Hari ini adalah hari pertamaku menjadi siswa tahun terakhir di sekolah menengah atas. Tidak ada yang spesial di sini, hanya saja aku bersyukur masih bisa sekolah di tempat sebagus ini karena dukungan Om Juna. Jika bukan karena kebaikannya, mungkin aku sudah menjadi anak liar yang hidup di jalanan.
Om Juna adalah sosok laki - laki yang sudah aku anggap seperti ayahku sendiri, aku hidup dengan bantuan darinya yang rela meluangkan waktunya untuk mendukungku. Om Juna adalah teman ibu dan juga teman ayah, namun aku tidak tahu cerita di antara om Juna dan ayah.
Apa yang aku tahu adalah om Juna berjanji untuk menjaga dan melindungiku di saat terakhir ibu, sampai akhirnya ayah kembali. Sedangkan aku, sama sekali tidak mengetahui tentang Ayah sedikitpun selain hal baik yang ibu ceritakan kepadaku.
Aku sendiri tidak pernah bertemu dengan ayah selain melihat dari foto yang ditunjukkan oleh ibu, namun aku kesal sekali dengan laki - laki yang ibu kenalkan sebagai ayahku
Orang - orang sering sekali mengataiku sebagai anak pembunuh, padahal aku tidak tahu sama sekali siapa dan kenapa bisa begitu, namun saat usiaku bertambah dan pikiranku juga akhirnya dapat mencerna makna dari apa yang orang - orang katakan aku akhirnya mengerti.
Aku terpaksa menerima julukan anak pembunuh itu setelah aku paham, ternyata selama ini ayah tidak sedang pergi bertugas seperti apa yang dikatakan oleh ibu. Tetapi ayah sedang berada di dalam sel penjara yang entah berada di mana, pernah sekali aku menanyakannya kepada om Juna namun wajahnya terlihat terkejut dan enggan menjawab.
Sejak saat itu aku diam tidak pernah menanyakan masalah itu sama sekali, aku tidak ingin karena aku juga belum siap menerima jawaban dari om Juna. Lagi pula jika memang peduli, setidaknya ayah memberiku kabar atau menulis surat untukku namun sama sekali aku tidak mendapatkan apapun.
Ayah sendiri yang tidak memberiku kabar, artinya ia tidak ingin aku mencarinya bukan. Setidaknya hanya itu yang bisa aku simpulkan, aku benci menerima kenyataan jika ayah tidak sebaik yang ibu ceritakan.
Tidak heran bagiku saat semua siswa menjauh ketika aku melewati lorong koridor kelas, bisik-bisik yang dapat kudengar dengan jelas juga bukan hal yang baru bagiku. Sekolah sudah cukup ramai dengan siswa yang bergantian menyerbu papan pengumuman, mencari namanya di antara lembaran kertas absen yang tertempel.
Aku perlahan ikut mendekati kerumunan itu, dari belakang dengan perlahan maju ke depan aku mulai menelusuri setiap kolom nama hingga akhirnya aku menemukan namaku terpampang di absen kelas 12 IPA 3.
Aku mundur dari kerumunan itu, langsung mencari kelasku. Saat aku mendorong pintu kelas, ternyata sudah sebagian isi kelas penuh. Aku mengambil tempat di sudut belakang dekat jendela yang menampakkan area lapangan.
"Dia 'kan? Anak pembunuh?" ucap seseorang uang berbisik namun dapat didengar jelas olehku.
Sudah bukan hal aneh lagi melihat semua orang menatapku dengan pandangan seperti itu, awalnya aku tidak terima kenapa semua orang menatapku seperti itu tapi makin ke sini aku makin sadar jika semua orang bisa melalukan itu padaku.
Puluhan bahkan ratusan kali aku mencoba untuk membuat mereka diam atau bungkam, ratusan kali juga ada mulut - mulut lain yang masih membicaraku. Pada akhirnya, aku lebih memilih mengabaikannya karena semakin lama akh menjadi semakin terbiasa.
"Anak pembunuh itu ...."
"Pembunuh ...."
Bisik-bisik mulai terdengar saat aku masuk ke kelas, tapi aku sudah tidak memedulikan hal itu. Aku hanya diam, seakan tidak mendengar apa yang mereka bicarakan padaku. Sebutan anak pembunuh memang sudah melekat pada diriku sejak aku kecil, sudah ribuan kali aku mendengar kata pembunuh masuk ke dalam telingaku.
"Di mana anak pembunuh itu masuk," ucap siswa lain yang terlihat berbisik namun malah dapat kudengar jelas.
Sebenarnya, aku juga tidak tahu apa salahku. Mengapa mereka memanggilku dengan sebutan anak pembunuh, sedangkan aku sekalipun belum pernah bertemu ayahku sejak aku lahir hingga sekarang.
Sering kali aku ingin membalas ucapan semua orang yang tanpa mereka tahu mengusik perasaanku, tetapi aku memikirkan Om Juna yang sudah susah payah membiayai kehidupanku. Itu saja terdengar merepotkan, aku tidak ingin membuat keributan dan makin mempersulit Om Juna.
Aku hanya ingin satu, bertemu ayahku secepatnya. Aku ingin bertanya, apa memangnya salahku sampai semua orang memanggilku anak pembunuh.
Aku memang harus mengucapkan banyak terima kasih kepada diriku sendiri, karena sudah bertahan sejuah ini.
Panggilan anak pembunuh bukan hanya satu hal yang sebenarnya merusak batinku, bully-an, cibiran bahkan tatapan jijik dari orang bukan hal baru yang harus aku hadapi. Bahkan, mengasihani diri sendiri saja aku sebenarnya tidak mampu.
Rasanya setiap tertidur aku hanya ingin terus memejamkan mata tanpa perlu untuk membuka mata lagi. Aku mengerti mengapa banyak orang mengatakan jika dunia mimpi lebih indah daripada dunia nyata yang nyatanya bersikap kejam kadang tanpa ada belas kasih sedikit pun.
Bel berbunyi nyaring, tak lama seorang wanita dengan seragam keemasan masuk ke dalam dan berdiri di depan papan tulis. Tidak heran jika kelas mendadak hening saat wanita paruh baya tersebut masuk, sudah bukan rahasia umum lagi jika ibu guru itu adalah guru yang dikenal cukup bengis dan disiplin, apalagi jika menjadi wali kelas. Beliau dikenal dengan sistemnya yang mampu membangkitkan nilai siswanya.
"Perkenalkan saya Ibu Puji, saya akan menjadi wali kelas kalian tahun ini. Saya harap kalian belajar dengan rajin karena ini adalah tahun terakhir kalian, saya akan menindak tegas kepada kalian yang mengalami penurunan nilai. Mengerti?" ucap bu Puji menatap seisi kelas bergantian.
Seisi kelas dengan kompak menjawab, "Mengerti bu."
Bahkan, setelah itupun kelas kembali hening. Bunyi detik jarum jam yang perlahan bergerak ‘pun seolah dapat terdengar. Tatapan datar Bu Puji menyapa setiap mata seakan mencoba mengingat setiap bagian dari kelas.
"Kalau begitu, saya akan mengabsen kalian satu persatu karena saya liat masih ada beberapa kursi kosong."
"Intan Ariana."
"Saya, Bu."
"Jaya Kusuma."
"Hadir, Bu."
"Karenia Ayuna."
"Saya, Bu."
"Luna Almahira."
"Saya, Bu," jawabku sambil mengangkat tangan.
Tok... Tok... Tok...
Seisi kelas menatap ke arah pintu tepat setelah bunyi ketukan terdengar, tidak heran mengapa karena biasanya Bu Puji akan mengusir siapa pun jika ada yang menganggu waktu kelasnya. Untuk siswa yang kenal dan pernah diajari olehnya biasanya lebih memilih untuk tidak izin meski terkadang harus terpaksa menahan diri untuk ke toilet dan bahkan saat pengurus OSIS harus melakukan panggilan untuk rapat OSIS pun juga tidak berani untuk masuk saat jam belajarnya.
"Maaf Bu, saya telat karena masih rame yang antre mau cek nama. Saya baru kebagian lihat," ucap seorang siswa dengan berhati - hati, di hari pertama masuk sekolah siapapun juga tidak ada yang ingin membuat masalah.
"Ya sudah, sana duduk. Baik, Ibu akan lanjut absen ya," ucap Bu Puji sambil melanjutkan mengabsen meskipun dengan tatapan tajam.
Setelah beberapa menit ia selesai mengabsen seisi kelas, lalu menuliskan sesuatu di papan tulis mengenai jadwal pelajaran tambahan.
Tok... Tok... Tok...
Saat ini, semua siswa di kelas menatap ke arah pintu di mana ada lagi sosok yang mampu menghentikan kegiatan Bu Puji mengabsen. Tidak terkecuali dengan aku kini menatap sosok dengan jaket yang masih melekat pada seorang siswa laki-laki dengan mata sipit dan kulit yang cukup putih untuk ukuran anak laki-laki.
Aku menatap heran karena sepertinya tidak pernah melihat sosok laki-laki tersebut. Apalagi biasanya jarang terjadi perpindahan saat berada di tingkat akhir karena sudah mendekati kelulusan. Tapi aku tidak ingin ambil pikir dengan hal itu, lagian percuma juga berharap bisa berteman dengan siapa pun meskipun anak baru sekalipun jika seluruh dunia juga tetap mengenalku sebagai anak seorang pembunuh. Siapa memangnya orang bodoh yang ingin menjadikan anak pembunuh teman, kecuali orang itu sudah cukup gila.
"Permisi Bu, saya murid pindahan jadi saya terlambat masuk karena harus ke ruang kepala sekolah. Saya juga harus mencari kelas sendiri," ucap siswa laki - laki itu menjelaskan kondisinya, apalagi wajah bu Puji yang mulai terlihat kesal.
Laki-laki itu medorong pintu membiarkan tubuhnya yang tinggi dapat terlihat jelas dari dalam kelas. Ia terdiam sebentar sampai Bu Puji mengizinkannya masuk.
"Untungnya kamu masuk sebelum saya menjelaskan hal penting. Siapa nama kamu?"
"Saya Adrian Pratama, Bu," jawab siswa itu, aku menatap tidak peduli pada siswa yang aku tahu bernama Adrian itu.
"Silakan kamu duduk di sana, hanya itu kursi yang kosong. Apa tidak apa-apa Luna?" ucap bu Puji menunjuk ke arah kursi kosong yang berada di sampingku.
Selama 2 tahun aku sekolah di sini, ini adalah kali pertama ada orang yang duduk di sebelahku. Mataku tak sengaja menatap mata Adrian yang juga menatapku, dengan tergesa aku mengalihkan pandanganku.
“Tenang Luna, ini hanya sementara. Lagian nanti juga dia tidak akan ingin berdekatan, apalagi satu meja dengan anak pembunuh sepertimu,” ucapku dalam hati, meyakinkan diri sendiri jika semua akan baik - baik saja.
"Tidak apa-apa, Bu."
"Sudahlah, lagi pula aku tidak bisa menolak."
"Ya sudah, kamu bisa duduk di sana. Jangan buat keributan," pesan bu Puji sebelum Adrian melangkahkan kakinya ke arahku.
Mataku melihat dari kejauhan sosok yang memperkenalkan diri sebagai Adrian itu perlahan mendekati kursiku, saat pandangan mataku melirik sekeliling, ternyata seperti dugaanku jika saat kini pandangan semua orang semakin tajam ke arahku.
Aku tidak mengerti kenapa semua orang bersikap egois kepadaku, lalu apa salahku jika akhirnya Bu Puji memerintahkan Adrian duduk denganku hingga aku yang harus menjadi tempat semua orang menganggapku salah.
Memang benar berpura - pura tidak peduli itu tidak mudah. Saat aku tidak ingin pusing dengan semua permasalahan, tapi tetap saja jika semua orang menganggap aku salah, maka aku akan tetap salah walau aku tidak melakukan apa pun.
"Aku boleh duduk di sini?" tanya Adrian, meski tidak menunggu jawabanku ia langsung duduk di sampingku, lagi pula mana mungkin aku mengatakan tidak sedangkan kursi kosong di kelas ini hanya ada di samping tempat dudukku ini saja.
"Semoga kita bisa akur," ucap Adrian yang kini duduk di sampingku dengan nada yang terdengar ramah namun membuatku sadar jika setelah ini kehidupanku mungkin akan bertambah berat.