. Rasa terkutuk karena harus mengalami malam yang akan membekas seumur hidupnya.   ***   [Hei beib ... Bisa gue jemput malam ni?]   Pesan di layar ponsel membuatnya jijik. Gio mengirimi pesan setelah beberapa kali berusaha menghubunginya langsung. Ia berusaha mengabaikan dan tak menjawab panggilan itu. Val sadar apa yang Gio mau. Terlebih, Gio memiliki sesuatu yang membuat Val tidak bisa menolak permintaannya. Dibukanya folder galeri pada smartphonenya. Tadi Gio mengirimkan sebuah video sewaktu Val bersikukuh menolak permintaan Gio yang menjijikkan. Val belum melihat isi videonya, tapi dari gambar buram yang muncul di chat WA, ia sudah bisa menebak isi video itu. Dan dengan mengumpulkan keberaniannya, tadi sore ia mendownload video tersebut, walau belum juga muncul keberanian untuk menontonnya. Air mata kembali menetes ketika Val akhirnya melihat isi video itu. Gio benar, jika video ini sampai tersebar, ia tak bisa membayangkan aib sebesar apa yang mungkin timbul. Benar-benar memalukan! Tubuhnya yang tak terbalut sehelai benangpun terlihat terengah dan melenguh. Ia terlihat lelah dan setengah tak sadarkan diri. Entah sudah berapa kali pemuda-pemuda itu menggilirnya. Yang ia ingat ketika semuanya usai, air dingin memerciki wajahnya dan ia berusaha untuk sadar dengan cepat. Mereka telah benar-benar pergi ketika Val tersadar penuh. Ia ditinggalkan dalam ruangan yang dingin dan gelap dengan sekujur tubuh nyeri. Bibirnya bengkak. Pakaiannya berserakan. Darah mengeras di selangkangannya.   Dengan mengumpulkan harga diri yang tersisa, Val meraba-raba dalam gelap berusaha mengumpulkan pakaiannya. Lalu ia merapikan diri dan menghapus air matanya. Pandangannya kosong ketika akhirnya ia melangkah terpincang-pincang menuju rumah.   Jangan tanya bagaimana Mama menyambutnya. Mama sedikit histeris tapi Val berhasil meyakinkan Mama jika ia jatuh dalam genangan air dan sebuah mobil mencipratkan air ke pakaiannya. Val bilang, ia kesal dan lelah karena bertengkar dengan Sarah. Lalu ia naik ke kamarnya untuk mandi. Berdiam diri dalam guyuran shower dan menangis.   [Kenapa lu nggak jawab chat gue sih? Lu pikir gue main-main sama ancaman gue?]   [Ga bisa kalo mlm ini]   [Gue mau malam ini]   [Tapi gue ga bisa. Nyokap ga ngebolehin keluar di malam sekolah]   [s**t! Gue lupa lu anak sma]   [Blom pernah dapet bispak anak sma?]   [Klo lu bispak gue bisa bawa lu kapan aja gue mau]   Val terdiam. Mencoba memahami, tempat seperti apa yang Gio sediakan untuknya?   [Besok pulang sekolah gue jemput.] [Ga da alesan. Ga terima penolakan.]   [Ga bisaaa]   Centang satu.   [Gio?]   Masih centang satu.   Sial! Dia matiin mobile data, batin Val.   Besok?   Besok is tommorow. Kurang dari 24 jam Val harus mempersiapkan diri menghadapi Gio.   Artinya ..., Artinya ia akan mengulangi hal yang sama seperti malam itu.   Ia belum siap!   Val tidak siap!   Besok ia harus bisa mencari alasan agar Gio tidak bisa membawanya. Apapun. Apapun. Jika itu artinya ia harus berbaikan dengan Sarah, akan Val lakukan. Asal Gio bisa membatalkan niat untuk membawanya. Agar ia tak perlu mengulangi perasaan dan perlakuan seperti malam itu. Setidaknya tidak secepat ini. Val sadar, jika video itu masih di tangan Gio, ia akan mengulangi kejadian di malam itu. Hanya masalah waktu saja.   Malam ini, Val tidak bisa tidur nyenyak. Mimpi buruk mendatanginya. Dan terbangun di pagi hari dengan kepala teramat pusing. []  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD