BAB 56

1373 Words
Sore ini aku dan Bian berjalan menuju aula gedung fakultas, besok akan ada acara pengakraban sesama peserta bujang gadis fakultas. Di aula, sudah cukup ramai pasangan perkelas yang sudah berkumpul, karena memang jika sesuai pemberitahuan pengarahan akan diadakan 5 menit lagi. Bian mengajaku duduk di kursi yang berada di barisan tengah, setelah berkenalan dengan pasangan yang ada di kelas lain aku mengerti jika kelas lain ada yang mencalonkan tidak hanya satu pasangan. "Mau minum, Lun?" tanya Bian menunjuk ke arah tempat botol minum yang terjejer, sepertinya memang disediakan. "Boleh," jawabku lalu Bian berjalan mengambil air minum untukku dan dia. Aku melihat Adrian yang baru datang bersama dengan Gita, mereka duduk di depan tempatku tapi berada di baris yang berbeda. Kulihat, Adrian dan Gita semakin akrab. Lagi-lagi, rasa cemburu kembali menyelimuti perasaanku. "Ngelamunin apa?" tanya Bian membuatku terkejut karena mempelkan botol air mineral yang dingin ke pipiku. "Enggak, makasih ya." Aku menerima air mineral yang dibawa Bian lalu meminumnya, tidak lama arahan dimulai. Banyak penjelasan karena acara akan di adakan di hutan belakang kampus karena memang sering dijadikan tempat perkemahan. Panitia juga membagi menjadi beberapa kelompok, entah memang takdir atau ketidak sengajaan aku dan Bian satu kelompok dengan Adrian dan Gita. Kulihat, Adrian dan Gita mendekati aku dan Bian setelah pasangan lain meninggalkan kami dan mencari pasangan kelompoknya. "Bisa pas banget sekelompok," ucap Adrian lalu menyalami Bian. "Iya, pas banget. Kita kayaknya bakal menang," ucap Gita penuh dengan semangat. "Kok bisa kalian berpasangan?" tanya Adrian, aku hendak menjawab tapi terhenti karena Bian menjawab terlebih dahulu. "Iya, iseng. Kalian?" "Biasa anak kelas, mereka bilang kami cocok banget. Jadi pada setuju kalo kita yang wakilin kelas," balas Gita dengan nada yang bersemangat. Aku menghembuskan napasku dalam, berusaha untuk bersikap baik-baik saja. Toh, bagaimanapun juga aku tidak bisa melarang Adrian untuk tidak ikut. "Mau pergi cari perlengkapan bareng?" tanya Adrian sambil menatap mataku. Jelas sekali, aku lihat Adrian berusaha untuk mendekat kepadaku. "Di bagi aja biar cepet, nanti kemalaman. Belum lagi banyak yang mau dibeli," ucapku memberi saran tapi sebenarnya aku sedang tidak ingin berada di situasi yang sama dengan mereka. "Bener banget saran Luna, kita bagi aja. Kalian bisa kan beli bahan buat makan? Nanti kami yang beli perlengkapan buat masak." "Iya bisa. Ayo, Bian." "Eh, ya udah kami duluan. Nanti kalo ada yang gak ketemu cepet hubungin kita ya," ucap Bian lalu kami berpamitan. Aku dan Bian berjalan lebih dulu meninggalkan Adrian dan Gita yang masih berdiri di tempat yang sama. "Ada apa, Lun?" tanya Bian saat sudah sampai di parkiran motornya. "Gak apa-apa," sahutku tidak ingin ditanya lebih lanjut. "Maaf gue gak bawa mobil, gue gak tahu kalo kita bakal disuruh belanja." "Gak apa-apa, ayo," ucapku lalu mengajak Bian untuk segera pergi. Bian memutar kunci motornya, memberikanku jaket yang ia keluarkan dari tasnya. Aku diam beberapa saat melihat uluran tangan Bian, aku merasa tidak enak dan juga canggung jika harus memakai jaketnya. "Belum aku pake," ucap Bian mengeluarkan jaket hitamnya. "Duh, padahal mau balikin jaket lo. Malah lo minjemin gue jaket lagi," ucapku memberikan tote bag berisi jaket Bian yang waktu kepantai ia pinjamkan padaku. "Udah gak apa-apa naik gih," ucap Bian, aku menganggukkan kepalaku lalu naik ke motornya. Bian menyalakan motornya, membantuku menaiki motor gedenya untungnya aku selalu mengenakan celana dan jarang mengenakan rok saat ke kampus. Jika tidak, mungkin sulit untuk naik di motor gede yang juga tinggi ini. "Mau makan dulu?" tanyaku kepada Bian karena aku merasa perutku terasa agak perih. "Iya, laper banget. Gak apa-apa 'kan?" tanya Bian, aku tersenyum tipis dan menganggukkan kepalaku. "Ya ampun, kayak sama siapa aja. Gue juga laper, cuma takut aja lo gak laper terus gak mau gue ajakin makan, makanya gue nanya." Bian menghentikan motornya di tempat makan yang sama dengan yang waktu itu kami datangi, karena makanan di sana enak dan kami juga bingung harus makan di mana jika ditempat lain jadi kami sepakat untuk makan di sini. Lagi pula, market tempat kami akan belanja nanti akan melewati restoran ini jadi kami tidak menghabiskan waktu berputar-putar hanya sekedar mencari tempat makan. "Gue ke toilet dulu ya, pesenin aja apa pun. Gue gak milih makanan," ucapku dengan tawa singkat lalu berjalan menuju toilet setelah mendapat persetujuan dari Bian. Aku berdiri di depan cermin sambil membasuh tanganku. Di dalam pouch yang aku bawa, ku buka face wash yang kupindahkan ke dalam wadah kecil yang memang selalu kubawa jika ke luar. Aku membasuh mukaku terlebih dahulu dengan air, lalu mengambil fash wash yang tadi kukeluarkan. Aku mengusapnya perlahan ditanganku hingga mengeluarkan sedikit busa lalu memoleskannya pada wajahku. Kubasuh kembali wajahku setelah kurasa cukup bersih, dan mengelapnya dengan tisu yang ku ambil dari pouchku juga. Kuperhatikan pantulan diriku yang berada di cermin, lalu merapikan rambutku yang terlihat berantakan. Ikat rambut yang tertempel di rambutku kulepaskan, membuat rambutku kini tergerai. Aku merapikan kembali rambutku, lalu menyelesaikan kegiatanku dan berjalan keluar. Makanan baru saja di antar saat kulihat pramusaji tengah memindahkan makanan ke atas meja. Aku mendekat dan duduk di kursiku kembali. "Banyak banget," ucapku melihat meja makan yang hampir penuh. "Bisa kok abis, gue belom makan dari tadi siang." "Ayo makan," ucapku tersenyum lebar. Saat mood sedang tidak baik, hanya makanan yang dapat mengurangi dan membuat kita lupa dengan permasalahan kita. "Mari makan, Luna," ucapku dalam hati. Aku mencoba lauk yang berada di atas piring, menyuapkannya ke dalam mulutku. Perlahan aku mengunyahnya, mataku mendadak membesar saat merasakan masakan ini. "Kenapa?" tanya Bian yang sepertinya daritadi menhamatiku. Bahkan, aku saja baru sadar jika hidanhan yang disajikan ini adalah masakan rumahan, padahal saat waktu kami makan hidangan ini tidak tersisa. "Enak banget," ujarku kembali mengunyah tiap sendok yang masuk ke dalam mulutku. "Pelan-pelan," ucap Bian memperingatkan namun kujawab dengan anggukan saja. Aku terlalu sibuk menikmati masakan ini dan terus menyuap tiap sendok. Seakan memgerti, Bian tidak lagi berbicara dan melanjutkan makannya. *** "Lun, kita kayaknya gak banyak belanjanya." "Iya, pas gue cek grup tadi menunya diganti jadi yang simpel. Tapi harus buat 1 menu utama, ada lomba masak gitu buat unjuk kekompakan." "Kita mau masak apa? Ini pasangan apa kelompok?" "Pasangan, jadi ada dua sesi kan peralatannya terbatas." Bian mendorong troli mengikuti langkahku, sedangkan aku tengah fokus dan menimang bahan makanan yang akan kami buat. "Bian, lo suka makan apa?" tanyaku pada Bian. "Gue?" "Iya, kamu. Siapa lagi memang?" "Gue gak banyak milih makanan, tapi gue itu suka banget makan seafood." "Pas banget," ucapku tersenyum lebar lalu berjalan meninggalkan Bian yang masih bingung. Kudengar Bian memanggilku memintaku menunggunya, namun tidak berapa lama ia sudah berhasil menyamakan langkah kami. "Besok, kita masak Cumi saus tiram pedas manis." "Kayaknya enak, lo tahu cara masaknya?" "Tenang aja, gue juga suka sama seafood." Aku berjalan mengambil saus tiram botol dan memasukannya ke dalam troli yang dibawa Bian. "Lun, butuh bawang-bawangan?" Aku melirik Bian yang tengah memilih beberapa bumbu dapur. "Iya, sama daun bawang juga." Aku memilih cumi yang terlihat masih segar. Aku mengangkat beberapa cumi dan menunjukkannya ke Bian yang ternyata sudah berada di sebelahku. "Segini cukup?" "Kayaknya cukup," ujar Bian setelah melihat cumi yang kupindahkan. Aku dan Bian menghabiskan banyak waktu berkeliling, kami juga berdiskusi tentang bahan makanan apa yang cocok dengan cumi dan masakan seperti apa yang akan kami masak. Bahkan, persiapan kami tidak hanya itu saja. Aku dan Bian juga telah mendiskusikan pembagian pekerjaan apa yang kami lakukan saat memasak nanti. Satu yang aku baru tahu lagi tentang Bian, jika ia cukup jago masak. Bukan karena tuntutan tinggal berpisah dengan orang tua tetapi ternyata Bian sudah di ajarkan masakan oleh Mamanya karena tidak ingin Bian terlalu sering makan makanan yang fastfood dan tentu tidak bagus untuk kesehatan. Makanya, walau makan di luar Bian sering kali makan makanan rumahan. "Udah selesai?" "Udah, ayo pulang." Aku berjalan bersama Bian yang membawa bungkusan lebih banyak dariku. Karena Bian membawa motor sedikit susah kami membawa barang bawaan kami, untungnya rumahku tidak jauh jadi tidak terlalu sulit bagi kami membawa belanjaan. Untuk menjaga keamanan kami dan belanjaan, Bian membawa motornya dengan kecepatan yang sedikit lebih lambat. Apalagi aku tidak bisa berpegangan karena memegang banyak belanjaan. Sepanjang perjalanan yang terasa dekat itu, kami terus bertukar pikiran. Kurasa, kerjasama kami akan sangat bagus besok. "Besok gue jemput jam tujuhanan ya," ucap Bian. Aku mengangguk, lalu masuk membawa belanjaanku. Meninggalkan Bian yang baru pergi setelah melihatku menutup pintu rumah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD