Seharian bu Puji terus mengingatkan muridnya, ia meminta untuk seluruh murid di kelasnya bersiap - siap karena ujian semakin dekat. Waktu akan berjalan sangat cepat hingga tanpa terasa ujian akan dilaksanakan dalam beberapa bulan lagi, kelas tambahan juga sudah mulai di jalankan.
Sekolah melakukan persiapan yang cukup banyak karena tahun ini persaingan untuk masuk ke perguruan tinggi semakin ketat, ujian juga sedikit banyak menentukan diterima atau tidaknya di perguruan tinggi.
Aku sendiri sudah begadang selama beberapa hari karena harus mempersiapkan pelajaranku, aku tidak ingin gagal karena aku ingin mencoba melakukan yang terbaik. Meskipun aku bisa mendapatkan dukungan dari tante Erly yang terus menawarkan namun aku tetap ingin mencoba dengan usaha terbaiku.
Setelah berpikir cukup lama dan mendalam aku memutuskan untuk tidak mengharapkan bantuan atau bergantung pada tante Erly, sebisa mungkin aku ingin mengerjakannya semampuku.
"Mulai hari Senin kalian harus fokus karena Try Out pertama akan menjadi tolak ukur pertama kalian. Nilai itu akan menjadi cerminan dari kepahaman kalian dengan materi yang sudah dijelaskan selama tiga tahun ini. Mengerti?" ucap bu Puji mengingatkan kembali anak didiknya, sebagai wali kelas ia memiliki tanggung jawab besar untuk terus mengingatkan.
"Mengerti, Bu ...," saut seluruh isi kelas bersamaan.
Bu Puji keluar dari kelas setelah menyampaikan arahan dan pesan-pesan karena ujian yang sudah semakin mendekat. Aku memasukan bukuku ke dalam tas. Dari ujung mata aku melihat Adrian yang sudah beranjak lebih dulu keluar dari kelas dengan tas yang telah ia sampirkan di bahunya.
Aku menatap punggung Adrian yang semakin menjauh hingga akhirnya hilang setelah keluar dari balik pintu. Aku menghela napas dalam, memikirkan Adrian yang hari ini bersikap dingin kepadaku.
Meskipun aku tidak ingin berteman dengan siapapun tapi entah mengapa aku seakan kehilangan sosok Adrian yang biasanya mengangguku, padahal aku jelas terusik karenanya.
"Lun, emang bener yang kemarin bokap lo?" tanya Anggi yang datang ke mejaku tepat beberapa saat setelah bu Puji keluar dari kelas.
Aku mengalihkan pandanganku saat melihat Anggi berdiri dengan tangan yang telipat dan dengan tatapan yang terlihat benci. Aku hanya diam dan meneruskan kegiatanku memasukkan buku ke dalam tas, gebrakan kurasakan tepat di atas mejaku.
"Woi! Jawab dong kalau ditanya!" sambung Cecil yang merupakan salah satu antek Anggi.
"Iya nih, Luna jawab dong. Emangnya bisu apa, emang bener itu bokap lo?" tanya Erika juga ikut menimbrungi, ia juga antek Anggi sama dengan Cecil.
Beberapa kali aku menarik dan menghembuskan napasku, berusaha untuk mengatur emosiku. Aku pikir jika tetap di sini aku pasti akan terpancing, sebaliknya aku memilih untuk berdiri menarik tasku, tapi tertahan karena Anggi menarik lenganku kencang.
"Lepas," ucapku lirih sambil mencoba melepaskan tangan Anggi.
"Jawab dulu! Bener 'kan bokap lo?" tanya Anggi kali ini mengguncang pundakku, membuatku merasa sedikit pusing.
Aku menarik napas dalam, mencengkram balik tangan Anggi yang juga tengah mencengkram tanganku. Perlahan, cengkramannya melemah.
"Iya. Kenapa?" jawabku dengan keberanian entah dari mana, aku sudah memcoba untuk tidak menghiraukan dan menghindar tapi Anggi dan teman - temannya seakan tengah menguji kesabaranku.
"Anak pembunuh kayak lo nggak pantes perlakuin gue kayak gini!" ucap Anggi tajam, tapi aku langsung pergi tanpa memedulikan Anggi yang kuyakin tengah menatapku tajam.
Aku berjalan keluar dari sekolah, melangkahkan kakiku menuju halte bus yang tidak jauh dari sekolah. Tak lama bus datang dan aku menaikinya. Di dalam ternyata cukup ramai, untungnya aku mendapatkan tempat duduk terakhir sebelum semuanya terisi penuh.
Aku turun tepat di dua halte berikutnya lalu berjalan beberapa meter sebelum berhenti di sebuah warung kecil yang menjual bunga. Aku membeli satu kantung bunga dan berjalan melewati jalan setapak hingga akhirnya sampai pada sebuah batu nisan yang bertuliskan Ayana Kirana.
"Ibu, aku datang."
Aku menatap makam ibu yang sudah ditaburi bunga lebih dahulu, entah mengapa aku berpikir jika ayah sudah lebih dulu datang ke sini. Tapi entahlah, aku tidak ingin terlalu mempedulikan tentangnya. Biar aku mengurusi diriku saja dan biar dia mengurusi dirinya sendiri.
"Bu, aku tidak pernah mengeluh dengan sebutan anak pembunuh. Tapi, bisakah aku mengeluh karena ibu pergi lebih dulu?"
Aku duduk di sebuah batu yang dibuat seperti kursi, meski tidak terlalu besar tapi cukup untuk duduk.
"Ibu, sudah seminggu Ayah pulang. Apa aku harus menerima Ayah yang sudah meninggalkan kita?"
Air mata turun perlahan melewati pipiku, entah mengapa sesak yang kutahan selama ini perlahan menghilang.
"Semoga Ibu baik-baik di sana. Aku pasti selalu mendoakan Ibu."
Aku menaburkan bunga di atas makam ibu, hari ini tepat 10 tahun ibu pergi. Tidak terasa bagiku, karena aku merasa ibu selalu ada di sisiku. Namun melihat makam yang ada dihadapanku ini seakan menua membuatku sedih, sudah beberapa tahun berlalu. Aku sudah berdiri sendiri sejauh ini, semua berkat apa yang ibu ajarkan kepadaku.
Kenangan yang ibu berikan tentang ayah kepadaku adalah satu - satunya yang saat ini membuatku merasa agak ragu sebenarnya, aku antara yakin dan tidak yakin dengan semua cerita yang ibu katakan. Aku tahu jika mana mungkin ibu membohongiku, tetapi aku tidak pernah tahu apakah semua cerita yang ibu katakan adalah kebenaran atau hanya sebatas cara untuk menenangkanku.
Aku bangun dengan kepalaku yang sangat pusing, entah berapa lama aku sudah tertidur. Aku mencoba berdiri dan keluar kamar untuk mencuci mukaku.
Aku menatap wajahku di cermin, entah mengapa terlihat sedikit pucat. Aku berjalan menuju dapur dan mengambil segelas air hangat, lalu mengambil obat pereda demam.
Aku berjalan perlahan ke arah sofa, entah mengapa rasanya makin berat untukku melangkah. Dari sini, aku menatap kamar ibu.
Aku membaringkan tubuhku di atas sofa, memejamkan mataku yang semakin memberat. Sinar matahari yang masuk perlahan menyilaukan mataku, aku terbangun dengan sebuah selimut yang menutupi tubuhku. Di meja, aku melihat semangkuk bubur.
Napasku terasa berat, kepalaku juga terasa pusing. Namun tubuhku terasa sakit saat ini, apa mungkin karena aku terlalu lama tertidur entahlah, tapi saat ini aku sudah berhasil menyenderkan punggungku ke belakang kursi di meja makan. Pandanganku kembali mengarah ke meja yang ada di seberangku , mangkuk berisi bubur itu mungkin terlihat menggoda jika saja aku tidak sedang demam saat ini.
Luna, kamu demam tinggi semalam. Ayah sudah mengompres kamu, semoga kamu merasa lebih baik saat bangun. Jangan lupa bubur ini dimakan sebelum minum obat.
Aku menarik kasar note yang tertempel di dinding, kepalaku terasa semakin berat saat aku mencoba untuk berdiri.. Aku berusaha mendudukkan kembali diriku di kursi dan menuang segelas air di dalamnya. Tenggorokkanku terasa lebih baik setelah aku meminum air dari gelas yang baru saja aku tuang, tapi pusing di kepalaku seakan tidak membaik sama sekali.
"Kenapa harus baik," ucapku dalam hati.
Aku tidak masalah jika ayah kembali dengan keadaan sebagai seorang laki-laki kasar dan jahat, karena mungkin itu adalah kebenarannya. Mantan narapidana pembunuhan akan cocok jika karakter ayah seperti itu, tapi sosok ayah yang kulihat sangat berbeda.
Ayah tidak kasar dan tidak jahat, bahkan ia terasa sangat baik. Sesuai dengan cerita yang berkali-kali ibu ceritakan kepadaku. Lalu bagaimana aku membencinya jika ia tidak me jahatiku secara langsung, sedangkan untuk menerimanya kembali saja diriku masih belum bisa. Aku benar - benar dilema saat ini karena diriku sendiri.
Aku menarik napas panjang, meski begitu aku tidak ingin berdosa karena mubazir dengan membuang makanan. Aku meraih mangkuk yang berada di depanku, membawa bubur itu tepat dihadapanku. Wangi rempah dari bubur itu tiba - tiba saja menggoda seleraku, aku mengambil sendok lalu mengambil sesuap bubur itu mendekatkannya ke bibirku dan langsung melahapnya.
Meskipun lidahku tidak bisa mengecap dengan baik rasa dari bubur ini, tapi rasanya bubur ini cukup membuatku lebih baik. Setidaknya meskipun aku tidak banyak memakannya tapi saat ini perutku sudah terisi dengan beberapa sendok bubur yang sudah kusantap, perasaanku juga agak lebih baik sebenarnya.
Aku meminum air putih lalu meraih note dan sebuah pena yang terletak di atas meja makan, sepertinya habis digunakan oleh Ayah. Tanganku mulai menulis beberapa kata dibatas note itu, lalu berakhir dengan meletakkan kembali pena yang aku genggam ke atas meja.
Terima kasih, tapi tolong jangan bersikap seperti ini kepadaku. Berhenti untuk mengurusi hidupku, aku bisa sendiri.
Setelah itu aku berdiri dari kursi, sambil meletakkan mangkuk bekas bubur tadi di tempat mencuci piring. Kepalaku masih terasa pusing meskipun tidak sepusing tadi, langkah kakiku bergerak menuju ruang tengah. Saat ini aku ingin membaringkan tubuhku di sofa aja, tanganku meraih remot televisi sambil menyandarkan punggungku aku mulai memutar siarannl di televisi mencari tontonan yang menarik perhatianku.