BAB 32

1384 Words
Sepi ruangan membuatku merasa bosan, untungnya pusing di kepalaku sudah menghilang. Bahkan, aku merasa sekarang sudah sehat. Aku sendiri merasa lelah karena terus - terusan merasa pusing, hingga jika saja aku bisa membersihkan otakku agar tidak pusing aku tentu pasti akan membersihkannya. Ponselku untungnya diletakkan oleh Adrian di nakas samping tempat tidurku oleh Adrian, aku menjulurkan tanganku meski sulit aku berusaha mengambilnya. Aku merasa sangat bosan apalagi tidak ada seorangpun di sini yang bisa mengajakku berbicara. Aku berkali - kali menggeser layar ponselku mencari sesuatu yang menarik perhatianku, namun tidak ada satupun yang menarik perhatianku. Aku ingin bermain game atau membuka aplikasi perpesanan. Tidak banyak permaian yang ada di ponselku, aku membuka w******p memeriksa beberapa pesan masuk. Tidak ada yang penting, oleh sebab itu aku langsung mengeluarkannya dan membuka aplikasi lain. Aku teringat dengan film yang aku unduh beberapa hari lalu, sebenarnya aku tidak terlalu mood untuk menonton tapi aku terlalu takut untuk sendirian di kamar ini. Apalagi di rumah sakit, aku terlalu memikirkan hantu-hantu yang mungkin muncul kapanpun. "Luna, aku balik," ucap Adrian dengan senyumnya yang lebar. Aku terkejut mendengar pintu yang terdorong sebelum Adrian mengatakan ia sudah kembali, hampir saja aku berteriak ketakutan jika Adrian tidak segera berbicara. Pintu terdorong menunjukan Adrian dengan beberapa kantung belanjaan di tangannya. Aku mencoba untuk bersandar menyambut Adrian. "Rame ya?" tanyaku setelah Adrian duduk di sampingku, napas Adrian masih terdengar terburu mungkin ia berjalan dengan cepat tadi. "Tahu gak? Tadi pas dateng sepi banget itu mini market, eh pas bayar antre panjang Lun. Mana ya, ibu-ibu kayak natap aku aneh lagi," ucap Adrian menceritakan kejadian yang tadi ia alami, mendengarnya membuatku tertawa. "Hahaha ... seriusan sampe segitunya? Tapi makasih banget ya," ucapku tersenyum lebar, Adeian malah menatapku kesal. "Kalo gak demi kamu ya aku gak mau," ucap Adrian sambil masih menatap kesal ke arahku, sebenarnya aku tahu hanya tatapan Adrian saja yang terlihat kesal sebenarnya ia hanya merasa malu, aku juga tahu itu. Perlahan belanjaan yang dibeli oleh Adrian dikeluarkan olehnya satu persatu, entah apa yang ia beli namun belanjaanya terlihat lebih banyak dari apa yang aku pesan tadi. "Kamu belanja apa aja sih?" tanyaku bingung melihat Adrian yang masih belum berhenti menyusun belajaanya di atas lemari. "Gak banyak, cuma beli titipan kamu sama minuman dan makanan siapa tahu 'kan nanti kamu tiba - tiba laper. Cari ke mana coba nanti," saut Adrian namun berhasil membuatku merasa senang. Bagiku, perhatian Adrian yang sederhana itulah yang membuatku yakin jika Adrian tidak hanya baik namun juga peduli kepadaku. "Maaf ya jadi banyak, nanti uangnya aku ganti. Tunggu Ayah datang," ucapku kepada Adrian, melihat banyak belanjaan Adrian aku sadar jika uang yang dibayarkan juga tidak sedikit membuatku menjadi tidak enak. Adrian menatap datar kepadaku, "gak usah, aku gak minta ganti. Gak usah pokoknya," ucap Adrian menolak dengan tegas. Sekarang giliranku yang menatap sebal Adrian, "itu duit kamu, yang kamu beli ini keperluanku, jadi harus aku bayar," sautku tetap memaksakan, aku tidak ingin berhutang hal lain pada Adrian, cukup aku mempunyai hutang budi kepadanya jangan sampai ada lagi. Helaan napas panjang terdengar dari Adrian, "udah jangan debatin masalah kayak gini, yang pasti aku ikhlas," balas Adrian berbicara perlahan untuk membuatku mengerti ketulisannya. Aku sudah habis kata, ingin menolak tapi Adrian tetap bersikeras tetapi aku juga tidak bisa menerimanya begitu saja. "Aku minta tolong sama Ayah aja deh, biar Ayah bicara besok," batinku. "Makasih Adrian," ucapku tulus dan dibalas senyuman lebar oleh Adrian, ia meraih puncak kepalaku dan mengusap - usapnya lembut. "Ini pembalutnya Lun, aku pisahin biar kamu gak ngerasa malu harus bongkar-bongkar belanjaan lagi." Aku menerima satu kantong yang diberikan oleh Adrian dan mengintip isinya. Adrian sebenarnya membuatku tambah malu karena dengan mudahnya memberikan bungkusan itu padaku, sedangkan aku malah canggung karenanya. "Bisa bantuin aku berdiri," ucapku mengubah posisiku menjadi duduk, aku harus ke kamar mandi dan memgganti pembalutku. Saat aku berusaha berdiri, Adrian langsung merangkulku. Ia juga ikut menggeserkan infus dan mengambil bungkusan pembalut tadi tanpa kuminta. Saat aku berjalan perlahan, Adrian terus menyesuaikan langkahnya. "Jangan dikunci ya, biar aku bisa jagain kamu. Awas licin," ucap Adrian terus memintaku berhati - hati, meski di dalam kamar mandi Adrian terus saja berceloteh walau tidak aku tanggapi dengan serius. Aku terdiam beberapa saat menatap horor Adrian, "heh," ucapku cepat. "Jangan mikir negatif, aku beneran niatnya mau jagain kamu. Kalau kamu kunci terus ada apa - apa gimana?" tanya Adrian yang kini menatapku dalam. Aku benar - benar tidak bisa membantah ucapan Adrian, "awas kamu macem - macem," ucapku balas menatap tajam Adrian. Pintu aku tutup dengan rapat dan tidak kukunci mengikuti ucapan Adrian. Tanganku sedikit sakit saat aku mencoba membersihkan dan mengganti pembalutku. Butuh waktu yang agak sedikit lama untukku menyelesaikan tugas, Adrian juga terus mengajakku berbicara membuatku tidak merasa sendiri. "Adrian aku udah selesai," ucapku setelah aku mengganti dan membersihkan pembalutku, aku juga sudah membersihkan kamar mandi. Adrian mendorong pintu, membantuku merangkulku lagi. Dengan bantuan dari Adrian aku kembali duduk ke ranjangku, kepalaku terasa sedikit pusing meski aku hanya berjalan cuma sebentar. "Aku beli soto tadi di depan, kita makan dulu ya. Kamu laper ,kan," ucap Adrian membantuku duduk. "Aku gak laper," ucapku pelan. Adrian langsung menatapku, "kamu harus makan," ucapnya tegas seakan tidak ingin aku membantahnya lagi. Aku duduk di ranjangku dan menatap Adrian yang tengah membuka bungkusan soto dan nasi. "Aku cicip dulu," ucap Adrian memakan satu sendok soto dan nasi terlebih dahulu. "Enak," ucap Adrian. Aku menjulurkan tanganku meminta agar ia memberikanku bungkusan soto yang sudah ia buka dan serahkan untuk kupegang sebentar tadi. "Aku suapin," ucap Adrian membuatku membesarkan mataku karena terkejut, beda lagi dengan Adrian yang seakan tidak merasa canggung dengan ucapanya sendiri. "Gak usah, aku makan sendiri aja lagian aku ini gak sakit, astaga. Aku bisa makan sendiri beneran, mendingan kita makan bareng. Kamu juga makan ya," ucapku menarik Adrian untuk duduk di kursi. "Enggak, biar aku aja yang suapin. Percaya sama aku, biar aku yang suapin." Aku menarik napas panjang, tidak menyangka Adrian seposesif ini. Akhirnya, aku menyerah dan menerima setiap suapan dari Adrian. "Kamu juga makan," protesku karena ia hanya menyuapiku tanpa ikut makan. "Iya, habis ini. Kamu dulu," saut Adrian menatapku. "Gak mau, sekarang." "Beneran abis ini, aku makan kok." Adrian menyerah, lalu memakan juga soto dari mangkuk yang sama dengan aku. Aku terkejut saat Adrian memakan makanan milikku, ia bahkan tidak terlihat kaget. "Masukin lagi sotonya, kamu baru makan sedikit. Aku udah kenyang," ucapku meminta Adrian memakan lebih banyak. Hari ini, Adrian sudah banyak berkerja keras. Tanpa banyak bicara, Adrian memakan setiap suap hingga habis karena aku terus melihatinya. "Udah sayang," ujar Adrian menunjuk mangkuknya yang sudah kosong. "Cie sayang-sayangan," ucapku menggoda Adrian. "Dih ya udah enggak sayang," ucap Adrian dengan gaya ngambeknya yang malah membuatku tertawa puas. "Mana kapas sama pembersih wajah tadi?" tanyaku pada Adrian. Adrian terlihat sibuk dengan bungkusan yang ada digenggamannya, ia memeriksa satu persatu bungkusan itu mencari pembersih make up yang aku minta. "Ini, pembersih make up sama kapasnya." "Aww ...," jeritku karena tanganku yang terinfus terasa sakit saat aku mencoba menuangkan pembersih wajah. "Biar aku aja, tuh jadi sakit." Adrian langsung mengambil alih kapas dan pembersih make up dari wajahku, ia membantuku meletakkan tanganku yang terasa nyeri karena infusku tidak sengaja tertarik tadi. "Beneran udah gak apa-apa?" tanya Adrian mencari kejujuran dari mataku. "Iya," jawabku, untungnya aku masih bisa menahan rasa nyerinya. "Aku bantuin kamu bersihin muka, tapi bentar aku cuci tangan dulu ya." Senyumku tidak berhenti, hari ini aku banyak mendapat perhatian dari Adrian. Kapas di tanganku diambil alih oleh Adrian, ia mulai mengoleskan kapas itu dengan lembut di wajahku. "Gak tebel ya Lun, kirain bakal kayak Mama." "Aku 'kan gak pernah pakai banyak make up." Adrian tersenyum kecil, "kamu gak perlu pake make up aja udah cantik," ucal Adrian dengan mudahnya. Aku memukul dadanya namun membuatnya tertawa, "udah gombal mulu," ucapku dan Adrian malah terkekeh. Adrian mengganti kapas yang sebelumnya dengan kapas yang baru. Lalu, menyelesaikan membersihkan wajahku. Ia juga membasahkan handuk untuk membersihkan wajahku. "Terima kasih, maaf ngerepotin." "Sama-sama." Adrian membantuku berbaring dengan mengatur bantalku, "ya udah, tidur yuk udah malem." "Iya, sini aku tarikin selimutnya. Kamu tidur ya," ucap Adrian memperbaiki posisi selimutku dan menariknya hingga ke leherku. Aku tersenyum lebar, mempersilakan Adrian menarik selimut untukku. Kemudian ia berjalan ke sofa lalu membaringkan tubuhnya ke sofa. "Selamat malam," ucapku pada Adrian yang sudah berbaring di sofa. "Selamat malam, sayang."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD