Berhubung ini hari minggu, aku menghabiskan waktu seharian bersama ayah. Meskipun kami benar-benar lelah karena piknik jumat kemarin, tapi hari ini kami sama-sama bersemangat membersihkan rumah. Hingga tanpa sadar sudah sore hari, aku membersihkan diriku begitu pula dengan ayah.
Aku duduk di sofa terus mengganti saluran di tv mencari jika ada tontonan yang menarik. Ayah duduk dihadapanku tidak lama kemudian dengan wajah yang terlihat gelisah. Aku memperhatikan ayah, namun ayah tidak menyadari jika aku sudah mengawasinya dari tadi.
"Udah sarapan Lun?" tanya Ayah beberapa saat setelah aku duduk di sofa.
"Ayah kenapa sih? Kayak gelisah banget, emang ada apa?" tanyaku bingung menatap ayah yang sedari tadi terlihat gelisah.
"Enggak apa-apa Luna," jawab Ayah berusaha menenangkanku.
"Masa sih?" tanyaku mencoba mencari kebenaran.
"Ayah cerita aja sama Luna," ucapku mencoba untuk meyakinkan Ayah yang masih terlihat enggan memberitahuku.
Tapi, aku tidak menyerah begitu saja. Aku mengubah posisiku dan pindah duduk di dekat ayah, aku mengenggam tangan ayah dan menatap ayah yang juga dibalas tatapan oleh ayah.
"Ayah, kita 'kan udah janji jika ada masalah harus terbuka. Ayah gak lupa 'kan?" ucapku pelan dan menatap dalam ke mata ayah, aku yakin sekali jika ada sesuatu hal yang menganggu ayah saat ini.
Aku dapat melihat jelas keraguan di mata ayah, ia terlihat ingin berbicara namun terlihat meragukan juga.
Aku menatap ke dalam mata ayah, "bilang sama Luna ada apa sebenarnya," ucapku menatap dalam ke mata ayah.
Kegusaran ayah bertambah, "sebenarnya Ayah dapat tawaran untuk kerja di badan inteligen," ucap Ayah pelan dan berhati - hati.
"Apa?!" ucapku meninggi karena terkejut.
"Ayah gak bener - bener berpikir buat balik lagi 'kan?" tanyaku cepat masih sambil menatap dalam mata Ayah.
Aku benar-benar tidak menyangka jika ayah memikirkan tawaran itu, bahkan aku menatap ayah bingung. Bagaimana bisa ia mempertimbangkan untuk kembali bekerja pada bidang yang jelas-jelas pernah memisahkan mereka selama bertahun-tahun.
"Ayah gak berpikiran untuk kembali 'kan?" tanyaku lagi setelah melihat ayah hanya diam menatapku.
Ayah membalas mengenggam tanganku, aku menangis menatap ayah. Hatiku sedikit terluka jika ayah kembali ke tempat yang sudah membuatnya menderita.
"Luna, sebenarnya ada hal yang mau ayah bicarakan sama kamu."
Aku melepas tangan ayah, "kalau ini tentang keinginan ayah kembali kerja di bidang itu, Luna gak mau dengar sama sekali."
Ayah kembali meraih tanganku, ia memintaku untuk menatap matanya dan mendengarkannya terlebih dahulu.
"Ayah akan ceritakan hal yang selama ini kamu ingin tahu," ucap Ayah dengan tegas dan yakin.
"A - apa?" ucapku terbatah, aku tidak tahu apa yang sebenarnya ayah ingin katakan kepadaku namun wajah ayah menunjukkan keseriusan.
"Tentang alasan Ayah dipenjara dan di bebaskan," ucap Ayah tegas namun berhasil membuat jantungku berdegup dengam sangat cepat.
Aku menggelengkan kepalaku, "ayah jangan," ucapku menahan, aku tidak ingin ayah malah menceritakan hal itu kepadaku hanya karena ia terpaksa menceritakan kepadaku bukan karena ia benar - benar siap.
Dulu, ayah tidak mau menceritakan ataupun berbicara masalah itu padaku. Aku bertanya saja ia terlihat enggan menanggapi ya, tapi sekarang dengan tiba - tiba ia malah ingin menceritakan masalah itu.
Aku sendiri tidak yakin, setelah sekian lama, apa benar hari ini adalah saatnya. Apa benar, hari ini akhirnya aku dapat mengetahui semua hal yang terjadi pada ayah selama ini.
"Kamu mau 'kan dengerin Ayah?" ucap Ayah menatapku.
"Ayah, Luna gak yakin kalau ayah siap. Luna gak mau Ayah nyeritain ini karena Ayah berniat kembali ke pekerjaan itu. Kalo memang iya, lebih baik Luna tidak tahu," ucapku menolak, aku bahkan melepaskan tangan ayah yang mengenggam tanganku.
Ayah menggelengkan kepalanya, "enggak ini saatnya kamu tahu semuanya."
"Ayah," ucapku dengan lirih, entah aku yang memang tidak ingin ayah kembali ke pekerjaanya atau karena aku yang tidak siap untuk mendengarkan semuanya.
"Sebenarnya, setelah ayah bebas om Juna dan ayah bersama-sama mengumpulkan bukti ketidakbersalahan ayah Luna," ucap Ayah ragu.
Aku diam tanpa mengeluarkan sepatah katapun menunggu ayah terus berbicara.
"Kami sudah mendapatkan buktinya, jika ayah selama ini difitnah. Inilah yang menjadi alasan ayah diam selama ini, tidak mampu berbicara dan menjelaskan semuanya kepada kamu. Ayah takut, jika perjuangan ayah dan om Juna gagal dan malah tambah membuat kamu tersakiti."
Aku benar - benar terkejut atas apa yang ayah ceritakan kepadaku, bagaimana semua itu terjadi kepada ayah adalah hal paling menyakitkan bagiku.
Aku bahkan tidak pernah terpikir jika ada kemungkinan ayah di fitnah selama ini, bahkan ayah yang harus diam dan menerima hukuman atas apa yang tidak ia lakukan membuatku lebih sakit.
"Lalu, bagaimana selanjutnya? Bukannya ayah harus mengembalikan nama ayah yang sudah dirusak oleh orang lain?" tanyaku, rasa penasaranku membuatku menjadi ingin lebih tahu sekarang apa yang sebenarnya terjadi.
Di sini, aku juga sebagai korban. Bukannya hal menyenangkan diperlakukan seolah sebagai kriminal oleh orang - orang, menghadapi hinaan dan cacian meskipun aku juga merasa berterima kasih kepada diriku sendiri.
Aku percaya, om Juna bisa membantu ayah untuk mengembalikan dan membersihkan kembali nama ayah. Om Juna tidak pernah mengecewakan, ia sangat baik bahkan rela menjagaku selama ini.
Ayah mengangguk, "ayah tengah memperjuangkan itu. Sidang terakhir sudah selesai minggu lalu Lun dan ayah memenangkannya. Ayah berhasil membersihkan nama Ayah," jawab Ayah terdengar bersemangat.
Bagiku, persidangan yang ayah maksud adalah pertarungan akhir yang sebenarnya. Bagaimanapun, Ayah harus memenangkan persidangan itu. Sudah saatnya ayah membersihkan namanya, ayah pantas untuk bahagia.
"Lalu kenapa ayah tidak ingin menceritakan semuanya kepada Luna?" tanyaku bingung karena baru saat ini ayah menceritakan semuanya kepadaku.
Ayah menarik napasnya dalam, mempererat genggaman tangannya padaku. Aku tahu jika berat bagi ayah untuk membicarakan hal ini, tapi bagaimanapun ada saatnya untuk aku mengetahui semua ini dan menurutku saatnya adalah sekarang.
"Ayah saat itu belum bisa menemukan bukti yang kuat," ucap Ayah terlihat sedih sesaat.
"Bagaimana bisa, harusnya tim ayah ada di sana sebagai saksi 'kan?" tanyaku bingung.
"Saat itu, disebuah perbatasan ada sebuah desa. Itu adalah saat-saat terakhir ayah menjaga perbatasan tersebut karena selanjutnya akan kembali ke kota. Apalagi kamu waktu itu sebentar lagi lahir," ucap Ayah membelai rambutku lembut.
Aku tahu betul, ibu pernah menceritakan kepadaku. Saat itu, ayah harusnya pindah tugas dan juga bertepatan dengan minggu yang harusnya aku lahir. Tapi, ibu juga mengatakan jika sejak itu ayah tidak kembali sama sekali hingga akhirnya aku lahir ibu baru mendapat kabar jika ayah di penjara.
"Lalu, tiba-tiba saat itu radio pantau memberitahu jika ada keadaan darurat. Ada seorang anak kecil yang disandera oleh penerobos perbatasan. Saat itu ayah dan tim berkerja sama mencari titik di mana anak itu terakhir terekam kamera pemantau, saat tiba di sana ayah kembali mengawasi dan mendapatkan tanda jika anak kecil itu ada di sebuah rumah yang hampir hancur."
Aku terkejut mendengar hal itu, bagaimana anak kecil itu bisa menjadi korban di sandera oleh penjahat.
"Lalu, apa yang terjadi dengan anak kecil itu?" tanyaku semakin penasaran.
Aku heran bagimana bisa saat penyelamatan anak kecil, bisa menjadi sebuah insiden yang membuat ayah menjadi pembunuh. Semua terasa membingungkan bagiku, bagaimana fitnah bisa di jatuhkan kepada ayah.
"Saat itu ayah masuk ke dalam rumah tersebut diikuti oleh tim ayah, kami semua berhati-hati saat itu. Saat ayah masuk, tidak jauh dari lokasi ayah ada bom yang meledak, saat itu keadaan mulai kacau. Apalagi pasukan yang ikut ayah saat itu kebetulan pasukan yang masih baru, jadi saat bom meledak mereka semua panik. Ayah berusaha menenangkan mereka, sesaat kemudian ayah mengajak mereka masuk mendekati anak kecil yang mulai menangis itu, tapi mereka semua ragu."
"Ayah sendirian menolong anak itu?" tanyaku penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi.
Ayah menganggukkan kepalanya, "iya," ucap Ayah mempertegas arti anggukannya.
Aku menatap kagum pada ayah, akhirnya aku tahu alasan ibu mengapa sangat mencintai ayah dan percaya sepenuhnya pada ayah bahkan hingga akhir hayatnya.