BAB 9

1318 Words
Setelah kembali ke kamarku, aku menatap kembali beberapa jelly yang tersisa dari saku bajuku. Aku teringat kembali dengan sosok Dika, meski baru beberapa saat lalu bertemu dengannya aku sangat yakin kalau dia anak yang baik. Dari dalam hati, aku mendoakan semoga Dika berada ditempat terbaik disisi-Nya. "Lun, ngelamunin apa?" tanya Adrian yang menyadarkan aku dari lamunan. Aku menggeleng, tidak ingin membuat Adrian kembali mengomeliku karena masih tidak percaya jika aku bertemu dengan sosok Dika. Entah kebetulan atau bukan tapi aku bersyukur bertemu dengan Dika, meski cuma sekali aku tetap akan mengingatnya. "Tau dari mana aku di sini?" tanyaku, setelah aku pikir-pikir kemarin aku belum sempat rasanya memberi tahu Adrian di mana aku berada. Tetapi, saat ini ia malah sudah berada di sampingku. "Ra-ha-si-a," ucap Adrian dengan senyum kecil pada ujung bibirnya. Wajah Adrian terlihat senang saat melihat wajah kesalku, entah mengapa aku malah menjadi kesal setelah mendengarkan jawaban dari Adrian padahal seharusnya aku tidak perlu seperti ini. Aku mengerucutkan bibirku sebal. "Ya udah, sana pulang," sahutku bersikap seolah mengusir Adrian. "Kok ngusir?" balas Adrian dengan nada yang menurutku menyebalkan. Aku dan Adrian sama-sama diam untuk beberapa saat, lalu Adrian mengeluarkan sebuah monopoli dari dalam kantung yang ada disampingnya. Aku heran sejenak darimana Adrian menemukan mainan itu, padahal sekarang permainan seperti itu sudah cukup langkah. "Bosen 'kan Lun? Bisa main ini nggak?" tanya Adrian setelah ia mengeluarkan sebuah kertas dan beberapa minion. "Ini mah aku tahu," ucapku bersemangat, aku membantu meluruskan kertas monopoli yang dibawa Adrian. Selama beberapa saat aku sempat berpikir, entah dari mana ide Adrian datang dengan membawa monopoli. Aku saja sudah lama sekali tidak melihat monopoli seperti ini, bahkan untuk saat ini sudah jarang sekali ada yang menjual jika bukan di pasar. Canggihnya teknologi membuat semua bisa di dapat dari sebuah alat bernama smartphone, jadi permainan seperti ini tentu tidak semenarik dulu lagi bagi sebagian orang. "Bentar aku benerin dulu," ucap Adrian mengatur kertas monopoli yang baru ja keluarkan. Aku membantu melipat kertas monopoli agar lebih mudah dimainkan, sedangkan Adrian tengah menyusuh kartu dan uang kertas yang berada di dalam plastik berbeda. "Kalo kalah harus dihukum ya," ucapku dengan nada meremehkan Adrian lalu tersenyum lebar. Adrian membalas menatapku dengan percaya diri, "beneran ya? Tapi hukumannya apa, nih?" tanya Adrian yang juga jadi semakin bersemangat. Entah mengapa aku tiba - tiba kepikiran untuk mengajak Adrian taruhan, padahal aku tidak sengaja berbicara begitu eh ternyata malah Adrian juga ikut tertarik. "Pikirin dulu. Nanti pas udah ketahuan siapa yang menang, baru dikasih tahu. Gimana?" ucapku, karena aku tadi sebenarnya hanya iseng mengatakan untuk taruhan. "Siap!" jawab Adrian tidak kalah bersemangat. Adrian menyiapkan semuanya, setelah meletakkan papan kertas monopoli di atas ranjangku. Aku kalah saat harus bersuit dengan Adrian, ia mengguncang dadu yang pertama. "Udah nggak marah lagi, Lun?" ucap Adrian tiba - tiba, aku diam sejenak dan masih menatapnya bingung. Dadu yang terlempar berhenti, aku sekilas menatap Adrian sambil menjalankan pionku. Wajah Adrian terlihat datar dan tanpa ekspresi, padahal aku diam bukan bermaksud mendiamkannya. "Marah?" tanyaku bingung, perasaan dari tadi aku biasa - biasa saja. Adrian melempar dadu saat gilirannya. "Kemarin kamu bukannya kamu ngusir aku?" ucap Adrian yang membuatku baru teringat kejadian kemarin. Aku terdiam beberapa saat, "Maaf," ucapku dengan pelan karena merasa sedikit bersalah. "Maaf untuk?" tanya Adrian sambil menjalankan minionnya. "Maaf untuk hari itu, aku cuma nggak mau kamu ikut dapat masalah." Aku mengambil kartu kesempatan, lalu membacanya dan memindahkan pionku, mataku menatap penuh senyuman. Aku menatap Adrian, memberi tanda untuk ia bergerak selanjutnya karena merupakan gilirannya. "Jadi kalo sekarang nggak apa-apa?" tanya Adrian lagi. "Cuma temen 'kan?" jawabku singkat. Mataku menatap tepat ke arah mata Adrian, selama beberapa saat pandangan mata kami bertemu namun aku lalu lebih dulu mengalihkan pandangan mataku sebelum suasana yang ada di antara kami menjadi lebih canggung daripada saat ini. "Hm ..." "Yey!!! Menang!!!" Aku tersenyum bahagia saat pionku memenangkan sebagian besar tempat dan Adrian kehilangan semua uangnya. "Curang 'kan, Lun?" ucap Adrian dengan ekspresi yang terlihat kesal. Tawaku keluar ketika melihat ekspresi kesal dari wajah Adrian, entah mengapa membuat Adrian kesal merupakan kesenangan sendiri bagiku. Bibirku tertarik lebar, aku menang dan aku bisa meminta permintaan kepada Adrian meskipun sebenarnya aku juga tidak tahu apa yang aku inginkan karena mulanya aku hanya bercanda saja mengatakan jika yang menang bisa meminta sesuatu kepada yang kalah. "Gimana bisa curang, gini doang." "Ya bisa," balas Adrian dengan nada yang mengesalkan, sepertinya Adrian ini memang berbakat untuk membuatku merasa kesal. "Pokoknya aku menang," aku dapat melihat jelas sebenarnya Adrian tidak begitu kesal. "Jadi, apa yang kamu mau, Lun?" tanya Adrian langsung, aku diam berpikir untuk beberapa saat. "Aku mau lima permintaan," balasku dengan senyum yang lebar, aku mengucap asal permintaanku karena aku memang tidak menyiapkan apapun. "Nggak mau. Banyak banget lima permintaan. Kayak Jin botol aja," protes Adrian, aku hanya tertawa melihatnya yang seakan tertindas. Melihat ekspresi Adrian entah mengapa terasa lucu. Semakin diperhatikan, Adrian memang cocok untuk dijadikan teman. Rasanya, selama beberapa hari mengenalnya ia selalu berusaha untuk membantuku bahkan dia tidak pernah memintaku membantunya. "Pokoknya mau lima permintaan," ucapku tidak mau mengalah. " Tapi kan, yang menang boleh ngehukum, bukan minta permintaan, Lun." Aku menggeleng. "Makanya hukuman dari aku ya minta lima permintaan," ucapku lagi membujuk Adrian. "Oke. Tapi cuma tiga aja, nggak bisa kalo lima. Itu aja kamu curang." Adrian menatapku yang memang menatapnya juga, aku tertawa kecil lalu mengangguk menyetujui kesepakatan itu. "Jadi permintaan pertama kamu apa?" tanya Adrian akhirnya menyerah, ia menatap mataku dalam. "Buat permintaan aku, nanti aku kasih tahu." "Ya udah," balas Adrian lemah. "Makan buahnya, Lun," ujar Adrian menyodorkan beberapa potong apel yang sudah ia potong dan kupas. "Kenyang," tolakku menunjukkan sekotak jus jambu yang sudah kuminum tadi. "Masa segitu doang kenyang, biasa juga makan porsi kuli." "Enak aja," ujarku mengerucutkan bibirku. Beberapa saat kemudian pintu ruang rawat dibuka, seorang perawat masuk membuat Adrian sedikit menggeser posisinya membiarkan perawat itu memeriksaku. "Saya suntik sebentar, ya," ujar perawat tersebut lalu mempersiapkan jarum suntik dan menusukannya ke dalam tabung kecil berisi cairan obat. Beberapa tetes obat keluar saat perawat itu sedikit mendorong suntukan, ia mengelapnya dengan sebuah kapas steril lalu menusukkan jarum itu pada lenganku. Ngilu sedikit terasa saat jarum itu menusuk kulitku, namun perhatianku dari suntikan teralihkan saat Adrian bertingkah lucu dengan mengangkat kedua tangannya memberikanku semangat. "Oke baik, udah ya. Nanti malam kamu makan ya, besok sepertinya sudah bisa pulang. Kalau begitu saya permisi dulu ya, Mbak." "Terima kasih," balasku cepat. Adrian kembali duduk di sampingku, ia membantuku untuk berbaring. "Aku kok agak ngantuk ya?" ucapku ketika merasa mataku seperti berair karena aku yang sudah beberapa kali menguap. Entah berapa kali aku menguap, tanganku terus menutup mulutku. Mataku terasa pedas bukan hanya berair saja, aku menatap Adrian yang sepertinya menatapku terus. "Efek obat kali, Lun. Ya udah kamu istirahat aja." "Kamu pulang aja kalo gitu," sahutku meminta Adrian kembali, lagian mana bisa aku istirahat atau tidur jika ada dia di sini. Adrian membantuku menarik selimutku. "Nggak apa-apa, aku jagain di sini. Kamu tidur aja," balas Adrian menolak. "Ya ampun, apanya yang mau dijagain. Nggak bakal ilang juga," protesku karena Adrian yang keras kepala. Sebenarnya, aku tidak nyaman jika harus tidur dihadapan orang lain. Meskipun Adrian bukan orang yang baru sehari aku kenal tapi, semakin mengenal Adrian aku menjadi semakin ingin masuk ke dalam dunianya entah mengapa. "Dijagain dari penjahat, aku 'kan pahlawan super." "Dasar bocil, aku tidur ya. Beneran ngantuk," ucapku karena merasa kantuk yang semakin berat. "Iya, udah tidur jangan banyak pikiran. Tidur ya," ucap Adrian lalu membantu menarik selimut untukku. Mendengar ucapan itu dari Adrian membuatku merasa nyaman, sebenarnya aku ingin tetap terjaga dan berbicara dengan Adrian tapi entah mengapa aku benar-benar mengantuk dan tidak bisa menahannya. Mata Adrian menatapku dalam, ada raut lelah di wajah Adrian meskipun ia sama sekali tidak mengeluh kepadaku tetapi aku tahu Adrian berusaha bersikap kuat di depanku. "Selamat tidur," ucap Adrian, aku tersenyum sebelum menutup mataku. Jangan lupa istirahat, jangan main hp terus biar cepet bisa masuk sekolah lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD