BAB 40

1629 Words
Hal pertama yang aku rasakan setelah terbangun adalah rasa dingin yang menusuk kulit sesaat setelah aku terbangun dari tidurku, hampir saja kupikir aku sedang berada di kutup utara. Mataku mengedip beberapa kali menyesuaikan cahaya yang masuk, tubuhku terasa pegal seolah habis mengangkat sesuatu yang berat, aku tidak tahu entah sudah berapa lama aku tertidur karena rasanya tubuhku terasa kaku. Aku terus meringis saat aku merasakan rasa sakit di punggung bagian belakangku, kepalaku juga terasa pusing namun terkalahkan dengan rasa sakit yang aku rasakan pada punggungku. Punggungku yang terasa sangat nyeri, membuatku menangis tanpa dapat kutahan. Air mataku jatuh begitu saja bersamaan dengan rasa sakit yang tidak bisa aku tahan. Setelah beberapa saat aku membuka mata, aku bahkan baru sadar jika posisi tidurku ini terbalik, bukannya menghadap ke atap tapi menghadap ke kasur. Aku mencoba bergerak untuk membalikkan badanku tetapi tidak bisa, sedikit saja aku bergerak rasanya punggungku seakan tergores pisau yang tajam. Perih bersama dengan sakit aku rasakan, baru ini aku mengalami sakit luar biasa di punggungku selain pegal - pegal. "Sakittt...," eluhku dengan air mata yang terus membanjiri pipi, entah kenapa rasanya punggungku terasa nyeri sekali. Aku tidak melihat ada siapapun di ruangan ini, hanya ada diriku sendirian dengan infus yang tertusuk di tanganku. Menurutku, baru kali ini aku merasakan nyeri yang membuat aku tidak mampu berkata apa-apa. Aku bahkan sudah tidak dapat menahan isakan tangis dari mulutku. Kugerakkan tubuhku perlahan mencoba untuk berbalik, tapi tetap saja aku tidak bisa bangun dengan benar. Tubuhku terasa semakin sakit ketika aku semakin mencoba, aku memerlukan bantuan seseorang untuk menolongku. Mataku tertuju pada pintu yang baru saja terbuka, di balik pintu aku melihat seseorang berjalan. Aku mengangkat kepalaku perlahan membuat punggungku terasa lebih sakit, namun aku melihat Adrian yang tengah berjalan mendekat. "Sakitttt!!!" ucapku dengan sedikit berteriak, aku memang merasakan sakit namun juga tetap menahan diriku sendiri untuk tidak berteriak atau membuat kegaduhan. Mata Adrian menatap ke arahku yang masih terus meringis kesakitan, Adrian meletakkan bawaanya lalu menatapku dengan panik. Aku sangat yakin jika saat ini Adrian tengah bingung harus bersikap apa karena ia juga tidak tahu harus bagaimana menolongku. Adrian yang baru masuk mempercepat langkah kakinya ke arahku, "Luna ada apa?" tanya Adrian terlihat sangat cemas menatapku. Aku benar-benar menangis seperti anak kecil yang tidak mendapatkan mainan kesukaanya, "sakit sekali," ucapku dengan suara yang bergetar karena tangis yang tidak bisa kutahan. Ini sudah sekian kalinya Adrian melihat kelemahanku, aku sudah berniat tidak akan lagi menunjukkan kepada Adrian kelemahanku dab akan bersikap kuat seperti biasanya. Tapi kalo ini aku malah mengingkari ucapanku sendiri, percetan dengan sok kuat aku lebih membutuhkan seseorang untuk membantuku. Air mataku jatuh perlahan membasahi kasurku, setiap kali aku bergerak rasa sakit yang kurasakan semakin terasa. "Luna sebentar aku panggil dokter dulu," ucap Adrian kembali ke luar dan dengan sangat tergesah-gesah. Beberapa saat kemudian pintu kamar terbuka lagi, kupikir Adrian kembali setelah memanggil dokter dan benar saja dari balik pintu, masuk beberapa dokter bersama dengan Adrian dan tante Erly yang terlihat cemas menatapku. Tante Erly mendekatiku, selagi dokter tengah memeriksa tubuhku, aku hanya terus mengeluh kesakitan selama dokter memeriksaku. Ia terlebih dulu memeriksa cairan infus yang tergantung lalu mengecak alat yang terpasang di samping ranjangku. "Tante sakit banget, Luna gak tahan. Sakit!!!" ringisku masih dengan tangisan, aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku karena tiba - tiba saja aku merasakan sakit, saat bangun. Aku menangis, sedangkan tante Erly ikut menangis setelah melihatku terus saja berteriak kesakitan, "Dokter tolong periksa," ucap tante Erly memegang tanganku dan mengenggamnya. Saat dokter memeriksa punggung bagian belakangku, aku merasa seperti baru saja dilindas oleh sebuah truk besar yang menyebabkan seluruh tulangku patah. Rasanya sakit sekali sampai aku tidak bisa berkata - kata. Aku terus mengeluh dengan air mata yang tetap tidak bisa aku tahan, sedangkan tante Erly terus saja mencoba menenangkanmu. Adrian terlihat cemas dan terus memperhatikan apa yang dilakukan dokter dengan was - was, tanganku mencengkram erat seprai. "Sabar sayang," ucap tante Erly dari kejauhan karena membiarkan para dokter memeriksa kondisiku. Adrian juga berusaha menenangkanku sama seperti tante Erly, mereka berdua sama - sama tidak tega dan tidak tahan melihatku yang menangis tidak berhenti. "Karena kamu baru menjalankan operasi jadi kamu tidak bisa tidur seperti biasa selama beberapa hari," ucap dokter berbicara kepadaku, aku terdiam beberapa saat mencerna perkataan dokter. "Operasi?" tanyaku tiba - tiba karena aku terkejut sekali mendengarnya, apa yang memangnya terjadi hingga aku harus di operasi. Operasi apa yang aku jalani memangnya membuatku merasa kesakitan seperti ini, lagi pula tidak ada yang membicarakan mengenai operasi kepadaku. Lalu tiba - tiba, setelah kejadian mengerikan menimpaku kemarin dan saat aku terbangun aku telah di operasi. Mataku menatap dalam tante Erly, sepertinya ada banyak hal yang harus kutanyakan kepadanya. "Iya Luna, nanti akan Tante jelaskan," ucap tante Erly menenangkanku yang semakin panik. Rintihan yang kukeluarkan terus tidak berhenti, biasanya aku tidak secengeng ini apalagi di depan dokter yang notabennya adalah orang asing bagiku. "Sepertinya biusnya sudah hilang, apa bisa diberi lagi?" tanya tante Erly yang terlihat cemas melihatku berteriak kesakitan. "Tidak bisa karena dosis bius yang tadi cukup tinggi, jadi saya akan memberikan penghilang rasa sakit yang mungkin mengurangi rasa sakit selama beberapa jam. Jika rasa sakitnya sudah terasa lagi, nanti langsung hubungi perawat saja. Kita akan terus pantau," ucap dokter memberi penjelasan kepadaku dan kepada tante Erly. Dokter tersebut menyuntikan sesuatu di infusku, aku masih merintih hingga beberapa saat kemudian aku mulai kehilangan rasa sakit yang ku rasa. Tangis dan air mataku perlahan berhenti seiring dengan rasa sakit yang perlahan berkurang, meskipun tidak menghilangkan sepenuhnya tetapi setidaknya ini lebih baik daripada tadi. Para dokter yang masuk sudah keluar setelah menyuntikkan obat ke dalam cairan infusku, tante Erly mengusap air mataku dengan tisu sambil sesekali menyeka keringatku. "Tante, kenapa punggung Luna sakit sekali?" tanyaku penuh dengan tanda tanya. Bagaimana tidak, aku tidak menyangka jika aku akan di operasi secara tiba - tiba. Padahal, aku tidak merasakan sakit apapun atau ada gangguan dan lagi aku semalam hanya memiliki luka luar yang harusnya penangananya tidak perlu sampai tahap operasi. "Kamu semalam habis operasi sumsun tulang belakang," ucap tante Erly menjelaskan kepadaku operasi apa yang tadi dimaksud oleh dokter itu. Aku sedikit terkejut, rasanya aku tidak memerlukan operasi itu. Bagaimana bisa dalam sekejap aku sudah menjalani operasi itu. Apalagi operasi sumsum tulang belakang, aku masih heran mengapa aku perlu melakukan operasi seperti itu. "Kenapa?" tanyaku terkejut, tentu saja aku terkejut. Setahuku, aku pernah membaca di n****+ dan melihat di film jika operasi sumsum tulang belakang bukanlah operasi kecil tetapi operasi besar yang harus dilakukan untuk penyembuhan penyakit yang setahuku juga cukup mematikan. Aku menatap dalam mata tante Erly, "ada apa sebenarnya Tante?" tanyaku menatap mencari jawaban di balik mata tante Erly. "Sebenarnya, selama ini kamu menderita kanker darah. Itu sebabnya kamu sering mimisan dan pingsan," ucap tante Erly menjelaskan kepadaku perlahan, aku terdiam karena terkejut tidak menyangka jika aku selama ini memiliki penyakit itu. Aku membelalakan mataku kaget, aku juga sering mendengarkan penyakit ini saat pelajaran biologi di kelas tapi aku tidak menyangka jika aku menjadi salah seorang yang terkena salah satu penyakit yang cukup mematikan ini. Berarti, rasa sakit yang selama ini aku rasakan. Mimisan yang sering terjadi padaku hingga kepalaku yang terus menerus sakit itu disebabkan oleh penyakit ini. Rasanya aku hampir tidak percaya, bagaimana penyakit itu menggerogoti tubuhku selama ini. "Kamu juga tahu?" tanyaku pada Adrian yang sedari tadi mengenggam tanganku, meski sedikit ragu Adrian mengangguk "Iya, maafin aku gak bisa ngasih tahu kamu," ucap Adrian merasa bersalah kepadaku, jujur saja aku kecewa karena aku satu - satunya yang tidak tahu tentang ini. "Kenapa kalian jahat sama aku? Kenapa gak ada yang bilang sama aku?" tanyaku sedikit berteriak karena kesal dan marah. Aku sedih, seakan selama ini dibohongi oleh semua orang. Kecurigaanku selama ini ternyata benar, saat aku menduga ada yang aneh karena semua orang terlihat sangat mempedulikan aku meski aku terluka hanya sedikit. Aku rasanya ingin protes, bagaimana bisa seseorang yang memiliki penyakit ditubuhnya tidak mengetahui apapun. Ini adalah tubuhku, harusnya aku lebih tahu. "Kenapa nyimpen rahasia sebesar ini?" tanyaku lagi sambil terisak. "Maaf sayang, Tante menyembunyikan ini karena kita tidak mau kamu kepikiran dan khawatir. Maafin kita semua ya," ucap tante Erly terdengar sedih membuatku tidak tega untuk protes dan marah kepadanya. "Terus kamu kenapa ikut-ikutan?" tanyaku pada Adrian, aku mengerucutkan bibirku sebal karena semua orang berusaha menutupi ini dariku. "Demi kamu," balas Adrian membuatku kesal. "Lain kali, apapun itu harus diceritakan. Ingat kan janji kita," ucapku tegas, aku benar - benar merasa kecewa saat semua orang tidak mengatakannya padaku padahal aku yang paling menderita. Aku tidak mau hal seperti ini terjadi lagi, apalagi Adrian dan aku memiliki hubungan yang tidak sederhana. Dalam suatu hubungan kepercayaan, komunikasi dan keterbukaan adalah hal yang paling penting menurutku sehingga aku ingin Adrian mengerti alasanku berbicara seperti itu. "Iya maafin aku Luna," ucap Adrian tulus, aku mengangguk menerima permintaan maafnya setelah diriku merasa sedikit tenang. Aku menghela napas berat, lalu mengangguk setuju untuk memaafkan Adrian. Apapun itu, mereka semua sudah melindungi aku sampai sekarang jadi aku tidak bisa marah terlalu lama. "Tante, Ayah di mana?" tanyaku setelah sadar jika sejak aku membuka mata hingga sekarang aku belum melihat ayah, akh perlu memastikan kondisi ayah apalagi semalam ayah terluka. Aku menatap tante Erly dalam, entah mengapa tante Erly terlihat sedikit terkejut saat aku tiba-tiba menanyakan di mana ayahku berada. "Ayah di mana, Tante?" ulangku, masih menatap tante Erly dalam. "Ayah kamu ada," jawab tante Erly terlihat sedikit ragu. "Di mana?" tanyaku lagi. "Tante, Ayah di mana?" tanyaku mengulang lagi ucapanmu setelah tidak mendapatkan jawaban dari tante Erly, Adrian yang aku tatap juga ikut diam. Aku menatap tante Erly dalam, entah mengapa tante Erly terlihat sedikit terkejut saat aku tiba-tiba menanyakan di mana ayahku berada. "Ayah di mana, Tante?" ulangku, masih menatap tante Erly dalam. "Di mana?" tanyaku lagi kali ini dengan nada lebih keras.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD