BAB 8

1305 Words
Tadi pagi, Om Juna datang menyusul Tante Erly yang dengan baiknya bersedia menemani aku di rumah sakit. Awalnya ayah menawarkan diri untuk menginap dan menjagaku, tentu saja dengan keras aku menolak karena pastinya aku tidak nyaman. Om Juna dan Tante Erly yang datang semalam berniat akan bersama menginap disini, tapi Tante Erly yang seakan mengerti dengan keadaanku meminta Om Juna dan ayah lebih baik pulang dan digantikannya. Padahal, jika harus sendiri juga sebenarnya tidak apa-apa. Meski dengan keyakinan yang tinggi jika aku pasti tidak bisa tidur karena terlalu banyak memikirkan hal horor. Anehnya, aku sangat penakut jika menyangkut hal yang seperti itu. Tante Erly membantuku untuk makan dan mengganti pakaianku. Untuk sekarang, aku meminta mereka semua untuk kembali dengan pekerjaan mereka tanpa khawatir padaku. Aku merasa tidak enak jika ayah, Om Juna dan Tante Erly malah memutuskan tidak berkerja karenaku. Oleh karena itu, kini aku sendirian di dalam ruang rawat inap. "Bosen banget," gumamku lalu mencoba turun dari ranjangku, tanganku terasa kaku karena infus yang terpasang. Dengan membawa infus, aku bertekad untuk berjalan di sekeliling rumah sakit. Perlahan meski sedikit nyeri pada tanganku, aku berjalan keluar dari kamarku. Aku berjalan melewati koridor yang bercabang, melewati bangsal anak. Pantas saja di dekat ruang rawatku ada taman yang lumayan luas, mungkin agar anak-anak yang sedang dirawat bisa sedikit nyaman karena dapat duduk atau sekedar bermain dengan ikan yang ada di kolam. "Mau permen?" tanya seorang anak laki-laki menyodorkan permen lolipop beragam warna padaku. Aku menatapnya sekilas lalu menggeleng, anak kecil itu sekilas cemberut ketika aku menolak permen yang ia tawarkan lalu denhan cepat wajahnya berubah menjadi senyum kembali. "Enggak, Kakak nggak suka makanan yang terlalu manis," sautku menolak permen pemberian anak kecil itu. "Beneran gak mau?" tanya anak kecil itu lagi menatapku dalam. Aku menolak permen dari anak kecil itu meski merasa tidak enak, tapi anak kecil itu malah tersenyum lebar padaku. "Karena Kakak sudah manis, jadi tidak mau bertambah manis 'kan?" tanyanya dengan polos yang membuatku tertawa kecil. "Kamu sendirian? Orang tua kamu ke mana?" tanyaku saat menyadari anak kecil ini sendirian, dia juga sama sepertiku, memegang tiang penyanggah cairan infus. "Lagi ke kantin," balas anak kecil itu terlihat biasa, tidak takut sama sekali padahal ia masih kecil dan malah ditinggal sendirian. "Kenapa nggak nunggu di kamar? Nanti dicariin," tannyaku, aku sedikit mencemaskan anak kecil ini apalagi melihat infus ditangannya. Aku yang sudah sebesar ini aja masih merasakan nyeri dari jarum, apalagi anak kecil ini. "Bosen, Kak," jawabnya lagi namun ekspresinya seakan itu sudah biasa. Aku mengerti apa yang anak kecil itu rasakan, aku yang baru sehari saja merasakan bosan apalagi anak kecil ini yang biasanya main pasti lebih merasa bosan. "Duduk di sana, yuk?" ajakku menunjuk sebuah kursi putih panjang dari kayu yang berada di dekat kolam. "Boleh," jawabnya dengan ekspresi senang dan bersemangat, lalu ia mengikutiku. Kami berdua berjalan beriringan, aku membiarkan anak kecil itu berjalan di depanku dan aku mengikutinya dengan langkah kecil, menyesuaikan dengan langkah yang anak itu buat. "Dek, kamu mau ini?" Aku merogoh saku bajuku, mengeluarkan beberapa jelly kepada anak kecil itu. Dengan cepat dia mengangguk, lalu aku memberikan beberapa bungkus permen jelly yang kukantongi. Aku melihat anak kecil ini, "Nama kamu siapa, Dek?" tanyaku menatap ke dalam matanya. "Aku Dika, Kak. Kalo nama Kakak siapa?" tanyanya balik sambil membalas menatap mataku. "Nama kakak Lun--" "Luna!" Potong seseorang yang tiba-tiba menepuk pundaku. Aku menolehkan kepalaku, melihat Adrian dengan senyumnya yang terlihat aneh. Ia melihatku heran, namun aku segera tersenyum kecil. "Lagi ngapain sih, Lun? Dipanggil nggak nyaut-nyaut," ucap Adrian dengan nada yang sedikit kesal, aku sendiri sampai heran mengapa Adrian terlihat kesal seperti itu. "Ini lagi main sama adek in--" Adrian memotong ucapanku sebelum aku selesai bicara. "Siapa? Orang kamu sendirian," ucap Adrian yang menatapku bingung, aku yang di tatap Adrian jelas lebih bingung. Aku menatap ke sekelilingku, mencoba mencari di mana Dika bersembunyi. Aku kira dia malu bertemu dengan orang asing, tapi berbeda denganku, Adrian berkali-kali menjelaskan jika saat ia melihatku, aku sendirian, tidak bersama siapapun. Bahkan, aku dan Adrian masih berdebat. Aku yang sedang bersama Dika dan Adrian yang tidak melihatku bersama siapa pun. "Beneran, makanya aku nyamperin ke sini. Aku kira kamu ngapain sendirian," ucap Adrian dengan nada yang aku yakin kini ia sudah sangat kesal. "Nggak tau ah," sahutku lelah, aku berpikir positif mungkin saja anak Dika tadi pergi karena dipanggil orang tuanya yang sudah kembali.. "Balik ke kamar aja yuk, Lun. Udah mau hujan." Aku menatap langit yang berwarna keabuan, angin mulai berhembus dengan cukup kuat untuk menerbangkan dedaunan yang jatuh di atas tanah. Aku berjalan dengan Adrian yang membantuku mendorong penyanggah infus. Aku masih sesekali melihat ke arah taman, karena masih bingung dengan menghilangnya Dika. "Capek nggak, Lun? Mau istirahat dulu?" tawar Ardian, aku mengangguk entah mengapa kakiku terasa sangat lemas. "Mama Dika!" Aku menatap seorang perawat yang berdiri dihadapanku, ia mendekati seorang ibu muda yang tengah mengusap air mata yang mengalir melewati pipinya. "Untuk pengambilan jenazah bisa diambil, saya turut berduka cita atas kepergian Dika ya, Bu." Aku terdiam membeku, menatap Adrian yang juga menatapku bingung. "Dika, itu nama anak kecil yang sama aku tadi. Anak kecil yang aku ceritain ke kamu," ucapku pada Adrian cepat, mataku terus mengekori perawat yang bertemu dengan wanita muda berusia sekitar awal 30-an. "Lun, nama Dika banyak nggak cuma satu. Mungkin Dika yang lain," ucap Adrian terlihat mencoba membuatku untuk tidak ambil pusing. Aku menatap perempuan yang baru kuketahui adalah Mama Dika. Aku berdiri mengekori Mama Dika, tidak memedulikan Adrian yang mencoba menghentikan langkahku. "Luna, kamu pasti kecapean. Aku jelas nggak ngeliat siapa-siapa, balik ke kamar aja ya, Lun." Aku tahu Adrian sangat khawatir dan peduli padaku, tapi tetap saja aku ingin memuaskan rasa penasaranku. Saat aku berhasil menyusul langkah Mama Dika, aku berdiri di sebuah kaca yang membatasi ruangan. Sedangkan Mama Dika, ia berjalan masuk ke dalam ruangan tersebut. Melalui kaca ini, aku dapat melihat mama Dika berdiri di sebuah ranjang yang terbuat dari almunium dan besi tersebut aku melihat Mama Dika membuka penutup kain putih yang aku tahu itu adalah jenazah. Saat penutup kain itu terbuka, aku menutup mulutku saat melihat seseorang yang terbaring di atasnya adalah anak kecil yang juga aku kenal sebagai Dika. Aku sangat terkejut karena baru beberapa saat lalu aku melihat Dika duduk di taman bersamaku, kini aku melihatnya sudah terbaring kaku menutup matanya. "Dia. Aku tadi bersama dia di taman," ucapku pada Adrian, tanpa sadar nada suaraku sudah berubah menjadi bergetar. Aku mengeluarkan air mata, lalu mendorong daun pintu. Dari balik pintu mama Dika menatapku bingung, "Mbak, dia tadi ngobrol sama aku di taman. Dika anak yang baik," ucapku pada perempuan yang aku tahu dia adalah ibu dari Dika. Aku mengusap air mataku, Adrian memegangi pundakku seakan menenangkan. Benar - benar aku tidak menyangka jika anak kecil yang aku lihat tadi sudah meninggal, padahal sosoknya terlihat sangat nyata untukku. "Itu, jelly aku yang kasih. Saat kami di taman tadi," ucapku dengan suara bergetar. Mama Dika melihat sebuat bungkusan jelly yang sedikit terkeluar dari baju rawat yang dipakai Dika. Aku ingat jelas dengan jelly itu yang mana aku sendiri memberikannya, mataku menatap sedih ke arah jelly itu "Bagaimana bisa? Dika meninggal tadi pagi," ucap Mama Dika dengan air mata yang turun dengan makin deras. "Aku juga nggak tau Mbak, tapi itu benar - benar terjadi tadi. Aku bahkan masih terkejut dengan ini," ucapku dengan terisak, Adrian merangkul pundakku mencoba menenangkanku. "Kalau memang benar, terima kasih sudah memberi permen itu ke Dika." Aku mengangguk, dokter menyarankan untuk segera membawa Dika pulang sehingga bisa dilangsungkan pemakaman untuk Dika. "Terima kasih sudah menemuiku," batinku melihat Dika yang kembali ditutup dengan kain putih. Aku kembali ke kamarku masih dibantu oleh Adrian setelah tadi mengantarkan Dika dan mamanya sampai ke dalam mobil jenazah. Seumur hidup, baru ini aku bertemu dengan sosok hantu apalagi di siang hari. Tapi, Dika bukan hantu, bagiku dia adalah anak yang baik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD