BAB 55

1672 Words
Kelas cukup rusuh di siang hari ini, padahal hari ini cuaca juga sama panasnya dengan beberapa hari kemarin lalu di sore atau malam hari biasanya cuaca akan turun hujan tiba - tiba dan sangat deras. Sejak ada penilaian kelas terkompak, sudah berminggu-minggu semua mahasiswa saling mengakrabkan diri. Bersama semua siswa berusaha untuk membuat kelas menjadi kompak, karena hadiah gratis makan 1 hari di kantin cukup menggoda seisi kelas yang kebanyakan perantau ini. "Luna sama Bian bisa gak ikut bujang gadis fakultas?" tanya ketua angkatan, mendengar itu tentu saja aku langsung menggelengkan kepalaku. "Gue? Gak bisa, mana cocok gue." Aku menolak dengan pasti. Tidak pernah bagiku terpikirkan untuk mengikuti hal-hal seperti itu di kampus, selain melelahkan tidak ada bakat sedikitpun untukku. "Kenapa? Lo 'kan cantik Lun, pinter juga. Anak-anak kelas pasti dukung lo kok. Lagian ya Lun, pas voting kemarin memang nama lo sama Bian yang paling banyak. Berarti anak kelas udah setuju, lo cukup nyoba aja. Kita gak bakal bebanin lo untuk menang, cukup buat nyelametin kelas dari denda karena gak ikut," ucap salah seorang teman baruku. "Tapi masa gue sih," ucapku membantah, karena jujur saja aku tidak terlalu minat dalam bidang itu, apa lagi jika harus berdandan setiap hari. Selain itu aku tidak memiliki bakat dalam dunia kecantikan, jangankan untuk berdandan kurasa dandananku sehari-hari saja sudah jelas kalah jauh dengan most wanted yang berada di fakultas ini. "Gak bisa Lun, anak lain lagi persiapan buat piala universitas," ucap yang lainnya seolah membantah penolakanku, semua menatapku penuh harap padahal sudah jelas aku menolak ini. "Ya udah, oke gue ikut. Gue gak punya alasan lagi," ucapku pasrah, saat semua makin menatapku dalam. Jika sudah anak sekelas yang mendukungku, apa yang bisa kulakukan untuk menolak. Lagian, sudah jelas suaraku akan kalah. Padahal di dalam hati tentu saja aku masih menolak, aku benar - benar tidak tertarik sama sekali. "Lo, Bian. Gimana?" tanya ketua angkatan bertanya pada Bian. "Gue juga gak bisa nolak 'kan?" jawab Bian singkat, semua tersenyum senang setelah mendengarkan jawaban dari Bian. "Bagus, kalian persiapkan diri kalian. Gue sebagai ketua kelas bakal cari info siapa saingan kalian, biar kalian makin percaya diri." Aku dan Bian hanya diam mendengar setiap arahan dari ketua kelas. Memang beberapa hari yang lalu kami mengadakan voting untung pemilihan calon kelas yang akan dikirim mengikuti bujang gadis fakultas. Tapi, aku tidak menyangka jika diriku yang malah terpilih. "Woi gue dapet info," teriak salah satu teman sekelasku. Kini, seluruh yang berada di kelas menatapnya penuh harap terhadap info yang didapat. Tak terkecuali aku dan Bian yang mau tidak mau harus mendengarkan setiap info sedikitpun. Tidak menang, tapi minimal tidak malu-maluin. Itu prinsip kelas kami, jika mengikuti kata ketua kelas. "Anak kelas sebelah yang nyalon si Adrian sama Gita," ucap Yoga setelah semua orang diam menunggunya. Semua orang dikelas hampir mengatakan sudah menduga hal ini akan terjadi, tapi tidak denganku. Aku tidak menyangka hal ini akan terjadi, tapi aku tidak bisa melarang Adrian untuk tidak mengikuti ini karena akupun mengikuti ini. Awalnya memang aku tidak memiliki keinginan, jangankan menang. Untuk lolos di babak pertama pemilihan saja aku tidak memikirkannya. Namun, setelah mendengar itu aku sekarang jadi tertarik dengan perlombaan ini. Karena sekarang aku memiliki Gita sebagai saingan, yang tentunya aku ingin menunjukkan jika aku lebih baik daripada Gita. Setelah selesai rapat mendadak siang itu, kelas bubar. Aku dan Bian masih berada di dalam kelas membahas beberapa hal yang terkait dengan perlombaan ini. "Bian, aku harus menang. Bantu aku," ucapku dengan percaya diri kepada Bian. "Aku gak akan bisa bantu kamu, siapapun gak akan bisa. Hanya kamu yang bisa membantu diri kamu, jadi lakukan semuanya sebaik mungki. Ayo kita menang," balas Bian dengan keyakinan. Untungya, pasanganku adalah Bian. Jika orang lain, mungkin aku tidak akan sepercaya diri ini. Semuanya sudah di mulai, tidak ada alasan lagi untuk mundur. "Pulang sama Adrian?" tanya Bian menatap ke arahku. "Enggak, Adrian mau pergi proyek." "Gak ikut?" tanya Bian yang kubalas dengan gelengan kepalaku. "Enggak," jawabku singkat, aku sedang tidak tertarik membicarakan Adrian. "Dia sama Gita lagi?" tanya Bian tiba - tiba. "Kayaknya enggak, soalnya gak ada bilang. Kalo yang pertama sih iya, gak tahu yang ini." Aku mengambil tasku, berdiri dari kursiku bersama denhan Bian berjalan keluar dari kelas. "Mau dianterin?" tanya Bian menawariku tumpangan. "Gak usah, soalnya mau mampir ke kantor." "Sekalian aja, searah juga." Aku terus menolak tawaran Bian, karena merasa tidak enak dan juga aku merasa ingin sendirian dan menghabiskan waktu di luar sendirian. Aku dan Bian berpisah saat menuju gerbang depan sedangkan Bian menuju gerbang sampir mengambil motornya yang terparkir. Aku berjalan melewati pagar, seakan mendukungku matahari bersembunyi dibalik awan. Tidak terlalu panas untuk berjalan kaki, aku mengelurkan payung dari dalam tasku. Meski aku sering pulang dengan Adrian yang membawa mobil namun aku selalu menyiapkan payung di dalam tasku jika saja tiba-tiba diperlukan. Banyak pertokoan yang kulewati, sesekali bau roti menyeruak menusuk hidungku dan mengundang lapar saat aku melewati toko roti. Jalanan juga tidak begitu padat, mungkin karena besok adalah akhir pekan. Tiba-tiba aku teringat dengan hubunganku dan Adrian yang terasa mulai menjauh ini. Beberapa kali aku mengajak Adrian keluar, namun ia berkata jika perkerjaanya sedang banyak dan ia menjadi lebih sibuk dari biasanya. Langkah kakiku jelas terhenti saat melihat dua insan yang sudah aku tahu jelas siapa berdiri beberapa puluh meter dari tempatku membeku. Kuliah sosok pria yang kutahu adalah Adrian tengan membukakan pintu untuk seorang gadis yang juga kutahu adalah Gita. Ia duduk di kursi dimana biasanya aku duduk saat menaiki mobil Adrian. Tidak lupa, Adrian memberikan sebuah cup minuman yang dari tadi ia pegang pada Gita sebelum menutup pintunya dan berjalan menuju kursi kemudi. "Apakah aku salah jika aku cemburu?" tanyaku pada diriku sendiri. *** Tok ... Tok ... Tok ... Tok ... Tok ... Tok ... "Luna!" "Luna!" Aku mengusap mataku, gelap menyeruak memenuhi pandanganku. Aku mengeser tanganku, mencari ponsel yang harusnya berada di sampingku lalu menghidupkan senter melalui ponselku. Aku menekan tombol dan menyalakan lampu, kesadaranku makin meningkat ketika pintu depan rumahku terketuk dengan cukup keras. Aku berjalan menuju pintu dan membukanya, kulihat Bian berdiri dengan tatapan yang tidak bisa ku artikan. "Loh, kok ke rumah gak bilang-bilang, ada apa?" tanyaku yang cukup terkejut melihat Bian datang tiba-tiba. "Luna, lo ke mana aja sih? Di telepon gak di jawab, di sms gak dibalas." Aku mengecek ponsel yang masih berada digengamanku, saat melihat layar ponselku aku menutup mulutku terkejut melihat banyak panggilan tak terjawab dari Ayah dan Bian. "Ya ampun, maaf banget. Gue ketiduran, masuk dulu." "Gak usah Lun, gak enak. Gue di luar aja," ucap Bian lalu aku mengajaknya duduk di kursi yang berada di teras. "Ini ada makanan buat lo, tadi gue beli di jalan." "Ngerepotin banget sih, harusnya gak perlu." "Gak ngerepotin, ini pesenan Ayah lo juga kok. Tadi dia nelpon gue buat ngecek keadaan lo, karena tumben banget pas di telepon katanya gak di angkat. Kata Ayah lo, dia juga udah nelpon Adrian tapi gak di jawab makanya dia nelpon gue. Kayaknya dia khawatir banget," ucap Bian menjelaskan semuanya. Aku tidak menyangka jika Bian bahkan mendatangiku ditengah malam seperti ini, sedangkan Adrian ia malah entah kemana tidak bisa dihubungi. "Habis ini gue bakal telepon Ayah," ucapku memberikan penjelasan. "Ya udah, kalau gitu gue pamit pulang udah malem banget gak enak sama tetangga." "Baru jam 7 malam woi, kayak anak gadis aja." "Bangke juga lo," balas Bian. "Masuk sini, udah makan belom lo?" "Belom Lun, ntar balik ini gue makan." Aku menghela napas, Bian ini memang tipe teman yang sama orang lain peduli tetapi sama diri sendiri suka diabaikan. "Makan dulu," ucapku memberikan piring padanya. "Ini gue beliin lo makan, bukan buat gue makan." "Udah, jangan berisik. Lagian, gue juga sebenernya masak." Aku mengeluarkan sambal hati dengan tahu yang tadi sore kumasak, lalu menindahkan nasi ke dalam mangkuk. "Ambil sendiri ya nasinya, gue masak banyak kalo kurang nambah aja." "Sebanyak apa sih? Lu masak buat se rt?" "Mengadingadi banget emang ya," protesku lalu mendudukan diriku di kursi yang berada di hadapan Bian. "Gila enak banget, bisa masak juga lo." Kucubit lengan Bian, membuatnya mengaduh karena merasa sakit. "Galak banget, pawangnya mana sih?" "Kelaut," ucapku acuh. Bian tertawa keras membuatku menatapnya sebal, beberapa detik kemudian Bian terbatuk karena tersedak. "Sukurin, terus aja. Terus," ucapku menuang air ke dalam gelas. Bian tidak berhenti menolak sedari tadi karena aku membungkuskan beberapa lauk yang ayah simpan. Kuambil sebuah kertas membuat arahan agar Bian dapan memakannya masih dengan rasa yang enak. *** Rendang Daging Masukan ke kulkas, jika ingin di makan ambil sebagian. Bisa dipanaskan di dalam pemanas, atau di panci kecil. *** "Bantuin tempel, biar lo gak pikun." *** Gulai Ikan Masukkan di kulkas, panaskan jika ingin dimakan. Jangan diaduk kalau tidak dimakan, segera habiskan. *** "Ini, besok sarapan makan ini aja soalnya baru gue buat tadi. Panasin aja, kayak biasa." *** Sup Ayam Panaskan, untuk sarapan besok pagi. *** "Banyak banget Lun," ujar Bian melihat tumpukan kotak dariku. "Ini dikit kok, kalo lo pengen makan sesuatu. Sekali-kali boleh deh gue masakin, kalo bisa." "Ya udah, makasih ya. Gue balik dulu," ucap Bian menenteng kantong hitam berisi makanan yang kubungkudkan. "Iya, makasih juga ya Bian. Maaf kalau ngerepotin," ucapku merasa tidak enak. Aku mengantar Bian berjalan menuju motornya. Ia hendak menyalakan mesin motornya, namun kutahan. "Tunggu di sini sebentar," ucapku lalu masuk ke dalam rumah dengan sedikit berlari. Aku mencari sesuatu dari dalam lemariku, melihat dengan teliti tiap tumpukannya. Mataku terhenti di tumpukan yang kucari, kuambil jaket dari dalam lemariku. Aku membawanya keluar, lalu kembali berjalan mendekati Bian. "Pakai ini, lo nanti kedinginan. Mana gak bawa jaket," ucapku memberikan jaket pada Bian. Saat ia akan pergi tadi, mataku terhenti saat menyadari ia hanya mengenakan kaos tanpa jaket seperti biasa. "Gak usah, gue gak apa-apa." "Udah jangan protes, walau gak bagus banget atau gak cocok tapi pake aja." Bian akhirnya menyerah karena aku terus membujuknya, laku ia memakai jaket yang kuberi dan berpamitan pulang. "Foto dulu," ucapku mengeluarkan ponsel dan dengan cepat mengambil gambar. "Sial, awas aja lo." Aku tertawa cukup keras saat Bian sudah menjauh, bagaimana tidak melihat Bian memakai jaket pikachu milikku membuat Bian terlihat lucu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD