BAB 57

1273 Words
Pagi ini kerusuhan sudah terjadi, ayah bahkan pulang mendadak karena tahu aku akan pergi kemah. Padahal aku sudah berkata jika semua akan baik - baik saja dan aku akan mempersiapkan semua dengan baik, sehingga ayah tidak perlu mencemaskan kondisiku. Tapi siapa sangka, mendengar itu ayah malah berkata ia akan segera pulang dan membantuku mempersiapkan semuanya. Berkali - kali aku mengatakan tidak perlu juga tidak pernah di dengarnya, lalu aku bisa apa selain membiarkan ayah melakukan apa yang ia mau. Padahal ayah sedang bertugas di luar kota untuk beberapa hari, tapi ia malah sampai pulang hanya untuk membantu persiapanku. Aku tidak ingin sebenarnya jika ayah terus - terusan menganggap aku seperti anak kecil, meskipun aku tahu jika aku akan selalu jadi anak kecil dihadapannya tapi aku tidak ingin seperti itu. Mungkin benar jika itu adalah salah satu cara ayah untuk menunjukkan kasih sayangnya kepadaku, tapi aku sudah terbiasa mandiri sejak dulu. Jadi, rasanya seakan ada perubahan besar yang terjadi pada hidupku karenanya. "Ayah, ya ampun. Luna beneran gak apa-apa," ujarku memprotes saat ayah terus memasukan berbagai perlengkapan menurutku berlebihan, tapi ayah bersikeras mengatakan jika itu bisa saja dibutuhkan nanti. Aku cukup heran, padahal Ayah sudah paling sering berada dilapangan, tidur dalam tenda namun tetap saja ia memberiku banyak barang yang katanya nanti akan berguna tapi menurutku hanya menambah berat muatan yang kubawa saja. "Luna jangan lupa bawa lotion anti nyamuk," ucap Ayah mengingatkanku lagi. "Udah Ayah," jawabku yang mulai merasa bosan dengan persiapan ayah. "Ini, wajib dibawa. Di dalamnya ada obat-obatan, ini penting. Jangan sampai lupa," ucap Ayah lagi kali ini lebih tegas. Ayah menyodorkanku kotak obat yang sudah ia kemas dengan rapi kepadaku, tidak ada pilihan lain selain aku menerima sebuah kotak yang untungnya berukuran kecil sehingga tidak menghabiskan banyak tempat, lalu meletakkannya dekat dengan barang bawaanku yang lain. "Padahal Ayah gak perlu pulang, apalagi Ayah harus balik lagi. Luna cuma pergi dua hari Ayah bukan sebulan," ucapku masih membicarakan ayah yang sampai pulang untuk mengurusku. Aku terus protes karena Ayah, "makanya, karena cuma sebentar dan ini pengalaman pertama kamu jadi kamu harus banyak persiapan. Ayah gak mau kamu kurang persiapan," saut Ayah lagi - lagi mengomeli aku. "Oke, Luna nyerah." Aku mengangkat tanganku menyerah karna, bagaimanapun aku berpendapat Ayah tetap akan menang, apapun yang aku katakan tetap ayah menemukan kata untuk menyautinya. "Kamu nanti pergi sama Adrian?" tanya Ayah menatapku sekilas. Aku menggeleng, "sama Bian," jawabku singkat. "Tumben, kenapa?" tanya Ayah yang terlihat penasaran. "Aku 'kan gak sekelas sama Adrian, terus juga partner-ku si Bian." Aku menyusul Ayah yang duduk setelah selesai membantuku berkemas, Ayah menatapku membuatku melihatnya bingung. Mungkin Ayah sadar, jika hubunganku dengan Adrian belakangan ini merenggang. "Entah kenapa, Ayah jarang banget denger kamu sama Adrian. Kalian berantem?" tanya Ayah yang mampu membuatku terdiam selama beberapa saat. Sudah aku duga, pasti ada waktu ketika Ayah sadar dan menanyakan kembali hubunganku dan Adrian. Tapi aku juga belum bisa menjawab pertanyaan Ayah, karena bingung apa yang harus kukatakan. "Kalian pacaran?" tanya Ayah lagi membuatku menatapnya terkejut. "Siapa?" tanyaku menatap ayah, tidak mungkin 'kan seperti yang aku pikirkan. "Kamu sama Adrian," ucap Ayah memberi penekanan. "Ayah, Adrian ngajakin Luna buat komitmen," ucapku jujur lagi pula memang itu yang sebenarnya terjadi dihubungan kami. Selama ini, mungkin keluarga kami menganggap kami pacaran tapi sebenarnya kami memang berkomitmen untuk bersama dengan serius. Entah, Adrian mengajakku berkomitmen untuk menenangkanku saja atau aku yang terlalu menganggap serius sebuah komitmen. "Mau Ayah beri saran?" tanya Ayah yang tentu saja aku jawab dengan anggukan senang. Saat ini, aku memang membutuhkan banyak saran agar aku dapat memutuskan untuk bersikap seperti apa nantinya. "Kamu tahu 'kan, jika pacaran saja belum tentu serius. Begitu juga dengan komitmen, belum tentu berakhir sesuai dengan janji kalian. Ayah harap, kamu tidak terlalu bergantung pada itu. Ayah tidak mau kamu sakit hati," ucap Ayah membuatku terdiam beberapa saat, aku mencerna apa yang ayah katakan dan aku tahu jelas itu. "Maksud Ayah, aku gak bisa percaya sama omongan Adrian? Tapi Ayah tahu, selama ini dia ada saat Luna dalam keadaan paling terpuruk sekalipun," ucapku menyauti perkataan ayah, entah mengapa aku merasa Adrian berbeda. "Bukan begitu, kadang orang tidak bisa membedakan rasa suka dan rasa cinta. Rasa suka belum tentu berarti cinta, tapi jika rasa cinta sudah pasti memiliki rasa suka. Ayah mau kamu nentuin sendiri jawabannya," lanjut Ayah yang membuatku semakin bingung, mendengarkan ucapan ayah membuatku bingung dengan perasaanku sendiri. "Siapa pun dia, jika kamu menyukainya Ayah pasti akan mendukung. Ayah hanya khawatir kamu terlihat sedih belakangan ini," ucap Ayah dengan jelas, aku diam hanya mendengarkan dan tidak menyautinya karena aku tahu mengapa ayah berbicara seperti itu. Air mata mengalir dipipiku, aku sadar jika ada Ayah yang selalu mempedulikanku. Aku tidak bisa membuat Ayah ikut memikirkan masalahku, untuk sekarang menjalaninya saja akan lebih baik. "Jangan nangis," ucap Ayah mengusap air mataku. Tinnnn ... Tinnnnn ... "Kayaknya Bian sudah datang," ucap Ayah. Aku berjalan menuju pintu, membukakan pintu untuk Bian masuk. "Halo Om," sapa Bian lalu menyalimi tangan Ayah. "Halo Bian, apa kabar?" balas Ayah menyala Bian dengan ramah. "Baik Om," saut Bian tidak kalah ramah. "Ini pindahin dulu aja kali Yah," ucapku pada Ayah. Ayah langsung membawa beberapa kotak berisi penyimpanan bahan makanan dan Bian dengan sigap ikut membantu ayah memindahkannya ke dalam bagasi. "Lun, udah mau selesai. Kamu buat Strowberry Milkshake aja," ucap Ayah. Mengerti perintah ayah, aku langsung mengeluarkan selai strowberry buatanku yang selalu kusimpan dalam kulkas dan sekotak s**u vanila. Aku mengambil gelas dan memasukkan es batu yang tadi sebenarnya sudah aku serut ke dalam gelas yang sebelumnya sudah kumasukkan selai strowberry. Setelah itu, aku menjangkan s**u vanila ke dalam gelas dan membawanya ke meja makan. "Bian, makan dulu. Pasti capek," ajak Ayah yang diikuti Bian menuju ruang makan. "Cuci tangan dulu," ucapku memprotes saat mereka masuk dapur. Ayah dan Bian yang mengerti mengikuti ucapanku mencuci tanganya lalu kembali ke meja makan. "Ayo Bian, dimakan sama diminum. Maaf ya gak banyak, jangan sungkan." "Ya ampun, ini aja udah ngerepotin Om." Bian mengambil Strowberry milkshake lalu meminumnya, aku tersenyum melihat ekspresinya yang berubah ketika meminum itu. "Enak 'kan?" tanyaku menangkap basah Bian yang disambut tawa oleh Ayah karena ekspresi terkejut Bian. Kami memakan sarapan bersama pagi itu, ini pertama kalinya untukku dan Bian makan bersama dengan Ayah. Biasanya, Adrian yang akan menjadii orang keetiga antara aku dan Ayah. Selesai makan Ayah mengantarkan aku dan Bian keluar. Semua barang sudah kami pindahkan 1 jam lagi kami harus sudah berada di kampus, kami berangkat lebih awal agar Bian tidak perlu terburu-buru membawa mobil. "Ayah, Luna pergi ya." "Iya, hati-hati ya. Nanti kabarin Ayah terus," ucap Ayah memelukku erat. Sekarang aku dan Ayah memang sudah sangat dekat, tidak seperti dulu. Namun, kini permasalahan diantara kami karena jarak tidak bisa dihindari. Untungnya, Ayah selalu menyempatkan pulang jika sempat atau aku yang sesekali berkunjung. Namun sekarang, kebanyakan Ayah yang mengunjungiku apalagi libur sudah habis. "Om, Bian pamit dulu." Bian menyalami tangan Ayah dibalas dengan tepukan pundak oleh Ayah. "Titip Luna ya," ucap Ayah lalu membiarkan kami pergi. Bian menginjak gas dengan kecepatan sedang, setelah menekan klakson sebelum meninggalkan rumah.Selesai makan Ayah mengantarkan aku dan Bian keluar. Semua barang sudah kami pindahkan 1 jam lagi kami harus sudah berada di kampus, kami berangkat lebih awal agar Bian tidak perlu terburu-buru membawa mobil. "Ayah, Luna pergi ya." "Iya, hati-hati ya. Nanti kabarin Ayah terus," ucap Ayah memelukku erat. Sekarang aku dan Ayah memang sudah sangat dekat, tidak seperti dulu. Namun, kini permasalahan diantara kami karena jarak tidak bisa dihindari. Untungnya, Ayah selalu menyempatkan pulang jika sempat atau aku yang sesekali berkunjung. Namun sekarang, kebanyakan Ayah yang mengunjungiku apalagi libur sudah habis. Bian menginjak gas dengan kecepatan sedang, setelah menekan klakson sebelum meninggalkan rumah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD