BAB 28

1417 Words
Aku menatap ayah sedih saat ayah mulai menceritakan kisah yang sebenarnya terjadi. Sejujurnya aku sangat khawatir dan tidak ingin ayah mengingat kembali luka lamanya. Tapi, ayah tetap bersikeras untuk mengatakan yang sebenarnya padaku karena baginya ini adalah saat yang tepat. Ia tidak ingin menyimpan lagi untuk lebih lama, kami juga sudah berjanji untuk saling terbuka. "Lalu, saat itu ayah melihat anak kecil yang diculik dan perlahan mendekatinya," ucap Ayah menceritakannya pelan, aku semakin terhanyut dalam cerita ayah yang selama ini tidak pernah aku dengar sama sekali. "Ayah benar-benar sendirian?" tanyaku yang dijawab dengan anggukan tegas. Aku tahu ayah selalu melakukan pekerjaanya dengan baik, melihat dia sekarang berkerja keras untuk kami. Karena melihat itu dari ayah membuat aku merasa ada sedikit kebanggan dalam diriku karena menjadi anak ayah. Ia memperlakukan orang lain dengan baik, bahkan menyelamatkan anak kecil yang bisa membuat nyawanya terancam padahal ia bisa saja bersikap egois dan meninggalkannya karena berpikir itu hanyalah anak kecil. Tapi tidak, ayah malah bersikeras untuk menyelamatkan nyawanya. "Iya, tim ayah saat itu khawatir jika itu hanya jebakan." "Terus? Lanjut lagi," sahutku semakin ingin tahu akhir dari apa yang sebenarnya terjadi. "Saat ayah berhasil mendekati anak itu, ayah memanggil tim ayah. Mereka menyusul, tapi saat itu ayah tidak tau kalau itu memang jebakan. Jadi, saat ayah mendekat pemberontak tersebut mengarahkan pistol ke arah ayah." Aku terus mendengarkan dengan jelas apa setiap bagian yang ayan ceritakan sehingga membuatku dapat merasakan langsung, apa yang ayah rasakan saat itu sehingga mengapa ayah mengambil keputusan seperti itu. "Beneran? Pasti ayah takut 'kan?” tanyaku dengan sedikit mengejek ayah. "Hahaha, tidak Lun. Ayah gak takut, karena ayah ingin menyelamatkan anak kecil itu. Saat ayah mengeluarkan pistol, anggota tim ayah masuk lalu membantu melindungi anak itu bersama ayah. Tapi, saat itu salah satu anggota ayah juga ditodongkan pistol. Ayah sudah melihat itu, dan bersiap menembak," ucap Ayah membuatku semakin terkejut, aku tidak mengerti mengapa ada orang yang dengan jahatnya menjadikan anak kecil sebagai korban. Tanpa bisa kukendalikan, aku menangis tidak bisa menahan perasaanku. Ayah mengenggam tanganku, padahal harusnya aku yang menguatkan ayah tapi malah ayah yang membuatku harus kuat mendengar kebenarannya hingga akhir. Aku semakin penasaran, "lalu ayah menembaknya?" tanyaku tidak bisa menutupi rasa penasaranku. "Karena situasi makin rumit, ayah mengarahkan pistol ke arah pemberontak dibelakang anggota tim ayah. Pemberontak itu menembakan senjatanya, disitu ayah juga langsung mencoba menembaknya karena situasi sudah serius. Lalu, sepertinya tembakan ayah melesat dan tidak sengaja menembak anggota ayah itu," ucap Ayah dengan berat hati, ayah mengacak rambutnya kasa, matanya memerah dan perasaanya jelas terluka mengingat kembali tragedi itu. "Tapi, kata Om Juna sebenarnya pemberontak itu yang lebih dulu menembak rekan ayah," ucap Ayah membuatku semakin terkejut. Aku melihat ada penyesalan dari mata ayah, aku mengenggam tangan ayah memberikan ayah kekuatan yang selama ini tidak pernah aku berikan. Pada akhirnya ayah menceritakan semua beban yang selama ini ia tahan, waktu dan momen seperti ini adalah salah satu saat terbaik bagiku. Aku cukup merasa bersalah setelah mendengar semua cerita ayah, tapi karena dari awal ayah sudah bilang untuk jangan merasa bersalah membuatku merasa sedikit baik. Walau aku merasa buruk, tapi karena aku merasakan ketulusan ayah dari awal membuatku tidak butuh waktu lama menghindarinya. Segalanya tentang ayah kembali berputar, aku sedikit merasa lebih baik mulai berbicara kepada ayah saat aku harus masuk rumah sakit karena demam dulu. Mungkin jika bukan karena itu, aku akan bersikap seolah tidak pernah mempedulikan ayah. "Tapi, pengadilan memutuskan ayah bersalah Lun. Walau, akhirnya semua terungkap jika keterangan saksi ayah dulu adalah palsu." Aku memeluk ayah, "ayah yang penting semua sudah terungkap, Luna juga tau kalau ayah tidak seperti itu. Mereka yang selama ini merendahkan ayah salah, ayah jangan sedih lagi karena Luna ada sama ayah. Sekarang, hanya ayah orang yang paling Luna sayangi." Ayah membalas pelukanku dengan erat, "ayah tahu itu Lun, tapi ayah gak yakin kalau ayah satu-satunya yang Luna suka. Ayah jadi kasihan sama Adrian yang gak luna sayangi," ucap Ayah dengan tawa kecil di akhir. Aku melepas pelukan ayah lalu memukul lengah ayah dengan tatapan sebal, "kenapa jadi bawa - bawa Adrian nih," ucapku mengerucutkan bibirku. "Iya deh iya," ucap Ayah dengan senyum jahilnya. "Luna tahu kalau Ayah tidak akan seperti yang orang bicarakan," ucapku di dalam hati. Hari ini, aku benar-benar menjadi anak perempuan terbahagia. Aku mungkin terdengar payah saat berpikir jika aku adalah yang terbahagia, tapi jika ada orang lain yang menjalani hidup sepertiku aku yakin mereka juga pasti akan setuju dengan apa yang kupikirkan. "Ih ayah," ucapku lalu tertawa bersama ayah. Bagiku, waktu seperti ini adalah waktu terbaik yang tidak akan bisa aku tukar dengan apapun. Aku dan ayah yang selama ini sedikit menjauh karena ketidaknyamananku, akhirnya bisa kembali bersama dengan situasi yang seharusnya. Aku memeluk ayah hangat dengan ayah yang mengusap lembut rambutku. “Ibu, terima kasih sudah memilih ayah sebagai ayahku. Terima kasih untuk memintaku memaaafkan ayah,” batinku. Tok... Tok... Tok... "Sebentar Lun ayah lihat," ucap ayah melepaskan pelukanku dan berjalan ke arah pintu dan mendengar ayah berbicara dengan seseorang yang aku tidak tahu siapa. “Siapa, Yah?” tanyaku menatap ke arah ayah. “Ada tamu yang mau ngajak jalan Lun,” ucap Ayah dengan cengkiran, jujur saja aku bingung apa arti cengiran ayah tadi. “Hah? Siapa?" tanyaku bingung karena sepertinya aku tidak memiliki janji dengan siapapun. “Permisi Om,” sapa Adrian dengan ramah. Aku menatap Adrian bingung saat masuk ke dalam rumah, ia bahkan tidak memberitahuku terlibih dahulu jika ingin mampir atau mengajakku main dan itu membuatku semakin heran. "Adrian, masuk sini." ucap ayah. “Anggep aja rumah sendiri Adrian, memangnya dari mana?” “Dari rumah,” balas Adrian lalu mengikuti ucapan ayah dan duduk di sofa yang bersebrangan denganku. Aku melihat ayah berjalan merangkul Adrian masuk, ayah memandangku dengan pandangan jahil yang kubalas dengan senyum tipis. Ayah benar-benar membuatku malu sekarang, apalagi Adrian yang terlihat akrab sekali dengan ayah. Aku bahkan tidak sadar sejak kapan mereka sedekat ini. "Apa kabar Om?" tanya Adrian dengan senyuman di wajahnya, ia melirik ke arahku sekilas. Aku melihat ayah tersenyum kecil padaku, seolah menjahiliku. "Alhamdulillah baik, kamu gimana? Gimana ujiannya?" tanya Ayah dengan nada suara yang tidak kalah lembut. "Alhamdulillah Om, Adrian juga baik. Oh iya ini Om, ada kue titipan dari Mama." "Ya ampun, ngerepotin aja. Lun ini pindahin biar bisa kita makan bareng, bilangin mama kamu terima kasih," saur Ayah menerima kantung yang diberikan oleh Adrian. Setelah Adrian memberikan bungkusan putih kepada ayah yang selanjutnya diberikan kepadaku, tanganku mengambilnya dan aku berdiri dari dudukku lalu berjalan ke dapur untuk memindahkan bungkusan yang diberikan oleh Adrian ke dalam kotak penyimpanan. "Kamu udah makan belum? Makan malem bareng aja,” ajak Ayah dengan senang hati, entah mengapa rasanya ayah dan Adrian terlihat semakin akrab. Aku merapikan meja makan setelah ayah dan Adrian pindah dan meletakkan piring di mejanya. Ayah membuka tudung saji, "ini Luna yang masak.” "Ayah!" ucap Luna dengan nada tinggi yang tertahan, sedangkan ayah hanya menyengir karena kejahilannya berhasil membuat anak perempuannya ini kesal. "Maaf ya Adrian, Ayah emang suka jahil gitu," ucapku tidak enak pada Adrian, berbeda dengan Adrian yang terlihat tidak terganggu. "Gak apa-apa Lun," saut Adrian mencoba menenangkanku yang terus merasa tidak nyaman. "Ya udah, ayo duduk dulu. Kita makan, ambil air ya Lun." "Iya," jawabku lalu berdiri dan mengambil air minum. Ini adalah kali pertama kami makan malam bersama, bahkan saat ini suasanya tidak seperti makan malam bersama teman tapi lebih seperti dua orang anak yang makan malam untuk meminta restu dari orangtua. Aku benar-benar merasakan kecanggungan kali ini, bahkan saat ayah dan Adrian mengobrol aku lebih memilih untuk diam dan menghabiskan makananku. "Sekalian sama cangkirnya juga,” sambung Ayah. Aku meletakkan teko berisi air yang sudah kupindahkan ke dalamnya di atas meja dan membali ke dapur mengambil cangkir untuk kami bertiga. *** Selesai makan malam Adrian izin kepada ayah untuk membawaku jalan-jalan ke sebuah taman bermain, sudah lebih dari 30 menit aku dan Adrian mengelilingi area pasar malam ini, cukup ramai dengan berbagai permainan yang disukai oleh anak-anak. "Adrian, aku sebenarnya punya keinginan yang belum pernah aku lakuin." Adrian menatapku, menungguku melanjutkan ucapanku. "Tapi, kayaknya aku gak yakin kamu mau deh," ucapku malas, karena setahuku Adrian imi takut dengan ketinggian. Aku menatap Adrian yang seakan mengerti, "bianglala?" tanya Adrian dengan wajah datarnya namun membuatku tersenyum lebar. Aku mengangguk-angguk, membenarkan ucapan Adrian. Aku sebenarnya agak ragu mengingat kejadian terakhir saat aku dan Adrian naik mini roller coaster. "Lun, yakin?" tanya Adrian yang sedikit panik. Aku mengangguk yakin, "ayo!" ajaku dengan senyum penuh misteri lalu menarik tangan Adrian menuju ke area bianglala.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD