Prolog

667 Words
Hidup seperti berada di medan perang, entah menang karena hebat atau kalah karena lemah. Kata ibu, ayah adalah orang yang paling hebat dan kuat. Tapi, sejak aku lahir hingga sekarang aku tidak pernah bertemu dengan ayah sekalipun. Tapi ibu selalu bilang jika ayah sedang sibuk berkerja untuk kebahagiaan aku dan ibu, aku tidak pernah marah karena ayah tidak bersama kami. Hanya, aku merasa kecewa saat ayah lebih memilih menghabiskan waktunya untuk berkerja, daripada bersama kami keluarganya. "Bangun sayang, kamu harus siap-siap sekolah." Rutinitas ibu setiap pagi adalah membangunkanku dengan memelukku, tapi tidak lagi sekarang. Ibu sudah pergi untuk selamanya, entah aku harus berterima kasih kepada Tuhan karena kami masih bisa menjadi satu keluarga utuh sebelum ibu pergi atau harus berkeluh kepada Tuhan karena mengambil ibu secepat ini. Aku memang sudah mencoba untuk terbiasa, tapi entah mengapa terkadang rasanya berat untuk menerima begitu saja, semua seakan seperti mimpi buruk yang tiba - tiba datang di malam hari. "Ikuti dari belakang, jangan sampai ketahuan!" Semak yang berdiri diantara pohon-pohon tinggi menjadi pelindung, tepat setelah letusan senjata ditembakan. Pergerakan target yang cepat membuat tim Tiger harus melakukannya dengan lebih hati-hati. "Bersiap!" "Baik." Perlahan pasukan itu berjalan mendekati sebuah rumah, sang komandan yang memimpin perlahan masuk setelah bawahannya siaga. “Buka,” ucap Komandan dengan memberikan aba-aba gerakan tangan yang langsung dipahami pasukannya. Pintu terbuka tepat saat pistol tersebut diarahkan ke dalam, perlahan mereka masuk sambil tetap mengamati sekitar. "Kalian bertiga ikuti saya, sisanya jaga di luar." Sang komandan bersiap masuk setelah memberikan aba-aba, tapi ketiga rekan pasukannya yang tadi ia tunjuk terlihat tidak bergerak dan hanya diam menatap ragu komandan. "Tapi Pak, ledakan susulan bisa terjadi. Kita tidak bisa masuk terlalu dalam." “Saya yakin semua akan baik-baik saja, nyawa anak ini lebih terancam daripada kita. Sudah seharusnya kita menyelamatkannya, kenapa kalian malah ragu? Cepat ikuti saya!” “Tap---” "Kalau kalian tidak bisa masuk, saya yang akan masuk. Meski hanya satu nyawa, tapi itu sangat berharga. Saya tidak akan menanyakan dimana nurani kalian, tapi saya hanya ingin tahu dimana tanggung jawab kalian." Sang komandan berjalan dengan percaya diri masuk ke dalam sebuah rumah tua yang tidak terawat, membiarkan pasukannya yang masih bergeming dengan kecemasannya meninggalkan bawahannya yang masih tampak ragu. Ia melewati kayu dan genting yang berserakan di bawah. Rumah itu memang terlihat sudah lama terlantar, atap yang tertimpa dahan kayu menambah kesan tak terawat dari rumah itu. Tumbuhan yang merambat ikut menambah kesan tua rumah yang memang dulu sempat dijadikan tempat tinggal oleh penduduk desa sebelum adanya aturan perbatasan antara dua wilayah. "Kijang satu, masuk ada anak yang selamat. Segera masuk dan evakuasi, ganti." “Siap Komandan!” Komandan mendekati anak kecil setelah memastikan keadaan di sekelilingnya terkendali, ia menatap cemas anak kecil itu saat melihat kedua tangannya diikat dengan menggunakan tali. Perlahan ia mendekatinya, anak kecil yang menjadi sandera itupun sadar akan kehadirannya dan menatap dengan tangis yang tak terucap. Ia menggelengkan kepalanya saat melihat Komandan berjalan mendekatinya. Setelah beberapa saat pasukan yang tadi ragu untuk masuk sudah menyusul tiba ke dalam dan mereka tetap dalam posisi siaga mendekat ke arah Komandan, tapi ketika salah seorang anggota mendekat kea rah komandan ia tiba-tiba berteriak. "Awas!!!" Dor!!!! Dor!!!! Dor!!!! Suara tembakan terdengar lantang memenuhi ruangan, pergelangan tangan sang komandan terkena luka tembakan mengakibatkan darah mengucur membasahi lengannya. "Menyingkir!" Komandan dengan sigap memerintahkan untuk berposisi siap lalu ia mengamati sekeliling selama beberapa saat hingga matanya tertuju pada target yang kini tengah bersembunyi. Dor!!! Suara tembakan terdengar lagi, disambut dengan kerasnya suara tangisan dari anak kecil yang tidak seharusnya melihat kejadian mengerikan itu. "Gagak!" Dor!!! Dor!!! Dor!!! Tembakan kembali mengudara melumpuhkan musuh yang sebelumnya bersembunyi, komandan bergegas berjalan mendekati anak kecil itu lalu menggendongnya. "Komandan! Anda telah menembak anggota tim kita!" "Pengadilan militer memutuskan karena kesalahan dan kelalaian saudari Raka Akzara sebagai komandan tim pasukan khusus yang berakibat dengan tewasnya satu anggota tim serta tidak mengutamakan keselamatan anggota, maka hakim memutuskan mendapat saudari Raka Akzara mendapatkan hukuman tujuh belas tahun penjara dan dikeluarkan secara tidak terhormat dari unit kesatuan."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD