Aku melihat Adrian masuk setelah kembali dari mengantar ayah ke depan, ia duduk disampingku dan mengenggam tanganku erat hingga aku dapat merasakan hangatnya tangan Adrian ketika menyentuh telapak tanganku.
Meskipun mama Adrian tidak melarangnya untuk tinggal tapi aku tetap merasa tidak enak, ayah juga pernah bilang kepadaku ia tidak enak kepada Adrian yang terus - terusan menungguiku tapi ayah tidak ada pilihan lain selain memang meminta pertolongan dari Adrian.
Ayah menghabiskan waktu untuk bekerja aku sangat tahu itu, apalagi biaya pengobatanku juga tidak murah. Banyak biaya yang harus ayah keluarkan setiap kali aku harus dirawat di rumah sakit, awalnya aku pikir memang tubuhku menjadi terlalu lemah.
Tetapi sekarang aku mencurigai sesuatu, mimisanku ini sepertinya bukan karena kelelahan seperti apa yang di bilang oleh tante Erly. Aku merasa ada sesuatu yang mereka rahasiakan kepadaku namun aku tidak tahu apa, meskipun aku bertanya juga aku sangat yakin jika mereka tidak akan memberitahuku.
"Aku gak apa-apa 'kan," ucapku mencoba menenangkan Adrian, aku tahu jika Adrian berusaha untuk menyembunyikan kecemasannya namun tetap saja aku masih dapat melihatnya dari wajah Adrian.
Meskipun aku terlihat kacau, semua orang terlihat lebih kacau setiap aku kembali di rumah sakit. Tante Erly bahkan sampai memanggil beberapa dokter untuk menangankku padahal harusnya tidsk seperti itu, meskipun rumah sakit ini milik keluarga om Juna dan tante Erly tapi tetap saja pasien tidak hanya aku.
Melihat banyak dokter datang aku semakin yakin jika aku tidak sebaik - baik itu, namun aku harus berpura - pura percaya di depan mereka dan menyembunyikan pikiranku. Jika tidak tentu saja aku yakin mereka juga akan ikut terbebani dengan aku yang sibuk berpikir mengenai semua ini.
Rambutku di usap lembut oleh Adrian, "iya kamu gak apa - apa, sehat terus ya Luna. Harus," ucap Adrian masih mengusap kepalaku dengan lembut.
Aku mengedipkan mataku, "aku kenapa? Ayah ada ngomong apa ga sama kamu?" tanyaku pada Adrian, mungkin saja 'kan ayah membicarakan kondisiku dengan Adrian.
Aku tersenyum kecil, aku memganggik berusaha untuk membuat Adrian percaya kepadaku meskipun aku yakin sesuatu terjadi.
"Kamu cuma kekurangan vitamin kok, bukan karena apa - apa. Makanya sekarang ini penting banget buat kamu istirahat," ucap Adrian memberikanku beberapa omelannya, membuatku sebenarnya merasa kesal sekaligus senang karena tahu sebegitu besar kepedulian Adrian padaku.
"Kamu tidak bohongkan?" tanyaku mencoba untuk mencari jawaban jujur dari Adrian, aku sengaja mencoba bertanya untuk memancing Adrian
"Tidak Luna," jawab Adrian singkat, benar seperti dugaanku Adrian juga tidak mau membicarakan ini denganku.
"Tapi masa sih, aku rada gak percaya, mana mungkin kekurangan vitamin bisa mimisan separah itu."
Adrian menghembuskan napasnya kasar, "aku serius Luna, kamu gak apa-apa. Kamu kelelahan dan juga karena perubahan cuaca di luar jadi banyak juga orang yang jadi gampang sakit seperti kamu ini," balas Adrian lagi dengan sabar.
Tidak ada nada tinggi atau nada marah dari intonasi suara Adrian. Setidaknya, aku bisa mempercayai ayah dan Adrian untuk menenangkan pikiranku. Kepalakh tidak akan berhenti berpikir jika aku terus curiga, aku mencoba mempercayai Adrian untuk menolong diriku sendiri.
Aku memghelakan napasku dalam, "aku percaya, kamu sama Ayah gak mungkin ngerahasiain sakitku 'kan?" tanyaku sekali lagi, Adrian mengangguk tegas membuatku berhenti bertanya lagi.
Sebenarnya, bukan sekali ini aku mengalami mimisan seperti ini. Itu sebabnya aku bertanya, jika saja memang mimisanku ini bukan karena perubahan kondisi lingkungan dan cuaca.
Saat piknik waktu itu, rencananya memang aku ingin memeriksakan diri ke dokter. Namun, apa yang bisa kulakukan jika ternyata tiba - tiba aku memiliki beberaoa pekerjaan yang harus segera aku selesaikan. Apalagi, editorku selalu menerorku untuk tidak melewatkan batas waktu.
Tadi, aku sebenarnya ingin menanyakan hal ini pada ayah. Tapi karena Ayah terlihat sangat panik membuatku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku tidak ingin pertanyaanku.malah membuat suasana semakin runyam, apalagi Ayah pasti ia akan terus memikirkan aku.
Tapi, nyatanya Ayah terlihat baik - baik saja. Jadi, sudah pasti aku juga akan baik - baik saja.
"Kamu istirahat dulu ya, aku bakal jagain kamu di sini."
Deg.
Ucapan Adrian membuatku sedikit terkejut, malam ini ada terlalu banyak kejutan yang aku rasakan sampai rasanya aku ingin memeriksa apakah kondisi jantungku baik - baik saja karena terlalu sering mendapat kejutan.
"Kamu pulang aja, aku gak mau ngerepotin kamu."
"Ngerepotin apa sih Lun, kita 'kan udah saling tadi. Salah satunya ya ini saling jaga dan ngehargain, selagi aku bisa aku akan lakuin."
Adrain terdengar tegas dengan ucapannya, membuat aku tidak berani untuk membantahnya lagi. Meskipun aku ingin kesal tapi aku tidak bisa, harusnya aku bersyukur karena Adrian ada di sinj untukku. Tapi entah mengapa Adrian selalu menjadi orang pertama yang melihat sisi terlemah diriku, padahal aku sudah susah payah menunjukkan jika aku kuat dan tidak selemah itu.
"Iya, maaf ya aku malah gini."
"Udah jangan kamu pikirin, pokoknya sekarang itu kamu fokus istirahat aja," ucap Adrian menarikkan selimut untukku.
Kami terdiam selama beberapa saat, aku sendiri tidak menyangka meninggalkan kami berdua di dalam ruangan ini akan membuat kami menjadi secanggung ini.
"Adrian," panggilku dengan canggung.
"Apa?" tanya Adrian menatapku dengan penuh perhatian.
"Aku boleh minta tolong?" tanyaku pada Adrian balas menatap Adrian.
"Kamu perlu apa? Bilang aja, aku akan lakuin," jawab Adrian langsung, ia menatapku dalam menunggu aku menjawab ucapannya.
"Lebay deh," ucapku terkekeh kecil.
"Jadi, tuan putri ini mau minta tolong apa?" tanya Adrian lembut namun nada bicaranya membuatku tertawa.
"Aku gak yakin kamu mau," ucapku ragu, aku menatap Adrian yang terlihat penasaran dengan apa yang aku ingin tanyakan.
Adrian terdiam terlihat ia sedikit berpikir, "kalau aku bisa pasti aku akan berikan," ucap Adrian percaya diri.
"Bisa gak kamu beliin aku pembersih make up, aku mau bersiin make up aku. Sama ada satu lagi," ucapku terpotong, aku terdiam beberapa saat karena merasa ragu harus mengucapkannya ke Adrian atau tidak.
Terlebih ada keraguan dari diriku, apakah Adrian mau membantuku. Tapi mau bagaimana lagi, tidak mungkin membersihkan wajahku dengan tisu basah jika tidak ingin alergku datang menambah beban yang kurasa.
"Ya udah aku beliin, sama apa lagi?" tanya Adrian mencoba mengingat beberapa hal agar tidak lupa.
"Sama kapasnya ya, sekalian."
Aku menatap Adrian yang berdiri dan bersiap, ia meninggalkan jaketnya padaku. Aku terseyum senang dan menerima jaket yang di sodorkan oleh Adrian.
"Biar kamu gak ngerasa sendiri," ujar Adrian.
Aku teringat sesuatu, memanggil Adrian yang hampir saja menutup pintu.
"Ada yang ketinggalan?" tanya Adrian memastikan.
Kuayuhkan tanganku, memanggil Adrian mendekat. Ia terlihat bingung tetapi tetap mengikuti gerakan tanganku dan mendekat ke arahku.
"Sini," ucapku meminta Adrian sedikit menunduk mengarahku.
"Aku, butuh pembalut," ucapku dengan nada suara merendah di ujung, saat itu rasanya aku ingin menyembunyikan wajahku dari hadapan Adrian yang sepertinya paham kecanggunganku.
Akhirnya, dengan terpaksa dan banyak pertimbangan aku memutuskan untuk meminta Adrian membelikanku benda paling privasi menurutku.
Adrian langsung menatapku horor, aku terdiam dan menarik jaket Adrian setengah menutupi wajahku. Sama seperti Adrian, aku juga sebenarnya malu mengatakan itu kepada Adrian tapi bagaimana lagi aku tidak ada pilihan lain.
"Perlu banget?" tanya Adrian masih dengan wajah yang kaku.
"Iya perlu banget masa aku gak ganti," ucapku yang memang sejak tadi merasa agak tidak nyaman.
"Tapi aku gak tahu yang gimana?" ucap Adrian yang membuatku ikut bingung.
Awalnya aku ragu, lalu meminta Adrian menyerahkan ponselnya padaku. Sesaat aku mengetik sesuatu sebelum aku menunjukan sesuatu dari layar ponsel Adrian.
"Beliin yang itu, yang panjang sama ada sayapnya," ucapku mencoba menjelaskan kepada Adrian yang terlihat bingung.
"Hah? Sayap? Gimana liat sayapnya?" tanya Adrian terlihat bingung, ia sama sekali tidak mengerti apa yang aku maksudkan.
"Hahaha ...," aku tertawa dengan tingkah polos Adrian tapi mau bagaimana lagi tidak mungkin jika aku tidak mengganti pembalutku.
"Ini, ada gambarnya. Kamu cari yang ada giniannya, ini sayapnya."
Meski malu, aku terpaksa menjelaskan kepada Adrian. Aku tidak ingin malu dua kali, lebih baik aku malu sekarang.
"Kalo yang gak ada sayapnya yang gimana?" tanya Adrian polos namun berhasil membuatku menahan tawa karenanya.
"Ini," tunjukku pada model pembalut kedua.
"Kenapa kalo gak ada sayapnya?" tanya Adrian polos namun mampu membuatku merasa malu.
"Kepo, udah sana pergi."
"Iya-iya, abang pergi dulu ya sayang ke medan perang. Tunggu abang kembali," ucap Adrian namun berhasil membuatku tertawa lepas.
Mataku mengikuti setiap langkahnya hingga terhalang oleh pintu yang tertutup. Meski malu, aku terpaksa menjelaskan kepada Adrian. Untungnya, ia langsung mengerti.
Aku membiarkannya untuk pergi dan memintanya untuk hati-hati di jalan. Aku tertawa lepas setelah Adrian keluar dari kamar, sebenarnya aku lebih menertawakan diriku karena lupa membawa pembalut cadangan di dalam tas. Jika bawa aku bisa menitipkan pembalut besok ke tante Erly, berhubung aku tidak membawanya dan harus mengganti malam ini Adrian terpaksa kujadikan tumbal.
"Aishhh!"
Aku menarik jaket Adrian menutupi wajahku, aku benar - benar malu hingga rasanya ingin bersembunyi saja.
***
Sudah hampir 1 jam Adrian pergi, namun ia masih belum kembali juga. Aku menatap layar televisi dengan pandangan kosong, apa mungkin Adrian tersesat. Tapi, masa iya Adrian bisa tersesat.
Aku terkejut saat kudengar dering suara ponsel berbunyi, anehnya suara ponsel itu berasal dari kamarku dan sayangnya itu bukan bunyi ponselku.
Aku merasakan getaran terasa di lenganku, aku mengangkat jaket Adrian dan benar saja di sana ada ponsel Adrian yang tertinggal.
"Ceroboh banget, untung ga dompetnya yang ketinggalan. Bisa ribet sendiri dia," ucaoku sambil mencoba mengeluarkan ponsel Adrian.
Sejenak, mataku menatap ragu pada layar ponsel. Aku bingung harus mengangkat aku membiarkan panggilan itu hingga mati sendiri, namun setelah beberapa saat menimang aku memutuskan untuk mengangkatnya.
"Halo Adrian," ucap suara yang terdengar berat dari balik telepon.
"Halo Tante, maaf sebelumnya ini Luna temen Adrian."
Jantungku berdegup dengan cepat ketika aku mendengar suara mama Adrian, meskipun Adrian sering menceritakan tentang mamanya aku tetap belum pernah berbicara langsung dengannya dan ini adalah pertama kalinya.
"Oh, Luna ya. Adriannya mana ya Luna, Tante mau bicara sebentar sama Adrian?" tanya mama Adrian padaku.
"Adrian lagi ke mini market, teleponnya ketinggalan. Luna kira ada hal penting jadi maaf kalau Luna lancang ngangkat telepon Adrian," ucapku dengan perasaan menyesal dan bersalah.
"Ah ini, kamu jangan ngerasa gitu. Bukan yang penting banget kok, cuma masalah kunci. Ya udah kalau begitu Tante titip Adrian ya, nanti Tante telepon lagi aja."
"Iya Tante, nanti akan Luna sampein kalau Adrian udah pulang."
"Iya, ya udah kalau begitu ya. Kamu jangan lupa istirahat," ucap mama Adrian dengan ramah.
"Iya Tante, terima kasih."
Panggilan antara aku dan mama Adrian berakhir, aku tidak pernah menyangka dalam semalam aku benar - benar mendapatkan banyak kejutan.