BAB 26

1366 Words
Langit sudah menghelap, aku masuk ke dalam rumah saat kami melihat jam yang terpaku di dinding ternyata sudah menunjukkan hampir jam 11 malam, akhirnya setelah aku dan ayah sampai rumah aku sangat bersyukur, seluruh tubuhku rasanya remuk semua. Sangat lelah untuk dikatakan hanya berpiknik, memancing meskipun menunggu tapi cukup melelahkan. Aku saja sampai heran mengapa ayah dan om Juna sangat menyukai kegiatan satu itu, padahal tiduran di kamar saja sudah lebih baik daripada berpanas - panasan menunggu saat memancing. "Mandi dulu Luna, jangan gak mandi ya. Pakai air hangat aja," ucap Ayah yang tengah merapikan peralatan yang ia bawa. "Air dingin aja kayaknya, Luna gerah," ucapku terduduk di sofa, tubuhku terasa sangat lelah untuk sekedar berdiri atau berjalan ke kamar. "Nanti flu," saut Ayah yang juga terduduk sepertiku. "Nanti Luna tambah air panas dikit," sautku mengambil jalan tengah, aku memang beberapa kali mandi malam tapi malam ini aku benar - benar merasa gerah. Aku baru sadar jika sofa rasanya senyaman ini, penat yang kurasa membuatku tidak sanggup untuk berjalan lagi. Untungnya, ayah dengan baiknya membiarkanku beristirahat, meskipun sebenarnya aku juga tidak enak karena ayah sendirian membereskan semuanya. "Biar Luna besok yang cuci piring ayah istirahat aja dulu," ucap Ayah mencegahku untuk mencuci piring. Aku menggelengkan kepalaku, "piring udah di cuci tadi sebelum berangkat," ucapku pada ayah. Saat aku berjalan ke dapur, aku melihat beberapa tumpukan piring yang kami sudah aku cuci tadi. Syukurnya, setidaknya besok bisa beristirahat lebih lama. Mungkin karena masih di tumpuk di dalam baskom ayah mengira jika piring - piring itu belum di cuci, padahal aku meletakkannya untuk meniriskannya dari air sisa mencuci. "Iya," jawab Ayah singkat. Kulihat Ayah berjalan juga ke dapur, ua mengambil satu kotak besar s**u dari dalam kulkas dan membawa dua gelas. "Minum dulu, kamu kenala mukanya kok kelihayan pucat banget?" tanya Ayah memandang dalam dan penuh teliti wajahku. Ayah menungkan segelan s**u ke dalam cangkir dan memberikannya kepadaku, aku langsung menerima dan meminum s**u itu. "Oh iya, kapan acara perpisahan kamu Lun?" tanya Ayah tiba - tiba. Aku mengingat tanggal dan menghitung hari dalam hati. "Sembilan hari lagi kayaknya," ucapku yakin sambil mengingat. "Kamu udah beli baju sama sepatu?" tanya Ayah lagi. Aku menggeleng, "belum tapi nanti Luna beli kalo udah makin deket sama harinya. Soalnya Luna belum cek uang royalti n****+ kemarin udah masuk apa belum," ucapku karena aku sendiri juga lupa mengecek karena terlalu sibuk untuk persiapan ujian kemarin. "Kenapa pakai uang kamu, kamu perlu berapa besok ayah kasih uangnya?" tanya Ayah menatap dalam, sebagai orang tua tentu saja ayah ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya. Aku langsung menolak, belakangan aku tahu jika pekerjaan ayah tidak begitu banyak menghasilkan. Jika dipakai untuk membeli baju dan sepatu mungkin akan habis, aku tidak ingin ayah berkerja lebih keras daripada sekarang. "Enggak, aku emang udah dari dulu nabung buat beli ini. Ayah simpen aja uangnya," ucapku menolak, karena memang benar dari dulu aku sudah menyisihkan uang untuk acara perpisahan makanya aku mengambil proyek n****+. Aku menunjukkan sebuah baju dan sepatu dari sebuah toko yang kulihat secara online dari ponselku. Aku menunjukkan kepada ayah, meyakinkan jika tidak perlu mencemaskan masalah pakaianku. "Pokoknya besok ayah kasih uangnya," ucap Ayah masih membujukku namun tetap kutolak. Ayah menyerah dan akhirnya, aku tersenyum penuh kemenangan. "Ayah istirahat dulu deh, tapi bersih-bersih dulu nanti makin malam. Luna juga mau bersih - bersih terus tidur." Aku bangkit dari dudukku, namun tiba-tiba pengelihatanku memudar. Aku tidak bisa melihat jelas pintu kamarku karena seakan berpindah-pindah. "Kenapa Lun?" tanya Ayah yang langsung mendekatiku. Aku terdiam tidak menjawab pertanyaan ayah dan masih memejamkan mataku. "Kamu dingin banget," ucap Ayah panik dan memeriksa suhu tubuhkh dengan telapak tangannya.. Aku merasa tubuhku melayang karena ayah langsung mengangkatku dan membawaku ke kamar. Ia membaringkan tubuhku dan menarik selimut menutupi tubuhku. "Sebentar Lun," ucap Ayah keluar dari kamarku, ia terlihat cukup panik dan terburu - buru.. Aku mengangguk, masih memejamkan mataku karena saat kubuka pandangan mataku masih terasa kabur. Namun aku masih dapat mendengar langkah ayah yang semakin menjauh. Aku menitihkan air mataku, entah mengapa setiap aku sakit aku akan menjadi lebih cengeng dari biasanya. Sangat mudah aku menangis, padahal itu akan membuat kepalaku terasa lebih pusing. "Ayah kompres ya," ucap Ayah lalu aku merasakan sebuah handuk kecil yang sudah basah diletakkan di keningku. Aku masih dapat merasakan air mata yang turun ke pipiku, merasa bersalah karena makin merepotkan. "Apa kita ke rumah sakit aja Luna? Kamu mau kan?" tanya Ayah membujukku, namun aku menggelengkan kepalaku menolaknya. Aku menarik tangan ayah saat ia hendak berdiri, aku menatapnya lalu menggelengkan kepalaku dan menolak untuk ke rumah sakit. "Luna cuma demam biasa," ucapku mencoba meyakinkan ayah. "Enggak, ayah mau kamu diperiksa," saut Ayah masih bersikukuh untuk terus membujukku ke rumah sakit. Aku meraih tangan ayah dan mengenggamnya, "percaya sama Luna," ucapku menatap ke dalam mata ayah. "Ayah takut kamu kenapa-kenapa Luna, pokoknya kita ke rumah sakit." "Ayah, tolong. Luna udah capek banget, sekarang yang Luna butuhin cuma ayah," ucapku lagi menolak bujukan ayah. Rasanya aku sudah benar - benar bosan dengan yang namanya rumah sakit, aku tahu dengan pasti jika aku di rawat di rumah sakit tidak akan bisa pulang dalam satu atau dua hari, lagi pula aku nantinya akan sangat bosan di sana. Aku menangis menatap ayah, meski mataku masih belum melihat dengan jelas wajah ayah. Namun perlahan pengelihatanku sudah mulai membaik. "Ya sudah kalau begitu," balas Ayah menyerah dan kembali duduk di sampingku. Ayah mengelap keringatku dengan handuk kering sambil membasahi lagi handuk yang digunakannya untuk mengompresku. "Luna ngantuk," ucapku semakin lemah. "Kamu minum obat dulu," ucap Ayah membantuku untuk duduk terlebih dahulu dan membukakanku bungkus obat. Aku menerima obat dari ayah lalu langsung memakannya dan meminum air putih. Rasa kantukku bertama setelah meminum obat tadi, membuatku lebih cepat terlelap sesaat setelah memejamkan mata. *** Mataku terbuka perlahan, aku melihat ayah tertidur di sambil duduk di sampingku. Aku perlahan bangkit dari kasur mencoba untuk tidak menimbulkan bunyi agar ayah tidak terbangun. Aku berjalan ke toilet membasuh wajaku yang terlihat kacau. Sabun untuk mencuci muka aku oleskan pada tanganku, lalu membasahinya sedikit dengan air mengusap sabun tersebut ke wajahku dan membasuhnya kembali dengan air. Wajahku kali ini terasa lebih segar, aku merapikan rambutku dan berjalan keluar dari toilet. Aku mengambil selimut yang berada di meja belajarku dan menyelimutkannya pada ayah. Dengan sedikit berjinjit aku berjalan keluar kamar, menutup pintu perlahan agar tidak membangunkan ayah. Aku mengecek nasi yang berada di dalam penanak nasi, terlihat masih penuh. Mungkin, ayah yang memasak semalam. Aku mengupas bawang dan mencucinya bersamaan dengan beberapa cabai yang sudah kulepaskan tangkainya. Kemudian, aku memotong semua bahan-bahan termasuk cabai yang tadi kucuci. Minyak dalam botol kutuangkan ke dalam kuali. Setelah cukup panas, aku memasukan bawang yang tadi kupotong bersama dengan cabai agar rasa dari nasi goreng yang akan kubuat lebih pedas. Dua butir telur juga kumasukan ke dalam kuali lalu kutaburkan sedikit garam. Nasi yang tadi sudah kusiapkan selanjutnya kumasukan ke dalam kuali. Bumbu tambahan seperti garam, kecap dan penyedap rasa aku masukkan ke dalam yang kemudian kuaduk hingga tercampur rata. Sengaja tidak kutambahkan saus karena ternyata saus sambal sudah habis yang ada saus tomat sedangkan aku tidak begitu menyukai saus tomat. "Wangi," gumamku senang lalu membiarkannya beberapa saat. Aku berjalan mengambil piring dan memindahkan nasi goreng yang sudah kubuat ke dalam piring dan meletakkannya di atas meja makan setelah siap. Aku menggambil satu cangkir dan menuangkan satu bungkus kopi instan, kemudian mengisinya dengan air panas dan mengaduknya. "Semoga ayah suka," ucapku meletakkan kopi di atas meja makan. Sedangkan untukku, aku mengambil satu kotak s**u coklat dan menuangkannya ke dalam gelas. Saat semua siap, aku berjalan kembali ke kamar. Ayah masih terlelap, mungkin ia tidak sadar jika aku sudah bangun. Aku melihat jam di dinding yang menampakkan pukul 05:30 pagi, aku membuka gorden perlahan. Cahaya matahari yang masuk masih belum terlalu banyak karena belum nain tinggi. "Ayah," ucapku menepuk pundaknya. Aku melihat ayah menggeliat beberapa saat sebelum membuka matanya. "Aku udah masakin sarapan, ayo kita makan," ajakku, lalu aku duduk lebih dulu di meja makan. "Hah?" Ayah terkejut lalu menatapku bingung, "bukanya kamu sakit?" tanyanya heran. "Luna udah sangat sehat," ucapku senang. "Ayah cuci muka, Luna tunggu di meja makan." Aku langsung meninggalkan ayah, memberi ayah waktu untuk menyadarkan dirinya dan mencuci mukanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD