Ini hari ketiga aku tidak masuk ke sekolah, seakan tidak cukup sakit pada hatiku, sekarang fisikku juga ikut melemah. Sudah banyak tisu yang kuhabiskan untuk menyeka hidungku yang sedari tadi minisan. Entah mengapa menjadi tiba-tiba mimisan.
Kepalaku terasa pusing, saat berjalan juga aku merasa seakan melayang. Niatnya aku akan pergi ke dokter tapi sepertinya jangankan ke dokter untuk berjalan ke dapur saja aku memerlukan upaya besar.
Tanganku menyentuh gelas yang akhirnya terjatuh dan pecah di lantai, aku terkejut dan segera menghindar. Sambil meraba meja makan aku berusaha menahan diriku dengan menjadikan meja makan sebagai tumpuan, kepalaku memang masih terasa pusing namun aku dengan terus berusaha menahan.
"Sapu," gumamku, aku melihat di samping pintu dapur lalu perlahan melangkahkan kakiku mencoba menghindari pecahan gelas yang tadi terjatuh.
Aku meraih sapu dan juga serokan, "ada - ada saja," gumamku lalu membawanya.
Tanganku mulai menyapu lantai mencoba untuk membersihkan pecahan gelas yang tadi terjatuh, setelah selesai aku membuangnya ke kotak sampah.
Di atas meja makan, aku melihat bubur yang ditinggalkan oleh pria yang harus kusebut dengan 'ayah'. Meski aku tidak pernah menyentuh makanan buatannya, tapi kali ini entah mengapa bubur ini terlihat enak. Aku mengambil sendok dari dalam kotak penyimpanan lalu menyuapkan sesendok bubur buatan ayah ke dalam mulutku.
Tanganku terhenti saat sendokan kedua, bubur ini rasanya persis seperti buatan ibu dulu. Rasanya, aku benar-benar menikmati masakan ibu setelah sekian lama. Lucunya, aku bahkan menangis sekarang hanya karena semangkuk bubur.
Aku berhenti disendokan kelima, entah mengapa perutku semakin terasa sakit. Aku berdiri mengambil gelas, tapi entah mengapa perutku semakin sakit dan mendadak pandanganku kabur. Aku berusaha meraih pinggiran meja makan tapi seolah nyawaku keluar dari tubuh, aku terjatuh dan tidak sadar.
Kepalaku terasa sangat pusing dan berat, sebelah tanganku terangkat mendekat ke pelipisku, sambil memijatnya perlahan. Entah mengapa kepalaku terasa sangat pusing, mataku juga terasa agak berat untuk membuka.
Bau antiseptik tercium menyengat melalui hidungku, aku mencoba menyesuaikan cahaya yang masuk ke mataku. Kepalaku terasa sangat berat dan tanganku yang terasa ngilu karena infus. Aku menatap ke arah pintu yang tiba-tiba terbuka, dari sana ayah datang dengan bungkusan berwarna putih. Aku hanya menatapnya yang berjalan semakin mendekat.
"Di mana yang sakit, Lun?" tanya ayah menatap cemas keadaanku, aku diam mengalihkan pandanganku.
Tanganku meraih kepalaku yang terasa sangat pusing sampai - sampai rasanya membuka mata saja membuat kepalaku semakin sakit, aku memejamkan mata sambil perlahan memijat keningku.
Ayah terus berbicara denganku dan menanyakan keadaanku, namun tidak ada pertanyaan dari mulutnya yang aku sauti. Jujur saja aku belum siap semua ini, aku memang ingin sekali bertemu dengan ayah dan menanyakan kebenarannya. Namun, tidak semudah mitu untukku bisa berhadapan dan berinteraksi dengan ayah, tapi dengan kondisiku sekarang aku terlalu lemah untuk menolak semua itu.
"Kamu suka bubur ayam ‘kan, Lun?" tanya Ayah bersikap seakan peduli denganku, membuatku semakin merasa kesal.
Aku mengalihkan pandangan, meski sebenarnya masih dapat melihat melalui ujung ekor mata bahwa ayah tengah memindahkan bungkusan yang berisi bubur ayam yang tadi dibawanya.
"Makan dulu, Lun," lanjut ayah tidak menyerah.
Aku mengalihkan pandanganku ke samping menolak sendokan yang di sodorkan oleh ayah, "nggak laper," sahutku acuh.
Aku sebenarnya sangat lapar, apalagi wangi dari kuah bubur ayam yang sepertinya enak itu mengganggu pikiranku.
"Nanti kalau aku makan buburnya dikira udah nerima kehadiran dia," batinku.
"Ayah enggak mau kamu tambah sakit, Lun. Dokter bilang pencernaan kamu terganggu. Kamu mau makin lama nginep di sini?" ucap Ayah masih berusaha untuk membujukki.
"Bukan urusan kamu," jawabku dingin.
Mungkin jika aku berbicara dengan nada seperti itu di depan Anggi, ia sudah menyirami aku dengan satu ember penuh air. Tapi bagaimana lagi, mengingat penderitaan yang aku dan ibu alami membuatku tidak bisa sebaik itu pada ayah.
"Ini urusan Ayah, Luna. Kamu itu tanggung jawab Ayah," jawab ayah terlihat tidak menyerah.
Aku tertawa miris mendengar ucapan ayah, entah kenapa mendengar ayah berbicara begitu membuatku ingin tertawa. Lucu sekali yang ayah katakan, mengatasnamakan tanggung jawab padahal selama ini tidak ada sedikitpun tanggung jawab dari ayah yang aku rasakan.
"Tanggung jawab? Lalu selama ini tanggung jawab Ayah mana? Kenapa baru sekarang hah!?" ucapku dengan nada tinggi, aku sangat kesal sekali mendengar ayah terus mengungkit - ungkit kata tanggung jawab.
Aku, entah mengapa perasaanku terasa sangat sakit saat ayah menyebutkan tanggung jawab dalam ucapannya. Padahal selama ini, jangankan bertanggung jawab, hanya sekedar menemui atau memintaku bertemu dengannya saja tidak pernah.
"Maaf. Ayah minta maaf, Luna. Saat itu Ayah punya alasan," sahut ayah dengan lemah, namun tidak membuatku tergerak begitu saja.
"Alasan? Alasan apa? Jelasin ke Luna apa alasan ayah!" tanyaku lagi dengan nada tinggi, aku tidak tahu alasan apalagi yang akan ia katakan kepadaku untuk menutupi semua itu.
"Luna, maaf Ayah nggak bisa jelasin ke kamu sekarang. Ini belum saatnya," ucap Ayah membuatku semakin merasa sakit dan kecewa.
"Nggak bisa?" tanyaku dengan nada yang sedikit meninggi, emosiku semakin tidak terkendali.
"Maaf."
"Pergi!" usirku tegas, aku bahkan melempar mangkuk berisi bubur itu sembarangan. Aku benar-benar kesal, tidak peduli darahku bercampur dengan cairan infus aku menarik selimut dan menutupi seluruh tubuhku.
Aku benci ayah.
Aku menangis di balik selimut. Saat aku sudah bertemu dengan ayah yang selama ini aku tunggu entah mengapa ayah tidak ingin membagikan bebannya kepdaku. Memaafkan memang mudah, aku bisa langsung saja untuk bilang sudah memaafkan ayah tapi bekas luka yang ayah gores untuk kata maaf aku yang tidak akan pernah hilang.
Untuk itu, aku ingin tahu mengapa ayah melakukan semua itu. Mengapa aku mendapat panggilan anak pembunuh dan mengapa semua orang seakan mengutukku. Aku tahu, meski seluruh dunia mengutuk ayah, ibu pasti akan tetap membela ayah. Ibu yang selalu bilang untuk percaya dan menyayangi ayah, ibu yang selalu menunggu ayah kembali.
Tapi, bahkan untuk sekedar meredakan kekesalanku ayah bahkan tidak berniat menceritakan alasannya dan itu membuat hatiku sebagai anak sakit. Aku merasakan tiba-tiba tubuhku dipeluk, aku mendengar isak tangis yang tertahan dari ayah.
"Luna, Ayah tidak perlu semua orang percaya pada Ayah. Bagi Ayah, cukup Luna yang percaya pada Ayah."
Ayah perlahan menurunkan selimutku, meletakkan tanganku yang terinfus di dalam genggamannya.
"Jangan ditarik ya, Lun, pasti sakit. Lihat darah kamu naik, loh," ucap ayah lembut. Aku menatap setiap perlakuan ayah padaku, ia merapikan selimut hihingga da daku.
"Jangan nangis lagi," lanjut Ayah masih terus berusaha membujukku.
Kini, ayah mengusap air mataku dengan tangannya. Merapikan rambutku yang mungkin sudah berantakan.
"Ayah suapin ya, Lun," ucap ayah.
Aku melihat ayah mengambil mangkuk bubur lalu duduk di sampingku, entah hilang kemana kekuatanku tadi tapi kini aku dengan nyamannya menerima setiap suapan dari ayah.
"Kata Dokter kamu harus nginep di sini selama beberapa hari. Nggak apa-apa ya, Lun."
"Aku mau pulang," ucapku datar.
"Nggak bisa, Lun. Kita ikutin saran Dokter. Hanya beberapa hari aja," balas ayah.
Aku mengangguk lemah, mengalah mungkin jalan terbaik saat ini.
"Minum dulu, Lun."
Aku menerima botol minum yang diberikan ayah, lalu meminum air itu hingga hampir setengah botol, menghilangkan perih karena tenggorokanku yang terasa sangat kering.
"Kamu istirahat saja. Ayah pulang sebentar, mau ambil perlengkapan dan pakaian ganti buat kamu."
"Engg, baju bisa Tante Erly aja? Luna masih nggak nyaman," ucapku setengah berbisik.
Bagaimanapun ayah adalah lelaki, sedangkan aku bertemu dengannya baru-baru ini. Aku masih cukup malu untuk memperlihatkan isi lemariku kepadanya.
"Ah, nanti Ayah minta Tante Erly. Kamu istirahat dulu," jawab ayah lembut.
"Sebentar," sautku memotong ayah yang hampir saja membuka pintu.
"Bisa tolong ambilkan hapeku?" ucapku dengan canggung, jika tidak terpaksa aku tidak akan meminta bantuannya.
"Sebentar aja, habis itu istirahat."
Aku mengangguk lemah menerima ponselku, lalu ayah keluar dari kamar meninggalkanku sendirian. Aku membuka ponselku yang ternyata penuh dengan pesan dari Adrian, memang merepotkan ternyata mempunyai teman. Luna baru merasakan rasanya ada yang mencarinya saat dia menghilang, atau mengajaknya makan saat sendirian.
11.08
Lunaaaaaaa
11.08
Lunaaaaaaaa masih sakit?
11.09
Bls Lun
11.10
Lun lagi tidur ya
11.10
Ya udah nnti kbrin ya
13.00
Lun udah makan?
13 panggilan tak terjawab
13.10
Makin sombong aja Lun
13.11
Lun tgs kamu aku kumpulin
13.11
Aku nyontek sama anak kls
7 panggilan tak terjawab
15.00
Lun, rmh kamu dmn?
15.01
Kalo msh gak jwb, aku ke sana ya!
15.05
Udah dpt alamat kamu, tinggal otw
15.06
Klo aku dtg diusir ga?
15.40
Aku d dpn, bukain Lun
2 panggilan tak terjawab
Aku tertawa melihat isi pesan Adrian yang kebanyakan berisi spam, tiba-tiba ponselku berdering menampilkan nama Adrian dilayar.
Adrian memanggil
"Halo," ucapku lemah
"Lunaaaa!!! Susah banget balas pesan, di mana sih? Disamperin malah nggak dibukain pintu."
"Aku di rumah sakit," ucapku dengan kekehan lemah.
Sedikit banyak aku merasa bersalah kepada Adrian, aku merasa Adrian berbeda dari yang lain meski baru mengenalnya. Aku ingin mencoba untuk menerima Adrian sebagai temanku tapi rasa takut dan trauma itu masih menghantuiku.
"Rumah sak---"
Aku melihat ponselku setelah ucapan Adrian terputus, layar gelap memenuhi ponselku. Bahkan, batrai ponselku habis di saat yang tidak tepat. Aku meletakkan ponselku di nakas samping ranjangku, lalu memilih untuk istirahat sambil menunggu ayah kembali lalu memintanya mengisi daya ponselku.