Ponselku tiba-tiba berdering saat kami sudah hampir sampai kampus, entah siapa yang menelponku. Aku membalikkan tubuhku ke belakang lalu aku menjulurkan tanganku dan mengambil tasku yang aku letakkan di kursi belakang.
Sedikit kesulitan aku mengambilnya lalu saat aku bisa meraihnya, tanganku mengangkat tas itu dan membawanya kepangkuanku. Tanganku membuka resleting tas dan mencari ponselku yang sepertinya terletak di bagian terbawah tas dan tertimpa beberapa buku.
Itu karena tadi aku harus bersiap dengan cepat, jadi aku meletakkan asal ponselku saat tadi memasukannya ke dalam tas. Aku sedikit kesusahan merogoh ponselku karena buku - buku yang menimpanya, setelah beberapa saat tanganku menyentuh ponsel yang langsung kutarik keluar.
Saat aku menatap layar ponselku terlihat jelas jika yang tertulis di layar ponselku adalah nama Adrian, aku menatap Bian sejenak memberi tanda harus menjawab telepon. Bian yang mengerti langsung mengangguk membiarkanmu untuk menerima telepon.
"Halo," ucapku setelah menggeser tombol hijau di papan layar.
"Halo Luna, kamu udah berangkat? Mau aku jemput?" tanya Adrian dari balik telepon, aku terdiam sejenak sambil menatap Bian yang ada di sampingku.
"Em ... gak usah aku udah pergi sama Bian," ucapku perlahan, aku tahu jelas ini bisa menjadi masalah lain di hubungan kami.
Aku berbicara dengan sedikit berbisik dan hati-hati, setelah aku menolak ajakan Adrian keheningan terjadi selama beberapa saat. Aku tahu jika Bian juga pasti mendengar ucapanku, aku merasa tidak enak untuk semuanya.
"Mau sarapan apa? Nanti aku bawain. Mama masak banyak," ucap Adrian. Aku menghela napas pelan, aku sebenarnya tidak enak menolak tapi aku sudah makan tidak mungkin jika harus makan dua kali karena perutku sudah terisi dengan cukup.
"Adrian, maaf aku udah sarapan. Semalam Ayah pulang, jadi tadi dimasakin sama Ayah. Kamu gak usah bawa apa - apa," ucapku menolak dengan tidak enak hati.
"Ya udah, kalau begitu sampai bertemu di kampus."
"Iya, sampai ketemu nanti."
Aku menatap layar ponselku yang menampilkan panggilan yang berakhir, aku mendengar suara helaan napas kasar sebelum panggilan tadi berakhir. Dari nada bicaranya, aku yakin Adrian saar ini tengah kesal.
"Siapa, Lun?" tanya Bian yang berbicara setelah aku meletakkan kembali ponselku ke dalam tas.
"Adrian," jawabku singkat.
Untunglah, seakan mengerti Bian tidak melanjutkan pembicaraan. Suasana menjadi hening, hingga kami memasuki pintu gerbang kampus.
"Kumpul di fakultas 'kan?" tanya Bian dan aku menganggukkan kepalaku.
"Iya, langsung ke fakultas aja. Mobil dibolehin karena bawa barang," ucapku menjelaskan.
Mesin mobil mati setelah Bian memarkirkan mobil, kami keluar lalu menuju panita untuk absen terlebih dahulu. Diparkiran aku belum melihat mobil Adrian datang, aku dan Bian memilih untuk duduk bergabung dengan peserta lain.
"Luna."
Aku memalingkan wajahku menuju arah suara yang tadi memanggilku, kulihat Adrian yang berdiri memandangku.
"Baru datang? Mau minum?" tanyaku pada Adrian yang terlihat kelelahan.
Aku memberikan sebotol air mineral yang tadi kudapat dari Bian. Tanpa berbicara, Adrian langsung mengambil botol yang kusodorkan.
"Dari mana? Cape banget?" tanyaku menatapnya selidik, Adrian bahkan masih mengatur napasnya.
Adrian duduk di sampingku, "iya, mindahin barang."
"Gita mana?" tanyaku dengan tatapan bingung pada Adrian.
"Gak tau," ucap Adrian cuek.
"Kok gitu? Gak di jemput?" ucapku, wajah Adrian terlihat seakan tidak peduli dan acuh.
"Ngapain? 'kan bisa pergi sendiri," saut Adrian cuek.
Aku tersenyum kecil, entah mengapa ada rasa kemenangan yang aku dapatkan. Adrian menawarkan untuk menjemputku, sedangkan Gita yang merupakan partnernya tidak dijemputnya.
"Tuh dateng," ucapku menunjuk ke arah Gita yang baru saja turun dari mobil.
Kulihat Gita melihat ke sekeliling sesaat, sebelum akhirnya matanya berhenti ke arahku. Mungkin lebih tepatnya ke arah Adrian yang duduk di sampingku.
"Adrian, kok susah banget dihubungin?" ucap Gita yang baru saja datang.
Aku menatap Gita yang tengah protes ke Adrian, dari yang tidak sengaja kudengar Adrian mengabaikan panggilan Gita. Bahkan, aku yang sedari tadi diam malah ditatap sinis olehnya.
"Baiklah, semua sudah hadir. Kalian bisa bersiap di mobil dan kita akan bersama-sama menuju kampus B."
"Ayo Adrian," ajak Bian yang sedari tadi diam.
"Iya," ucap Adrian lalu berjalan menuju mobilnya diikuti oleh Gita.
Sedangkan aku, berjalan menuju mobil Bian. Saat di dalam mobil, Bian menghidupkan mesin dan menyalakan pendingin karena udara yang pengap akibat banyaknya barang yang kami bawa.
"Masih panas, Lun?" tanya Bian melihatku terus menyeka keringat denga tisu.
"Lumayan," ucapku sedikit terkekeh.
"Bentar lagi dingin. Eh ... Luna, itu kamu mimisan."
Aku terdiam, mengambil tisu baru lalu kenyeka hidungku.
"Bisa turunin kaca bentar," ucapku langsung dituruti oleh Bian.
Melalui kaca spion, aku melihat tisu yang mulai berubah warna menjadi merah. Bian mengambil beberapa lembar tisu lagi, sedangkan aku masih sibuk menyeka.
"Jalan aja gak apa-apa," ucapku saat sadar mobil di depan kami sudah mulai bergerak dan giliran mobil kami.
"Tapi, Lun."
"Ayo, daripada telat."
Tanpa banyak berkata Bian mengikuti ucapanku dan mulai menjalankan mobil beriringan dengan mobil yang bergerak lebih dulu.
"Lun, beneran gak apa-apa?" tanya Bian terlihat cemas.
"Iya, udah lanjut aja."
"Kita bisa kok mampir ke rumah sakit dulu," ucap Bian terdengar cemas namun aku terus menolak menunjukkan padanya jika mimisanku sudah berhenti.
"Kamu istirahat dulu, nanti sampe kubangunin lagian kambus B juga satu jam jaraknya dari sini," ucap Bian yang langsung kusetujui.
Aku mengatur kursi sedikit mundur, lalu memejamkan mataku. Aku sebenarnya juga terkejut, sudah sekian lama aku tidak pernah mimisan. Hampir setahun sepertinya, tapi mengapa tiba-tiba kembali mimisan?
Sebenarnya aku juga panik dan terkejut, tapi aku tidak bisa menunjukkan itu di depan Bian. Karena aku yakin Bian pasti akan terkejut jika mengetahui penyakitku dulu dan menyeretku dengan paksa ke rumah sakit.
Jika begitu, tidak hanya masalah kecil tapi masalah besar akan muncul. Ayah akan kembali mengkhawatirkanku, semua orang akan kembali menatap cemas kepadaku. Aku tidak ingin itu terjadi, biarlah ini aku simpan sendiri. Karena aku yakin, aku sudah sembuh.
Lagian, yang aku tahu mimisan juga bisa terjadi karena terlalu lelah. Aku pasti terlalu lelah karena semua tugas perkuliahanku.
***
"Luna, bangun. Udah sampe."
"Luna."
"Bangun, Lun. Udah sampe."
Aku mengusap mataku, menyesuaikan dengan cahaya yang masuk. Rasanya mataku begitu berat untuk terbuka, aku perlahan mengerjapkan mataku.
"Udah sampe?" tanyaku serak.
Aku mengatur kembali kursiku, mengambil botol air mineral yang berikan oleh Bian dan meminumnya.
"Ayo keluar dulu," aja Bian lalu kami berjalan mendekat ke arah panitia yang meminta kami kumpul.
Aku dan Bian mendengar setiap arahan, kami harus mendirikan tenda sebelum sore karena akan menyiapkan makan malam.
Adrian dan Gita yang satu tim dengan aku dan Bian mendekat, kami berbagi tugas. Adrian dan Bian akan bertugas menurunkan barang sedangkan aku dan Gita merapikan tempat kami akan memasang tenda.
"Kamu sapu sebelah situ, aku sebelah sini."
Tanpa banyak bicara aku mengambil sapu dan menyapu dedaunan yang jatuh, memastikan area sekeliling tenda kami nanti bersih.
"Lun, tukeran dong. Di sana ada rumput, aku alergi."
"Oke," ucapku singkat lalu berpindah.
Saat aku sampai ke tempat dimana aku membagi tugas dengan Gita tadi, tidak sedikitpun area yang sudah bersih. Padahal, kami sudah menyapu selama 10 menit.
"Udah nyapunya?" tanya Adrian yang baru saja kembali disusul oleh Bian dari belakang.
"Udah dong, ini aku udah nyapu hampir selesai. Aku bagi dua sama Luna, tapi yang Luna dari tadi belum selesai."
Aku melihat Adrian yang juga menatapku, semua yang diucapkan oleh Gita adalah kebohongan. Bahkan, ia tidak menyapu hanya menyapu sisa dari apa yang sudah kuselesaikan.
Aku diam, tidak membantah ataupun mengatakan yang sebenarnya. Bian yang seakan mengerti menarikku mengajakku untuk mempersiapkan makanan, sedangkan ia meminta Adrian dan Gita menyelesaikan peralatan dan bangku lipat.
"Lun, mau buat apa?"
"Kita buat minuman dulu aja, soalnya buat makan 'kan harus kumpul dulu sama yang lain dan dengerin arahan lagi. Lagian kalau mau masak udah mepet, tiga puluh menit lagi kita kumpul."
"Oke, kamu perlu bantuan apa?" tanyaku pada Gita.
Aku menatap sekeliling sejenak, "Bisa ambilin buah semangka sama melon? Aku mau buat es buah."