BAB 2

1402 Words
Kelas mendadak gaduh setelah Bu Puji selesai memberikan arahan dan keluar dari kelas. Seperti biasa saat baru masuk kembali, hari pertama guru-guru tidak akan masuk ke kelas tetapi untuk siswa-siswa harus tetap berada di dalam kelas dan tidak boleh berkeliaran. Biasanya saat menjadi siswa baru, waktu seperti ini akan di habiskan untuk membersihkan kelas, apalagi liburan lama membuat kelas terlihat sangat kotor. Itulah sebabnya, beberapa siswa biasanya bolos di hari pertama sekolahnya. Aku mengeluarkan sebuah n****+ dari dalam tasku dan mengambil headset lalu menyambungkannya pada telepon pintar yang berada di atas meja. Aku memutar lagu korea favoritku, lalu berfokus pada n****+ yang tadi aku keluarkan. Aku membaca tiap kalimat dan mencoba memahami setiap karakter yang ada di dalam cerita. Tok... Tok... Sebuah pena hitam terketuk tepat di mejaku, aku menurunkan n****+ yang tadi aku pegang lalu menatap datar ke arah tangan yang menjadi pembuat bunyi tadi. Kini, aku melihat jika Adrian menatapku ramah persis seperti tatapannya saat pertama kali setelah duduk di sebelahku. Aku meliriknya sekilas tidak memiliki niatan untuk mengobrol dengannya, lagi pula aku terbiasa untuk sendiri sehingga aku tjdak terlalu tertarik dan peduli tentang pertemanan. Lagi pula, pertemanan hanyalah sebuaj status yang kapanpun bisa berubah. Tidak ada yang namanya pertemanan yang abadi selain di n****+, menurutku hubungan pertemanan pasti akan berakhir sendiri suatu hari nanti entah cepat atau lambat. Aku hanya perlu untuk bersikap biasa saja dan tidak terlalu peduli dan ikut campur dengan urusan yang tidak perlu. "Nama kamu siapa?" tanya teman sebangkuku ini yang aku tahu namanua Adrian dari perkenalannya di depan kelas tadi. Aku diam tanpa mengatakan apa pun, memilih tidak merespons tindakannya. Dari awal, aku memang sudah banyak mempelajari hal berdasarkan pengalaman yang telah aku rasakan, lebih baik untuk tidak merespons dan tidak peduli pada siapa pun dari awal daripada harus ditinggalkan saat sudah menganggap orang tersebut sebagai teman. Aku sudah memahami itu, karena bagaimanapun aku menilai dan menganggap dekat dengan seseorang, pada akhirnya mereka tidak akan memanggilku dengan benar. Semua akan memanggilku anak pembunuh pada waktunya, entah cepat atau lambat. "Hai Adrian, kenalin gue Anggi." Aku diam tidak melakukan apapun, aku tahu Anggi datang mendekati mejaku. Entah apa yang terjadi karena Anggi adalah orang uang paling aku tahu sangat membenciku, bukan rahasia umum lagi jika Anggi sering membully aku. "Gue Adrian," saut Adrian singkat, membuat Anggi menahan kesal. Biasanya orang akan senang bisa berbicara apalagi sampai berteman dengan Anggi, namun mungkin karena Adrian baru pindah ia tidak terlalu peduli akan hal itu. Aku mengangkat kembali novelku saat Anggi salah satu murid yang dikenal tercantik di sekolah mendekat ke arahku, lebih tepatnya berdiri di samping meja Adrian. Untungnya saat ia ditunjuk untuk duduk denganku aku langsung bergeser dan pindah untuk duduk di sebelah jendela karena sudah pasti banyak yang ingin mendekati dan menjadikan Adrian teman. Setidaknya dengan pengalaman, aku jadi tidak perlu merasakan sakit dua kali untuk diusir atau sekedar menjauh ‘kan. "Adrian, nanti gabung sama kelompok belajar kita mau nggak?" tawar Anggi mengajak Adrian, namun Adrian tidak terlalu menggubrisnya. "Adrian, kasian banget harus duduk di sini kan---" Aku tahu apa yang akan mereka katakan, mendengarnya hanya akan membuatku merasa muak. Aku bangkit dari tempat dudukku bersamaan dengan bel istirahat yang berbunyi. Meletakkan n****+ yang tadi k*****a ke dalam laci mejaku, aku menatap Adrian yang seakan mengerti untuk berdiri lebih dahulu dan memberikanku ruang untuk berjalan. Bukan hal asing, sendirian saat istirahat. Mungkin karena sudah sering terjadi hingga aku merasa sudah terbiasa dengan semua ini. Aku berjalan menuju koridor loker untuk kelas tiga dan mengambil kotak bekal yang tadi pagi aku letakkan di dalam. Aku menatap pedih ke arah loker saat kulihat tidak hanya kotak makanan yang berada di dalam lokerku, surat yang sudah pasti berisi makian dan hinaan sudah cukup banyak berada di dalamnya. Aku menarik napas dalam, lalu mengambil bekalku tanpa memedulikan surat-surat tersebut. Bukan hal asing melihat tumpukan surat tersebut, bahkan biasanya aku mendapat bonus sampah yang berisi penuh di dalam loker. Aku mengambil jalan memutar, menuju sebuah pohon besar kebun belakang sekolah. Ada ayunan kecil tergantung dengan batang pohon sebagai penahan beban. Tempat ini adalah bagian terbaik dari sekolah ini karena jarang dikunjungi selain saat ada praktikum biologi. Aku duduk dengan nyaman di atas ayunan berkursi sebuah balok kayu, membiarkan angin menerpa melewati rambut panjangku. Aku mengambil langkah mundur lalu memejamkan mata, mengayuh sekuatnya dan membiarkan angin membelai rambutku. Setelah ayunan perlahan mulai melambat, aku membuka mataku lalu menurunkan kakiku, menjadikannya sebagai rem hingga akhirnya sudah tidak berayun lagi. Aku mendudukkan diri di sebuah kursi di bawah pohon lalu mengambil kotak bekal yang sebelumnya kuambil dari loker dan disimpan di atas kursi. Tidak banyak yang aku masak, karena aku harus berhemat. Aku tidak ingin lebih merepotkan Om Juna meski sebenarnya ia memberiku uang bulanan selalu lebih, tapi karena aku terus menolak, ia akhirnya bersedia mengirimkan uang hanya untuk biaya makanku saja. Untuk keperluan lain, aku mempunyai perkerjaan sambilan yang memang menghasilkan uang tidak banyak tapi cukup untuk keperluanku. "Pedes ya," gumanku saat aku merasakan pedas di makananku, padahal rasanya saat masak aku tidak memasukkan terlalu banyak cabai ke dalamnya. Mungkin, jika benar apa yang dikatakan Om Juna tentang ayah adalah orang baik seharusnya aku tidak pernah merasakan penderitaan seperti ini 'kan? Aku menghabiskan bekalku lalu meletakkan kembali kotak bekalku ke dalam loker sebelum kembali ke kelas. Kelas masih sepi, padahal sebentar lagi bel masuk akan berbunyi. Aku melipat kedua tanganku di atas meja dan menjadikannya bantalan kepalaku. Aku memejamkan mata, menghindari sinar matahari yang semakin berkilau. Untungnya karena tidak ada teman aku tidak terlalu merasa risih, terbiasa sendiri membuatku sedikit merasa nyaman tanpa perlu ada orang lain. Brugg.... "Ups, sorry." Aku terbangun tepat saat sesorang menggeser mejaku kasar, kini aku melihat mejaku basah oleh air. Aku melihat Anggi memegang botol air mineral yang isinya sudah berkurang hampir setengah botol, ia menatapku dengan senyum kecil yang aku dapat lihat dengan jelas. "Sorry, gue nggak liat, sih. Gue kira tadi tempat sampah," ucap Anggi dengan ekspresi seakan merasa bersalah, tapi sebenarnya itu hanya sandiwara saja. Aku berdiri, membuat kursi yang aku duduki tadi terjatuh. Kelas semakin ramai saat itu, rasanya aku ingin membalas semua perbuatan mereka. Tapi entah mengapa, aku tidak bisa. Jujur saja, aku terlalu kesal untuk marah atau berteriak-teriak karena pada akhirnya semua orang menganggap aku yang salah. Membela diri, bahkan mungkin kata tersebut tidak pantas untuk kupergunakan, tetap saja akhirnya semua salahku karena aku anak pembunuh yang telah mengambil kebahagian orang lain. "Yah, basah deh." "Anggi udah, nanti kamu kena sial kalo deket sama anak pembunuh," ucap salah satu anak buah Anggi yang juga menahan lengan Anggi. Aku terdiam dan menahan air mataku. Aku lebih memilih mengelap meja dalam diam dengan tisu yang kuambil dari tasku. Perlahan aku membersihkan tumpahan air, dari meja Adrian yang sedikit basah lalu mejaku yang memang cukup basah. Aku mengatur napasku yang semakin berat karena menahan tangis. Setelah semua hal yang aku alami aku memang memutuskan untuk tidak menangis, karena pada akhirnya aku mengerti menangis adalah tanda jika aku lemah dan jika aku lemah terhadap semua ini berarti aku kalah. Sedangkan aku, aku tidak ingin orang lain menang terhadap diriku. "Kalian apa-apaan, sih!? Meja gue basah!" ucap Adrian dengan nada suara yang meninggi, ini pertama kalinya aku mendengar nada tinggi dari Adrian. Aku sendiri tidak menyangka jika Adrian akan datang, ia bahkan terlihat kesal menatap Anggi membuatku merasa menyesal hari pertama ia berada di sekolah ini sudah mendapatkan masalah karenaku. Aku menatap sosok Adrian yang entah kapan datangnya. Entah mengapa aku sedikit merasa takut dan bersalah melihat Adrian yang marah, bahkan Anggi kini menatapku dengan senyuman yang terlihat mencibir. “Tau nih si Luna, bikin kelas kotor aja. Mana jadi becek gini,” jawab Anggi dengan nada yang aku tahu jelas itu mengompori. "Maaf," kataku dengan menyesal bagaimanapun juga karena duduk satu meja denganku Adrian jadi terkena hal ini. Aku mengelap lagi meja Adrian, memastikan mejanya benar-benar kering dan tidak kotor. “Sudah bersih,” ucapku setelah beberapa kali mengelap meja Adrian dan memastikannya kering. “Bukan kamu, Lun,” ucap Adrian menatapku dengan tatapan yang kulihat lembut. Semua siswa di kelas menatap ke arah Adrian heran, bahkan senyum sinis di wajah Anggi sudah menghilang tergantikan dengan ekspresi marah yang terlihat jelas. “Memangnya lo nggak tahu siapa dia, Adrian? Dia ini an---” "Siapa pun kalian, yang ganggu dia bakal berurusan sama gue. Karena kalian ngusik dia berarti sama aja kalian ngusik gue," ucap Adrian tiba - tiba membuatku menatap ke arahnya terkejut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD