BAB 30

1405 Words
Adrian memasukan boneka ke kursi bagian belakang, lalu aku membuka bungkusan gulali yang tadi di beli saat Adrian mulai menyetir mobil. "Kita mau makan di mana?" tanya Adrian, aku berpikir sejenak tapi tidak terpikirkan ingin ke mana. "Terserah sih di mana aja, aku ngikut aja." Akhirnya, aku menyerahkan kepada Adrian. Lagian, aku juga tidak terlalu sulit untuk makan di mana pun dan tidak memilih-milih makanan. "Mau gak?" tanyaku menyodorkan gulali pada Adrian yang masih fokus menatap jalanan di depan, bahkan ia hanya melirik sekilas gulali yang aku sodorkan ke arahnya. "Mau," balas Adrian tapi ia masih fokus menyetir. "Suapin," lanjut Adrian, kata yang di ucapkan oleh Adrian sangat berhasil untuk membuatku bergidik ngeri. "Makan sendiri," ucapku menarik kembali gulali yang kusodorkan pada Adrian. "Malah makan sendiri, mau Lun. Kalo aku ngambil sendiri, terus gak fokus gimana?" ucap Adrian semakin membuatku menatap sebal ke arahnya. Adrian ini sangat pintar mencari alasan, padahal sebelum ini sering sekali Adrian menyetir sambil mencuri jajananku atau minum. Tapi kali ini ia malah menggunakan alasan itu, aku hanya bisa menggelengkan kepalaku melihat Adrian tersenyum penuh kemenangan. "Ini," ucapku setelah mengambil gulali dan memberikannya pada Adrian. "Nah gitu dong Lun, kalo gini 'kan makan bisa sama fokus nyetir juga bisa." "Bisa banget alasannya," ujarku lalu memberikan gulali yang sudah aku ambil tadi dan mengarahkannya pada Adrian. Adrian lebih banyak berbicara hari ini, bahkan ia lebih terbuka. Hal yang aku sukai dari Adrian adalah ua selalu mengungkapkan perasaan dan pikirannya membuat kami sama-sama nyaman dan terkadang membuat kami saling bertukar pikiran. "Sampai," ucap Adrian lalu Adrian keluar lebih dulu dari mobil. Aku hendak membuka pintu saat tiba-tiba aku merasa sesuatu mengalir dari hidungku, aku segera mengelap darah yang keluar dari hidungku berharap agar Adrian tidak sadar. Namun terlambat, Adrian membuka pintu dan terkejut saat melihat darah yang mengalir banyak dari hidungku. “Lun, ini kamu mimisan lagi.” Ekspresi Adrian sangat panik menaatapku, membuat aku ikut merasa panik sebenarnya. “Bentar ya aku beresin dulu,” ucapku sambil tetap menyeka hidungku menggunakan punggung tanganku. Aku dapat melihat ada bercak darah di punggung tanganku, segera kuambil tisu untuk menyeka hidungku dan menyumbatnya sementara. "Senderan dulu Lun," ucap Adrian memundurkan kursi, membuatku dapat menyenderkan tubuhku. "Minum dulu," ucap Adrian mengambil botol air minum dan membukanya, Adrian juga membantuku untuk minum. Setelah itu, botol minum yang aku pegang langsung kuberikan kepada Adrian, sedangkan aku langsung mengambil tisu dari dalam tasku. Aku kembali menyeka darah yang keluar dari dalam hidungku dengan menggunakan beberapa lembar tisu. “Gak apa-apa,” ucapku menengangkan Adrian yang terlihat mulai panik. Padahal sebenarnya aku juga cukup panik karena biasanya aku tidak mengeluarkan darah sebanyak ini saat mimisan, malah biasanya hanya membutuhkan tidak lebih dari 3 lembar tisu untuk menyekanya. Meski begitu aku masih melihat Adrian yang panik saat melihatku yang semakin banyak mengeluarkan darah dari hidung. “Lun, pucet banget. Kita ke rumah sakit aja ya,” ucap Adrian memeriksa suhuku dengan telapak tangannya, sedangkan aku masih berusaha menyeka darah yang keluar. Aku sadar jika kali ini tidak seperti mimisan biasa karena darah yang keluar susah dihentikan. Adrian yang semakin khawatir melihat wajahku yang semakin pucat tidak lagi merangkulku untuk membantuku berjalan tapi sudah berganti dengan menggendongku, membawaku ke mobilnya. “Jangan panik ya, beneran gak apa-apa.” Aku tersenyum kecil sambil memejamkan mataku, kepalaku juga perlahan mulai terasa sakit dan pusing. Aku merasa Adrian meraih tanganku, meski aku tidak bisa melihat tapi aku dapat merasakan Adrian tengah membantu membersikan sisa darah mimisan di tanganku. "Ke rumah sakit ya, gak boleh nolak." Aku terus meyakinkan Adrian jika kondisiku tidak apa-apa, ini pertama kalinya aku melihat wajah panik Adrian yang ikut memucat. Malah, saat menaiki wahana tadi wajahnya tidak sepucat ini. Aku mengambil tisu yang baru dan terus saja menyeka darah yang keluar dari ujung mataku, terlihat sekali wajah Adrian yang makin panik. "Kamu telepon Ayah ya sambil ke rumah sakit," pintaku pada Adrian. "Iya, udah kamu jangan banyak ngomong dulu. Kita akan ke rumah sakit secepat mungkin," ucap Adrian, bahkan kini aku dapat merasakan jika ia membawa mobil dengan kecepatan yang lumayan tinggi. Saat ini, aku ingin menenangkan Adrian tetapi sayangnya aku saat ini tidak bisa banyak bergerak. Aku mendengar Adrian menelpon ayah, entah apa yang mereka bicarakan mereka terlihat serius. "Iya Om, sekarang Adrian udah deket rumah sakit kasih ibu." Adrian mengangguk, entah mengapa makin lama suara Adrian makin tidak dapat kudengar dan semua pandanganku menjadi gelap meski aku masih dapat dengan samar-samar mendengar suara Adrian yang terus memanggilku. "Lun ... Lunaa ... Luna bangun Lun ...." "Lunaa ...." "Luna, bangun. Tolong bangun Lun, tolong!" Aku mengerjapkan mataku, perlahan aku melihat cahaya putih yang membuatku merasa silau. Aku mencoba menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam mataku, aku melihat beberapa orang dengan pakaian putih yang tampak seperti dokter dan perawat. Di belakang mereka aku melihat sosok Adrian, tapi aku tidak bisa berbicara entah apa yang terjadi padaku aku juga tidak tahu. "Lun, sabar ya." Adrian ikut berlari sambil mendorong ranjangku, tetapi meninggalkanku saat aku memasuki ruangan yang penuh dengan alat-alat yang terlihat sangat menyeramkan. "Pindahkan," ucap Dokter tersebut yang langsung dimengerti oleh perawat. Entah apa yang mereka lakukan padaku, aku hanya merasakan tubuhku sangat lemah. "Ambil sampel darahnya, langsung kirim ke lab sekarang." "Baik Dok," ucap perawat yang langsung mengikuti perintah dari dokter. Jarum itu menusuk lenganku yang kini sudah mati rasa, sudah banyak alat medis yang merekat pada tubuhku entah apa fungsinya aku tak tahu. Kini, yang aku rasa adalah mengantuk dan pandangaku mendadak menggelap mengambil alih seluruh kesadaranku. *** Aku membuka mataku menyesuaikan sinar yang masuk, di sampingku aku melihat ayah yang mengenggam tanganku cemas. Ada juga Adrian yang duduk di seberang ayah, ia yang pertama sadar jika aku sudah terbangun. "Air," ucapku lemah karena tenggorokanku begitu kering. "Om, Luna sadar!" ucap Adrian yang langsung menyadarkan ayah. "Adrian, tunggu sebentar ya. Om panggil dokter dulu," ucap ayah yang langsung bangkit dari kursinya. Tak lama dokter masuk dengan seorang perawat yang mengikutinya dari belakang yang langsung memeriksaku. "Pak Raka bisa ikut saya ke luar, hasil lab sudah keluar akan saya jelaskan di ruangan saya." "Apakah serius pak?" tanya Ayah yang terlihat sangat cemas. "Sebaiknya kita bicarakan di ruangan saya, mari pak." Dokter keluar diikuti dengan perawat, ayah menatapku dengan pandangan sedih namun ia coba tutupi, senyum di wajahnya sama sekali tidak menenangkan hatiku. "Ayah ke ruangan dokter dulu ya, kamu butuh apa?" "Aku haus," ucapku. "Biar Adrian aja Om yang bantu jaga Luna, Om bisa ketemu dokternya." Adrian yang seakan mengerti ucapan ayah membiarkan ayah keluar dari ruangan. "Bentar ya Lun," ucap Adrian. Ia mengambil sebotol air mineral dan memasukkan sedotan kedalamnya. "Pelan-pelan ya Lun," ucap Adrian membantu meletakkan sedotan ke bibirku. Tubuhku masih sangat lemah, bahkan menggerakkan tanganpun aku tidak bisa. "Udah," ucapku lemah. "Kamu istirahat lagi ya Lun." "Adrian aku gak kenapa - kenapa 'kan?" "Kamu gak kenapa - kenapa kok Luna," ucap Adrian dengan senyum yang lebar, membuatku sedikit terhibur dengan senyumnya itu. "Kamu beneran bawa aku ke rumah sakit?" "Iya biar kamu dapet obat Lun," ucap Adrian yang terdengar sedikit serius. Adrian mengelap keringat di dahiku dengan tisu, aku menatap Adrian yang dengan telaten membantuku. "Dingin Lun?" tanya Adrian, aku mengangguk memberi jawaban. Entah mengapa rasanya udara di ruangan ini sangat dingin. "Lun, bagaimana perasaan kamu nak? Apa yang sakit?" Aku menatap ayah yang menutup pintu, ia mendatangiku dan mengusap rambutku lemah. "Di mana yang sakit?" "Luna gak apa-apa kok, Ayah jangan cemas gini." Aku mencoba menenangkan ayah yang terlihat sedih. "Kapan Luna boleh pulang?” tanyaku menatap dalam mata Ayah. "Besok kita periksa dulu ya, kalo udah mendingan bisa pulang." Aku mengangguk mengerti, lagian aku tidak bisa apa - apa saat ini selain merasa tubuhku sangat lemas. "Luna sekarang istirahat dulu, Adrian kamu pulang ya. Udah malem, nanti ke sini lagi besok gak apa-apa." "Adrian udah bilang sama mama Om, kata mama boleh tinggal di sini. Kayaknya Om aja yang pulang buat ambil baju salin Luna." "Om jadi ngerepotin terus," ucap Ayah yang disambut senyum ramah Adrian. "Gak apa-apa Om, biar Adrian bantu jaga." "Ya udah, kalau gitu Om pulang dulu nanti langsung balik ke sini lagi." "Bentar ya Lun, aku temenin ayah sampe pintu depan." Aku mengangguk membiarkan Adrian membantu ayah, beruntung memang bagiku mengenal Adrian. Aku melihat mereka berjalan dan menghilang dari balik pintu yang tertutup rapat, sebelum seorang perawat masuk dan memeriksa cairan infusku yang hampir habis. "Adrian, kondisi Luna semakin parah. Kamu tahu 'kan maksudnya," ucap Ayah membuat Adrian terdiam dan membeku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD