BAB 5

1308 Words
Aku memasuki kelas sedikit telat, untungnya pelajaran pertama belum dimulai. Hanya aku yang merasa atau memang aku yang selama ini tidak sadar, tapi hari ini lebih banyak pasang mata yang menatapku sejak aku melewati gerbang masuk tadi. Biasanya, mereka bahkan tidak memedulikan kehadiranku karena sudah terbiasa. Aku berjalan melewati koridor menuju kelas, rasanya koridor ini lebih panjang dari biasanya. Saat masuk ke dalam kelas, aku merasa semakin banyak orang yang berbisik, tepat saat itu juga aku mendengar Anggi dan teman-temannya membicarakanku. Sekarang, aku mengerti mengapa sejak tadi banyak yang menatapku. Tak lama bel masuk berbunyi, seorang guru olahraga masuk ke dalam kelas dan meminta kami untuk segera berganti pakaian. Aku memilih menunggu di kelas beberapa saat, karena sudah jelas ruang ganti pasti ramai. Sedangkan Adrian, ia sudah pergi lebih dulu ke lapangan. Setelah beberapa saat, aku melihat beberapa teeman sekelasku yang sudah berganti pakaian, aku mengambil tote bag yang berisi pakaian olahraga dari dalam laci dan membawanya ke ruang ganti. Untungnya, ruang ganti sudah tidak terlalu ramai. Aku segera memasuki bilik ganti setelah mendengar pengumuman jika waktu ganti tinggal 5 menit lagi dan harus segera menuju lapangan olahraga. "Lo tau nggak sih, katanya minggu kemarin Ayahnya Luna dibebasin dari penjara, malah kemarin dia ke sekolah.” "Hah? Lo serius? Ngapain sih ke sini? Bikin jelek nama sekolah aja." "Iya Anggi. Orang temen Papa gue kerja di sana. Gue juga denger kemarin banyak anak-anak yang liat kok di gerbang belakang." "Udahlah. Anak pembunuh kayak dia jangan dikasih panggung, malah kesenengan nanti. Yuk cabut aja, bentar lagi masuk." Saat mendengar lagi pembicaraan Anggi dan teman-temannya, sebenarnya aku masih ada di sana, di balik bilik toilet dan hendak keluar. Baru saja aku akan membuka pintu, suara mereka terdengar dengan jelas memasuki telingaku. Selama ini aku sudah tidak terlalu menganggap ucapan mereka, meski rasanya tentu saja sakit hati tapi aku menganggap itu semua sudah takdir yang bagaimanapun juga harus aku jalani. Menghindar pun percuma. Tapi saat aku mendengar itu sendiri dari mulut mereka yang entah harus kupanggil kawan atau lawan, rasanya semakin sakit. Aku keluar dari bilik ganti saat kudengar tidak ada suara lagi dari luar. Aku mengambil tote bag yang isinya sudah berganti dengan baju seragamku. Aku mencuci tanganku di wastafel, lalu saat akan kubuka kenop pintu itu, entah mengapa tidak bisa terbuka. Aku mencoba menariknya sekeras mungkin, tapi tetap tidak bisa. "Tolong!!!" "Tolong!!! Apakah ada orang?" "Tolong!!!" Aku berteriak berkali-kali sambil mengetuk pintu, tapi tetap saja tidak ada yang menolongku karena jam pelajaran sudah dimulai. Aku terus mencoba untuk mendorong, mengetuk dan memutar gagang pintu, berharap bisa terbuka, tetapi setelah cukup lama aku mencoba tetap tidak bisa terbuka. "Tolong!!!" Aku sudah pasrah dan hanya berharap akan ada seseorang yang lewat, sialnya lagi aku tidak membawa ponselku dan malah kutinggalkan di dalam tas. Aku terdiam dengan masih berdiri di depan pintu, berharap seseorang lewat lalu aku akan berteriak lagi. "Luna? Lun?" Aku mendengar suara Adrian berada dari luar ruang ganti, aku memanggil namanya berharap dia dapat segera sadar jika aku berada di ruang ganti. "Adrian?" “Di mana, Lun?” “Adriann,” panggilku semakin keras. "Kamu gak apa-apa Lun?" tanya Adrian dari balik pintu saat berhasil menemukanku. "Iya aku nggak apa-apa. Adrian aku minta tolong, aku kekunci di dalam. Tolong bukain," ucapku dengan nada lemah. "Bentar, Lun," ucap Adrian lalu aku mendengar suara langkah kaki Adrian yang menjauh. Aku menunggu Adrian kembali setelah beberapa menit sejak ia tadi pergi, tapi masih belum kembali. "Lun, agak ngejauh." "Kamu mau ngapain?" tanyaku bingung. "Mau nolonginlah. Awas ya, Lun. Pokoknya kamu agak mundur dari deket pintu." Aku mengikuti perintah Adrian dan berjalan sedikit menjauh dari pintu, aku mendengar beberapa kali hantaman pada pintu yang terbuat dari kaca. Brakkk!!!! Brakkkk!!!! Sesaat aku melihat sosok Adrian memegang batu dengan baju seragamnya yang sudah cukup berantakan. Peluh menetes deras dari dahi Adrian, lengkap dengan senyum yang terlihat bersyukur dari bibirnya. "Lun, kamu nggak apa-apa?" "Iya. Kok kamu bisa tau aku di sini?" tanya Luna bingung. "Aku nggak sengaja denger anak-anak bilang kalo Anggi ngunciin kamu, tapi nggak ada yang berani bukain." "Makasih ya Adrian, kalo bukan--" ucapanku terpotong saat tiba-tiba murid ramai mengerubungi kami. "Ada apa ini? Kenapa bisa pecah?" Bu Ani guru BK yang terkenal kejam entah dari mana datang dan menatap tajam Adrian yang masih memegang batu. "Bu, maaf bukan salah--" "Kamu? Ikut saya sekarang," perintah Bu Ani menunjuk Adrian. Adrian memberi tanda agar aku tidak ikut campur dan berjalan mengikuti Bu Ani. Aku terdiam sejenak sebelum mengambil bajuku dan memasukkannya ke dalam loker. Bagaimanapun juga ini karenaku. Aku menutup lokerku dan berjalan menuju ruang BK. Di sana aku melihat Adrian yang dimarahi oleh Bu Ani, entah apa pembicaraan mereka aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas. "Kamu akan mendapat surat peringatan pertama karena merusak fasilitas sekolah. Kamu ini, baru pindah malah buat keributan. Pok--" "Maaf Bu, sebenarnya itu karena saya." Aku mengetuk pintu dan masuk ke dalam ruang BK, Bu Ani makin menatapku tajam. "Apa maksudnya kamu membela dia?" "Sebenarnya saya terkunci di toilet, kebetulan dia lewat dan menolong saya." "Apa ini, saling bela? Nak, toilet di sekolah ini didesain yang terbaik. Hal seperti itu hampir tidak mungkin, kalaupun sampe terkunci itu pasti dikunci petugas. Tapi petugas nggak mungkin ngunci pas jam belajar mengajar. Kamu jangan ngarang cerita." "Tapi, Bu, bener ta--" "Kalian ini pacaran? Mau buat keributan apa mau jadi Romeo sama Juliet? Kalau kalian mengarang cerita seperti ini, kalian saya berikan hukuman tambahan untuk membuang sampah di seluruh kelas setelah pulang sekolah. Sekarang, kembali ke kelas." Bu Ani meninggalkan aku dan Adrian lalu kembali ke ruangannya. Aku menatap Adrian menyesal karena gara-gara aku dia kembali mendapatkan masalah. Aku dan Adrian memakai sepatu dan berjalan menuju kelas dengan hening, tidak ada yang berbicara di antara kami berdua. Lalu aku, makin terperangkap dengan rasa bersalahku. "Maaf, lagi-lagi kamu dapat masalah." "Bukan salah kamu, nggak perlu minta maaf." "Tapi kayaknya kamu jangan berbicara dengan aku lagi," ucapku lalu menghentikan langkahku, memberikan jarak beberapa langkah dengan Adrian yang juga berhenti. "Kenapa?" tanya Adrian membelakangiku. "Kamu hanya akan mendapatkan masalah jika terus membantuku, tolong untuk tidak memedulikan aku. Jangan pernah ikut campur, aku merasa terganggu." Aku berbicara dengan nada dingin, tapi sebenarnya aku kecewa dengan diriku sendiri. Bukannya berterima kasih karena sudah ditolong, aku malah mengusir Adrian pergi. "Baik, jika itu menganggu kamu Luna." "Maaf Adrian," batinku saat melihat Adrian yang berjalan lebih dulu sedangkan aku masih menatap punggungnya yang semakin menjauh. Aku terdiam selama beberapa saat, punggung Adrian sudah menghilang beberapa saat yang lalu. Entah Adrian memang baik atau Adrian yang belum saja meninggalkanku seperti orang lain saat mengetahui kebenaran tentangku. Tapi, bersama Adrian membuatku tidak nyaman. Beberapa kali aku mengalami pembully-an dan Adrian terus saja menolongiku, untuk ukuran murid pindahan ia sudah terlalu banyak ikut campur dalam kehidupannku. Padahal, belum sampai seminggu dia pindah ke sekolah ini. "Gimana rasanya?" tanya suara yang berada dari belakangku. Napas kutarik dalam, entah mengapa mereka selalu mengusikku membuatku selalu mendapatkan hukuman dari guru. Padahal, jika saja aku ingin, aku bisa menggunakan kekuasaan yang Om Juna punya. Tapi aku tidak ingin, sangat tidak tahu diri sekali jika aku mengambil dari mereka lebih dari apa yang selama ini mereka berikan padaku. "Makanya jadi cewek jangan kegatelan," ucap Anggi yang mendorongku. Hampir saja aku terjatuh jika saja aku tidak bisa menyeimbangkan diriku. "Apa mau kamu?" tanyaku dengan suara bergetar. Bukan karena aku akan menangis, tapi karena aku merasa bodoh membiarkan orang lain terus melukaiku dan menganggapku lemah. "Mau gue? Lo keluar dari sekolah ini. Pembawa sial kayak lo nggak pantes sekolah di sekolah elit gini." Aku terdiam menundukkan kepalaku, memikirkan apa salahku jika aku bersekolah. Jika benar aku anak pembunuh seperti kata mereka, apa aku tidak pantas untuk bersekolah. Lalu, mengapa semua orang menatapku rendah. "Aku mau sekolah," ucapku tegas. "Lo ngelawan? Siap-siap aja sama pertunjukan selanjutnya," ucap Anggi yang tersenyum sinis lalu berjalan menabrak bahuku. Meninggalkan aku yang masih terdiam mematung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD