Setelah aku berhasil melarikan diri, aku masih mencoba untuk bersembunyi. Anak buah Anggi terlihat marah dan kesal karena tidak dapat menemukanku, mereka bahkan melempar beberapa barang dan menginjak asal rumput yang meninggi.
Mata mereka menatap ke sekeliling mendalam, aku lebih sulit untuk bersembunyi karena saat ini mereka tengah berpencar untuk menemukanku. Kakiku sudah sangat sakit tertusuk tajamnya rerumputan, bahkan beret di tanganku yang tidak sengaja tergores oleh ranting pohon membuatku meringis perih saat terasa perih karena keringaku juga.
Saat aku melihat rumput yang bergerak cepat, mataku menatap anak buah Anggi ada yang berjalan ke arahku. Tangannya menepis kasar rumput yang menganggu dan tatapannya ke sekeliling dengan pandangan mata tajam mirip dengan elang yang sedang mengincar musuhnya.
Mulutku kututup dengan kedua tanganku, perlahan aku pun mencoba bergerak meninggalkan tempatku tadi. Saat ini, jarakku tidak begitu jauh dengan anak buah papa Anggi.
"Argh!" ringisku lagi saat merasakan duri dan bagian tajam dari batang pohon menggores tanganku.
Tanganku langsung menutup mulutku karena kelepasan, aku tidak ingin anak buah Anggi yang perlahan menjauh nantinya malah menyadari kehadiranku di sini. Aku juga mungkin tidak bisa berlari lagi jika tertangkap karena tenagaku yang benar - benar habis dan tubuhku yang sulit untuk aku kendalikan.
Aku mencoba berjalan, mengendap-endap. Dari kejauhan, aku melihat sosok Ayah yang juga menyadari kehadiranku. Ayah memberiku tanda untuk aku bergerak selambat mungkin agar pergerakanku tidak diketahui, melihat itu aku mulai berjalan selangkah demi selangkah.
"Ayah!" panggilku dengan suara rendah, aku menatap setiap gerak ayah sambil memperhatikan apakah anak buah Anggi ada di dekatku atau tidak.
Ayah tidak menoleh ke arahku saat aku memanggilnya, tangannya memberi tanda padaku untuk diam sejenak dan mata Ayah menatap penuh telisik ke arah depan di kejauhan sana. Aku yang memperhatikan ayah hanya bisa terdiam, menunggu aba - aba selanjutnya dari ayah.
Melihat ayah dari kejauhan sudah membuatku sedikit banyak merasa lega, hampir saja aku merasa mungkin aku tidak akan bisa lagi melihat ayah untuk selamanya. Di tambah dengan perlakuan kasar Anggi yang terus menyakitiku tanpa ampun, membuatku merasa aku seperti dipaksa untuk menyerah.
"Ayah!!" panggilku lagi mencoba untuk mengontrol ucapanku, aku tidak ingin karena aku malah membuat ayah juga ikut terkena bahaya.
Ayah memberiku lagi tanda untuk berjalan secara perlajan, aku mengikuti arahannya dan berjalan dengan perlahan, Adrian menarik tanganku saat ia melihat anak buah Anggi sedang menatap kami, aku terdiam di posisiku selama benerapa saat.
Perlahan aku mencoba bergerak merewati ilalang - ilalang yang bisa saja membuat pergerakan dan posisiku ketahuan, aku bergerak dengan selambat dan seberhati - hati mungkin.
Mataku menatap Ayah dari kejauhan, saat ini posisiku sudah semakin dekat dengan Ayah dan jarakku dengan anak buah Anggi sudah cukup jauh sehingga aku bisa mempercepat langkahku mendekati ayah.
"Ayah!!" panggilku lagi, namun tetap saja karena jarak kami terbatas ayah menatap ke arahku sekilas, ada senyum kecil yang menenangkan perasaanku yang kulihat dari wajah ayah.
Kulihat, ayah juga mencoba mendekat ke arahku. Saat jarak kami tinggal beberapa langkah aku mempercepat langkahku. Dengan sedikit berlari kini jarakku dan ayah semakin singkat.
"Ayah!!" panggilku, kali ini aku sedikit menaikkan suaraku. Benar saja, setelah itu ayah sadar dengan kedatanganku, membuatnya berjalan mendekatiku.
Saat jarak kami semakin dekat ayah memandangku dengan tatapan cemas dan terkejut secara bersamaan, "Luna!" teriak Ayah membuatku lebih terkejut karena teriakannya.
DUAAAAARRRR!!!
"Lunaaaa!!!" teriak Ayah segera meloncat dan melindungiku, aku melihat di tempatku tadi banyak asap yang mengepul.
Keterkejutanku awalnya bukan karena teriakan ayah, tapi karena sebuah bunyi ledakkan tiba-tiba terdengar bersamaan dengan saat ayah meneriakan namaku.
"Luna," ucap Ayah dengan suara yang terdengar berat.
Saat ayah memutar tubuhku setelah berhasil memelukku, aku melihat napas ayah yang mulai tertahan. Tubuh ayah terbasahi oleh darah yang keluar, aku menangis sejadi - jadinya. Adrian berusaha untuk membantuku memeriksa kondisi ayah, aku tidak bisa mengatur perasaanku sendiri saat aku melihat ayah terluka separah ini karenaku.
"Ayah!!!" teriakku, air mata mengalir deras melewati pipiku.
Tanganku yang juga membalas peluk ayah tiba-tiba terasa basah, aku melepaskan pelukku dan melihat ke arah tanganku yang terlihat berdarah. Aku menangis melihat darah itu semakin melebar membasahi pakaian ayah, aku mencoba untuk menutupnya dengan tanganku namun tidak membuat darah yang keluar berhenti.
"Ayah!!!" teriakku saat tiba - tiba ayah terjatuh di pundakku membuatku benar - benar terkejut.
Dari belakangku banyak pria yang terlihat seperti usia 30-an datang mengelilingiku, aku terdiam sambil memeluk ayah dalam pangkuanku, aku pikir akhir hidupku akan berakhir di sini setelah anak buah Anggi menangkap aku dan ayah.
Tapi aku benar - benar bersyukur setelah sadar jika yang mendatangiku sebenarnya bukan anak buah Anggi, dari belakang pria yang mengelilingiku aku melihat om Juna dan Adrian yang mendekatiku masih dengan napas yang memburu.
Om Juna yang melihatku langsung segera memeriksa keadaanku, aku masih menangis karena melihat ayah yang perlahan mulai kehilangan kesadarannya.
"Luna kamu gak apa - apa?" tanya om Juna langsung memeriksa kondisiku, aku menggelengkan kepalaku sambil masih menangis.
"Ayah, Om," ucapku masih sulit berbicara karena tangisku yang tidak terbendung.
"Selamatkan Ayah," ucapku kepada om Juna, aku menatap matanya dalam.
Aku menangis saat om Juna mendekatiku, lalu om Juna yang menyadari posisi bahaya langsung mengambil ayah memapah ayah, sedangkan Adrian ia langsung merangkulku tanpa diperintah om Juna.
"Kalian, amankan mereka. Saya ingin mereka semua ditangkap!" ucap om Juna memberikan perintah.
"Siap!!!"
Orang - orang yang datang bersama om Juna langsung pergi dan menyelesaikan perintah dari om Juna, mereka pergi lagi untuk menangkap anak buah Anggi.
Beberapa pria berusia 30-an yang tadi datang langsung maju setelah diperintah oleh om Juna. Aku menangis melihat kondisi ayah yang terlihat semakin lemah.
"Om, ayo cepat bawa ayah," ucapku menangis dengan Adrian yang berusaha menenangkanku.
Om Juna langsung memapah ayah dengan cepat menuju mobil, meninggalkan aku dan Adrian dengan jarak beberapa langkah.
Tiba-tiba kakiku terhuyung tak sangup memapah diriku lagi, Adrian yang sigap langsung menggendongku khawatir. Ia terus memintaku untuk tetap sadar. Aku masih mendengar samar-samar suara Adrian. Aku juga melihat darah ayah yang terus terkeluat meski om Juna sudah mencoba menutupnya dengan saputangan miliknya.
***
Keadaan di rumah sakit langsung kacau, semua dokter terhebat di rumah sakit bersiap menunggu di depan pintu masuk rumah sakot. Suasana mendadak menjadi dingin, tantr Erly terlihat semakin cemas setelah mendengar berita melalui om Juna.
Bahkan, banyak pihak polisi yang ikut menjaga di rumah sakit. Dari kejaihan tante Erly melihat kedua mobil yang sudah ia kenal. Mobil tersebut berhenti menurunkan seorang gadis yang ia kenal dengan baik. Kondisinya terlihat keritis, dokter yang bertugas menangani segera membawa gadis itu masuk ke dalam.
"Adrian kamu ga apa-apa?" tanya tante Erly, terlihat kecemasa dari matanya.
"Adrian gak apa-apa tante, cuma Luna udah gak sadarkan diri," ucap Adrian yang terlihat tertekan.
Adrian merasa bersalah karena meninggalkan pacarnya hari ini, padahal harusnya ia tidak meninggalkannya sendirian. Rasa bersalahnya membuatnya merasa kesal dan kecewa pada dirinya sendiri.
Rasa bersalah yang dirasakan oleh Adrian semakin bertambah setelah melihat kondisi pacarnya yang sangat kacau, ia tidak mengerti kenapa ada orang sekejam itu yang memperlakukan orang lain sekasar itu.
"Ya udah, kamu masuk duluan. Tante nungguin om Juna sama om raka," lanjut tante Erly, Adrian yang mengerti mengangguk dan masuk lebih dulu meninggalkan tante Erly yang masih berdiri di pintu masuk ruang gawat darurat rumah sakit.
"Mas apa yang memangnya terjadi tadi?" tanya tante Erly panik saat om Juna dan Adrian baru tiba di rumah sakit.
"Tadi malah ada baku tembak, Luna hampir ke tembak tapi Raka langsung maju melindungi Luna. Jadi dia yang tertembak."
"Ya ampun mas Raka," ucap tante Erly khawatir setelah memeriksa dari luar luka tembak yang ada di d**a ayah.
"Aku gak apa-apa, sekarang kita hanya harus mengutamakan keselamatan Luna. Aku harus bersiap," ujar Ayah dengan napas yang sesak. Tiba-tiba ia batuk darah, membuat keadaan semakin tidak dapat dipastikan.
"Mas tapi melihat kondisi Luna, ia harus segera di operasi. Dia sudah dalam kondisi terburuk," ucap tante Erly memperingatkan.
"Kamu segera operasi Luna, tolong urus semuanya. Luna sudah tidak sadarkan diri, untuk sumsum tulang belakang bisa ambil miliku. Aku memang sudah berniat mendonorkannya," ucap Ayah kepada tante Erly.
"Mas kamu ini dalam kondisi kritis, peluru di d**a kamu itu dalam. Salah-salah kamu bisa gak selamat, mana bisa saya meminta dokter mengoperasi kamu."
"Saya mohon selamatkan saja Luna jika memang berbahaya," ucap Ayah pasrah baginya kini keselamatan putri semata wayanya ini adalah satu-satunya prioritas.
"Maaf bu Erly, kondisi pasien Luna semakin gawat. Dia harus melakukan operasi donor sumsum tulang belakang sekarang juga," ucap seorang pria dengan jas putih memotong perdebatan mereka.
"Baiklah, kamu bisa mulai. Saya akan mengurus dokumennya," ucap tante Erly pasrah.
Dokter itu menatap tante Erly, "saya akan periksa lebih dulu apakah cocok atau tidak, jika cocok kita bisa melakukan operasi secepat mungkin namun jika tidak kita harus mencari donor lain," ucap dokter menjelaskan keadaanya kepada tante Erly dan Ayah.
"Baik Dokter, lalukan apapun. Saya akan mempercayakannya," ucap Ayah.
Dokter itu mengangguk mengerti, "kami akan mempersiapkannya dulu," ucap dokter itu laku pergi.
Om Juna menatap ke arah ayah dalam, "Mas kamu juga sedang sakit, luka tembakan tadi bukan luka kecil. Kamu perlu di obati," ucap om Juna menatap ayah yang tengah gundah.
Ayah menggelengkan kepalanya, "aku baik - baik saja, saat ini yang terpenting adalah untuk menyelematkan Luna," ucap Ayah tegas.
"Kamu juga perlu di selamatkan Mas," ucap tante Erly ikut berbicara, ia tahu ayah adalah orang yang keras kepala apalagi dengan situasi yang seperti ini semakin susah untuk membujuk ayah.
Ayah tersenyum kecil mencoba untuk menenangkan orang lain, padahal dirinya sendiri merasa sangat tertekan. Tadi, yang tertembak adalah dirinya, namun saat perjalan ke rumah sakit malah putri satu - satunyalah yang tidak sadarkan diri.
Melihat kondisinya juga bukan dalam kondisi yang baik, banyak luka yang ada pada putri satu - satunya itu membuat hatinya sebagai seorang ayah teriris.