BAB 38

1234 Words
Dingin angin malam terus menerus menusuk tubuhku, ditambah perutku yang bunyi karena belum makan seharian. Aku baru saja terbangun beberapa saat lalu, namun keadaan sudah sepi dan kosong. Hanya ada balok kayu bakaran yang berada dihadapanku. Meski begitu, ini tidak dapat membuatku merasa hangat. Dingin yang kurasa bahkan terasa hingga ke tulang. Aku ingin sekali berteriak, tapi mereka membungkam mulutku dengan kain kali ini. Aku dapat mencium bau amis dari darah mimisanku tadi, untungnya sekarang sudah berhenti namun mampu membuatku merasakan kesulitan bernapas. Aku menangis membayangkan jika sekarang semua orang pasti sedang cemas dan kalut mencariku yang tiba-tiba menghilang. Namun, satu yang aku sadar jika aku tak sengaja meninggalkan ponselku di sofa. Harapanku, semoga ayah, om Juna atau Adrian bisa melihat dan menemukan ponselku. Jika iya, mereka mungkin bisa menemukanku karena mendapatkan petunjuk jika mereka memeriksa isi pesan yang masuk. Perutku terus berbunyi, bergantian dengan sakit yang terasa seakan perutku tengah terlindas oleh sebuah mobil. Aku menatap ke sekeliling berharap menemukan sesuatu yang nampu melepaskanku. Tanpa sengaja, mataku terhenti pada sebuah bekas pecahan kaca yang berada di lantai. Aku mendorong tubuhku hingga terhuyung ke belakang, berusaha menjauhkan diri dari kursi. "Awww," ringisku saat bagian belakang punggung dan kepalaku terbentur lantai karena aku terjatuh dari kursi. Mataku memandang ke arah di mana aku melihat pecahan kaca tadi, dengan sangat kesulitan aku memutar tubuhku ke mendekati arah pecahan kaca itu. "Arghhh," ringisku lagi saat aku merasakan sakit dan nyeri secara bersamaan di lengan tanganku. Dengan susah payah dan sedikit menyeret kakiku yang entah kapan terluka, aku berjalan menuju pecahan kaca itu. Sesekali aku memantau ke sekeliling, kali-kali Anggi dan papanya kembali masuk. Aku hampir sampai pada pecahan kaca tersebut, dengan tangan yang terikat di belakang aku mengambil pecahan kaca itu. "Awww ...," ringisku saat tak sengaja pecahan kaca itu menggores tanganku. Meski rasa sakit itu aku rasakan tapi aku tidak bisa membuang waktuku untuk mengeluh, jika tidak sekarang mungkin aku tidak akan memiliki kesempatab untuk pergi lagi. "Arghhh," ringisku lagi namun tetap terus menahan rasa sakit, aku harus cepat jika tidak ingin ketahuan dan tertangkap. Aku terus menggesekkan pecahan kaca itu pada tali dan menahan perih saat tidak sengaja pecahan kaca itu menggores tangangku. Butuh waktu beberapa saat hingga akhirnya aku berhasil melepaskan tali ditanganku. Kemudian, aku melepas kain yang menbekap mulutku dan tali yang mengikat kakiku. Aku berdiri dari tempatku duduk lalu berjalan mengendap, dari luar aku mendengar tawa pria suruhan Anggi dan papanya. "Dapat," ucapku dalam hati. Aku melihat sebuah ponsel terletak di meja yang terbuat dari drum, aku mengambilnya berhati-hati dan membawanya keluar melalui celah belakang tempat mereka menculikku. Entah akan kemana jalan ini menuju, aku hanya terus mencoba melarikan diru sambil terus menyeret kakiku yang terasa semakin sakit. Aku melihat beberapa pohon besar dan beberapa rumah yang terlihat kosong. Saat itu, aku langsung membuka ponsel yang tadi aku ambil dan menelpon nomor ayah. Aku menghidupkan ponsel itu, untungnya tidak terkunci. Tidak perlu waktu lama dari balik ponsel tersebut terdengar suara sautan orang yang seharian ini aku rindukan. "Halo," ucap suara dari balik telepon, aku mendengar suara ayah yang terdengar lemah. "Ayah, tolong Luna. Jemput Luna sekarang, tempat ini menakutkan. Luna takut," ucapku dengan tangis yang tidak bisa aku tahan, aku benar - benar merasa takut sekarang. "Luna, ya ampun nak kamu di mana? Ayah nyariin kamu dari tadi!" ucap Ayah sama paniknya denganku, aku menatap ke sekeliling terus memastikan jika tidak ada yang melihatku bersembunyi di sini. "Bagaimana kondisi kamu, sekarang kamu di mana?" Ayah bertanya padaku, suaranya terdengar sangat panik langsung menanyakan kondisiku dan lokasiku dimana. "Luna gak tahu ini di mana, tapi sebentar Luna bisa ngelihat disini terlihat gedung agensi Highlight Ent. Ayah, Luna pikir sekarang Luna ada di perumahan lama gak jauh dari agensi itu." "Ayah tahu tempat itu, Ayah segera ke sana sekarang. Keadaan kamu gimana?" tanya Ayah dengan terengah - engah, aku dapat merasakan suara napas memburu dari ayah, mungkin karena ia berlarian. "Luna baik - baik aja, tapi Ayah cepet ke sini tolongin Luna," ucapku sedikit berbisik dan sambil berlari melewati semak - semak tajam yang sudah beberapa kali ini menggores tangan dan kakiku. Aku terus menarik kakiku, tidak peduli sakit dan gelap yang kulakukan hanya mencoba meloloskan diriku, aku berjalan dengan sedikit meraba kegelapan tanpa peduli sakit pada kakiku karena menginjak tajamnya rerumputan. "Ayah akan segera ke sana, kamu tunggu sebentar Ayah akan langsung menjemput kamu. Ayah pergi sekarang, kamu tenang ya." Aku mematikan panggilan saat tiba-tiba baterai ponsel terlihat hampir habis, bagiku sekarang menghemat batrai adalah pilihan terbaik saat ini. Aku terus berjalan berusaha mencari jalan keluar. Entah mengapa, terasa sangat sukit bagiku untuk keluar dari sini. Sejauh apapun aku berjalan, aku tidak menemukan jalan keluar. Aku terduduk di bawah sebuah pohon besar, menangis terisak ketakutan berharap ayah segera sampai. Drt.... Drt.... Aku langsung menekan layar hijau saat panggilan dari nomor ayah masuk, aku menangis menjelaskan tempatku berada. "Kamu jangan panik, ayah sudah hampir sampai. Sekarang Ayah susulin kamu," ucap Ayah berusaha menenangkanku. Aku menutup mulutku menahan tangis saat aku mendengar banyak langkah kaki dan sorot cahaya yang lewat bergantian. Dari sini, aku melihat anak buah Anggi yang terlihat tergesa - gesa, mungkin mereka sudah sadar jika aku sudah meloloskan diri. "Saya tidak mau tahu, kalian harus menemukan Luna sekarang. Cepat pergi!" teriak Anggi penuh emosi, teriakannya bahkan terdengar beberapa meter hingga ke tempatku bersembunyi, padahal jaraknya juga lumayan jauh. "Cepat cari dia, saya akan membunuh kalian jika dia lolos!" teriak Anggi murka, ia bahkan melempar semua barang yang ada di atas meja dengan kasar. Aku semakin panik saat mendengar suara tinggi papa Anggi, aku makin meringkuk memeluk tubuhku. Aku berharap agar ayah segera datang dan menyelamatkanku sekarang. "Cepat cari dia!" teriak salah satu anak buah Anggi. Aku semakin berhati - hati dalam bersembunyi, aku merangkak di rerumputan yang cukup tajam. Tidak peduli lagi dengan kemungkinan adanya ular atau hewan berbahaya lainya yang bisa saja tiba - tiba muncul karena saat ini yang aku harapkan adalah bisa segera pergi dari sini. "Cepat cari dengan teliti!" teriak salah satu anak buah Anggi lagi yang membuatku semakin panik. Aku mundur perlahan, mencoba untuk menjauh dan mencari tempat untuk bersembunyi lagi. Selagi aku mundur, aku merasakan ada suara langkah kaki yang terdengar kasar. Sumber suara itu rasanya tidak terlalu jauh dari lokasiku saat ini, aku mundur perlahan. "Itu dia," ucap seseorang mengarahkan sorot senter kepadaku membuatku semakin ketakutan. Aku terdiam membeku saat anak buah Anggi berjalan mendekat, untungnya mereka berlari ke sudut yang berbeda denganku dan cukup jauh. Aku merasakan ponsel di tanganku kembali bergetar dan melihat nomor ayah di layar ponsel. "Luna apa kamu baik - baik saja?" tanya Ayah dengan nada panik, aku memperhatikan sekeliling aku tidak ingin tertangkap lagi oleh Anggi ataupun anak buahnya. "Aku baik - baik saja," jawabku cepat, bibirku terasa sakit setiap kali aku berbicara karena efek dari tamparan Anggi. Pandanganku semakin terbatas karena sekelilingku benar - benar gelap, tidak ada cahaya yang bisa digunakan sebagai sumber penerangan membuatku terus meraba - raba. "Luna di tengah kebun," ucapku melihat ada kebun cabai yang tersusub rapi di kejauhan, aku rasa sepertinya aku berada tidak jauh dari pemukiman warga. "Ayah akan segera ke sana," ucap Ayah terdengar terburu - buru, bahkan napasnha terdengar berat. "Kamu di mana?" tanya Ayah padaku, aku menatap ke sekeliling memastikan keadaan aman. "Aku ada di belakang, Ayah di mana?" tanyaku masih was - was. Aku mendengar napas ayah yang terburu, "Ayah akan ke sana, kamu hati - hati."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD