Tante Erly pulang dijemput oleh Om Juna. Aku juga sudah meminta maaf kepada Tante Erly atas sikap kasarku sebelumnya. Aku benar - benar menyesal sudah berkata sekasar itu kepadanya padahal harusnya ia tidak pernah menerima hal seperti itu dariku. Untungnya, Tante Erly menerima permintaan maafku dengan baik.
Setelah kejadian tadi, aku mengikuti kemauan tante Erly untuk menerima kembali ayah. Meski berat untukku melakukan itu seperti janjiku dan aku akan mencobanyam Entah seberapa lama aku akan bertahan karenanya tetapi aku benar - benar tidak tahu bisa bertahan hingga kapan.
Akhirnya, tante Erly memberi ide untuk kami kembali ke rumah lama dan meninggalkan apartemen agar kami dapat hidup bersama dan menjadi dekat dengan kenangan ibu yang tertinggal di rumah itu.
Aku keluar kamar setelah memasukan beberapa buku-buku milikku ke dalam kotak, beberapa barangku juga sudah mulai aku kemasi. Mungkin aku masih akan tinggal di apartemen sesekali jadi aku tidak mengosongkan semua barangku di sini, setelah memastikan buku yang aku perlukan sudah kumasukan ke dalam kotak aku menutupnya dengan rapat.
Sebelumnya saat ayah kembali, om Juna pernah menyarankan hal itu kepadaku, ia meminta aku kembali ke rumah, namun aku belum siap untuk kembali ke rumah ibu bersama ayah. Tapi setelah aku memutuskan untuk menerima ayah, saat ini aku sudah siap karena kami sama-sama ingin mencoba hidup dengan baik sebagai sebuah keluarga.
"Luna, mau makan apa?" tanya Ayah dari balik pintu, lengkap dengan celemek yang menggantung di leher dan pingganya.
Setelah mengetuk pintu, ayah memunculkan kepalanya dari balik pintu. Terkadang, tingkah ayah cukup lucu untuk membuatku tertawa. Namun tetap kutahan, aku tidak ingin diangap lunak karena langsung merespon apa yang ia lalukan.
"Luna kenyang, tapi Luna mau buat jus pir. Ayah mau?" tanyaku bersiap berdiri untuk membuatnya. Tiba - tiba saja aku menginginkan jus pir, padahal biasanya aku lebih suka memakan langsung buah pir daripada membuatnya menjadi sebuah jus.
"Em ... Ayah aja yang buat," balas Ayah menahanku saat aku hendak keluar dari kamarku.
"Nggak apa-apa, Luna aja," ucapku bangkit dari posisiku lalu berbicara dengan nada sedikit keras.
"Istirahat saja," ucap Ayah sedikit berteriak, kurasa ia sudah berjalan menuju dapur.
Ayah kembali menolak, aku akhirnya menyerah dan membiarkan ayah membuatkan aku jus. Sedangkan aku, kini memilih duduk di sofa sambil mengubah siaran yang ada di tv. Aku menjadi agak bosan, terlebih ayah mengambil pekerjaanku yang ingin membuat jus.
"Ayah, kalau ini kosong apa gak mubazir biaya perawatannya?" tanyaku setelah mengingat niatan kami untuk pindah ke rumah lama yang ayah beli untuk ibu, karena rumah ini memang rumah peninggalan ibu sebelum menikah dengan ayah.
Memang aku ingin menginap di sini sesekali, tapi karena saat ini kami hidup berdua dan juga pasti kebutuhan kami akan semakin mahal jika harus membiayai dua rumah. Aku takut keputusanku malah menyusahkan ayah, meskipun aku juga tidak ingin apartement ini di jual.
Aku mengutarakan pikiranku pada ayah. Lagi pula, kini kami sama-sama untuk mencoba menjadi kekuarga jadi saling berbagi beban bukan hal yang aneh bukan. Ayah mengerti maksudku, namun ayah berkata akan sangat sayang jika kosong dan tidak terawat.
"Memangnya sebaiknya kita apakan?" tanya Ayah menanyakan pendapatku.
Aku berpikir sejenak memikirkan perkaraan ayah tadi meskipun semua di serahkan kepadaku tapi ucapan ayah ada benarnya juga, "sepeetinya kalau ayah nggak masalah, gimana kalau kita kontrakin aja? Uangnya bisa buat biaya hidup kita, sekalian kita tabung."
Aku menyampaikan pikiranku. Sebenarnya ada rasa tidak rela jika rumah ini dikontrakan karena akan otomatis menghilangkan bentuk asli dari rumah ini. Tapi, bagiku masa depan bersama ayah adalah hal yang lebih penting.
"Apa kamu nggak keberatan?" tanya ayah. Aku menggeleng dan tersenyum sebagai jawaban.
"Nanti kita coba sewakan setelah kita mulai pindah besok dan setelah ini sudah bersih, ya," ucap Ayah dan aku mengangguk setuju.
Tingnong.... Tingnong....
"Siapa ya?" ucap Ayah masih sibuk dengan buah yang tengah dipotongnya.
"Biar Luna yang bukain," kataku lalu berdiri menuju pintu.
Aku membuka perlahan pintu memperlihatkan sosok Adrian yang datang dengan memegang tas sekolahku di tangan kanannya, aku menatapnya dalam karena terkejut, ia datang tanpa memberitahuku sama sekali.
"Adrian," ucapku dengan mata membesar karena terkejut dengan kedatangan tiba - tiba Adrian, ia sama sekali tidak memberi tahuku mengenai ia akan datang kemari yang tentu saja membuatku yang melihat dirinya di depan pintu rumahku kaget.
"Ini aku anterin tas kamu. Sama ini ada martabak," ucap Adrian memberikan bungkusan kepadaku, sedangkan tasku masih di bawa oleh Adrian.
"Siapa, Lun?" tanya Ayah yang suaranya mampu terdengar hingga luar.
"Adrian," balasku cepat, lalu mempersilakan Adrian untuk masuk.
"Ajakin masuk dulu, Lun," saut Ayah lagi, membuatku yang mendengarnya tertawa.
Aku tersenyum. "Tuh, udah denger, kan?" ucapku menatap Adrian yang juga terkekeh sepertiku.
Aku mendorong pintu lebih lebar, memberi ruang agar Adrian bisa lewat. Ia melepaskan sepatunya, lalu masuk ke dalam ruang tamu. Aku memintanya untuk duduk di sofa, sedangkan aku duduk di sofa yang ada di seberangnya.
"Apa kabar, Adrian?" tanya Ayah ramah, ia bahkan menepuk lambat pundak Adrian.
"Baik Om, saya mau main sekalian mau balikin tas Luna, Om," jawab Adrian sembari menunjukkan tasku yang dibawa olehnya.
"Balikin?" tanya Ayah yang terlihat bingung melihat tas sekolahku.
Aku yang menyadari jika ayah mulai curiga pun langsung mengambil alih tasku dan mempersilakan Adrian duduk. Aku menatap Adrian dalam, wajah Adrian terlihat bingung ketika ia membalas tatapanku.
"Jangan bilang," ucapku pada Adrian melalui tatapan.
"Tadi, tas Luna sama Adrian kekunci di kelas karena pembersihan di belakang sekolah. Jadi, saat Tante Erly datang Luna minta tolong Adrian buat ambilin tas Luna sekalian. Makanya Adrian anterin sekarang," ucap Adrian berusaha membantuku mencari alasan karena sampai sekarang memang aku belum memberi tahu kepada ayah tentang kejadian kemarin.
Aku menatap Adrian, memberi tanda agar Adrian juga membenarkan ceritaku. Aku tidak ingin membuat ayah khwatir lagi hanya karena aku mimisan. Dulu, saat kecil aku juga sering mimisan, tapi lama-lama hilang sendiri. Kali ini juga aku yakin jika mimisanku akan hilang sendiri.
"Benar itu, Adrian?" tanya Ayah meyakinkan, yang langsung dijawab oleh Adrian sama dengan ucapanku.
"Maaf ya Adrian, Luna sering ngerepotin kamu," ucap Ayah menatap lembut Adrian.
"Nggak apa-apa Om. Lagian Adrian juga kan tasnya ketinggalan jadi sekalian," ucap Adrian dengan ramah.
Aku mengangguk-angguk setuju. Akhirnya aku bisa mengatasi permasalahan yang hampir saja muncul.
Tidak lama kemudian, ayah datang dengan membawa nampan berisi tiga gelas jus pir. Ia meletakkannya di hadapanku dan juga di hadapan Adrian.
"Ini jus pir," ucap Ayah lalu meminum jus yang baru saja ia buat.
"Terima kasih, Om," ucap Adrian sopan.
Aku membuka bungkusan berisi martabak yang tadi dibawakan oleh Adrian.
"Adrian bawa ini," ucapku pada Ayah menunjukkan bungkusan yang tadi di bawa oleh Adrian.
"Jangan repot-repot, kamu ke sini aja Om sudah seneng. Luna 'kan jarang banget bawa temennya."
"Iya, Om," jawab Adrian denhan cengirannya.
"Kalian ngobrol dulu, ya. Om mau buang sampah ke bawah. Tapi jangan macem-macem," ujar Ayah menatap Adrian.
"Siap, Om," ucap Adrian lalu tertawa.
Ayah berjalan ke dapur, lalu mengambil bungkusan sampah yang sudah dipisahkan berdasarkan jenisnya.
"Kenapa diplastikin semua, Lun?" tanya Adrian setelah ayah keluar.
"Mau pindah jauh," ucap Luna dengan senyum yang dipaksakan."
Aku sengaja bilang begitu karena ingin melihat reaksi Adrian. Apalagi aku memang belum memberi tahukan tentang ini pada Adrian. Jadi kurasa Adrian akan bingung dan kaget.
"Seriusan? pindah ke mana?" tanya Adrian cepat, ia terkejut sejak masuk ke dalam rumah, bahkan sedari tadi ia berusaha keras untuk menahan dan tidak menannyakannya di depan ayah.
"Kayaknya ke luar kota atau ke luar negeri."
"Hah? Mendadak?" ucap Adrian dengan ekspresi tidak dapat dijelaskan.
"Mau bagaimana lagi, aku sama Ayah mau mulai hidup baru."
Adrian mengacak rambutnya kasar. Untungnya ia tidak melihat aku yang berusaha menahan tawa karena melihat ekspresinya yang tiba-tiba kaku.
"Kapan pindahannya?" tanya Adrian, namun kali ini dengan wajah dingin.
"Besok pagi," ucap Ayah yang tiba-tiba datang.
Adrian makin membeku, ia terlihat ingin tahu aku pindah ke mana namun menghentikan niatnya mungkin tidak enak karena ada ayah.
"Duduk gih. Om mau cek barang di bawah," ucap Ayah lalu tertawa kecil melihat Adrian yang tercanggung.
Ayah keluar meninggalkan aku dan Adrian yang masih terdiam, kurasa Adrian kesal karena aku yang diam saja tanpa memberi tahunya. Lagi pula, aku tidak memiliki alasan mengapa aku harus memberitahukan Adrian mengenai kepindahanku ini.
Aku mengambil sebuah kertas kecil yang berada dekat buku telepon. Sebuah oenah juga sudah bertanggar di genggamanku, aku mulai menuliskan sesuatu di atas kertas itu.
Terima kasih untuk hari ini, kode
kunci 2 : buku
"Nih," ucapku menyodorkan robekan kertas yang baru saja kutulis.
"Kode lagi?" tanya Adrian dengan tatapan bingung.
"Iya. Semoga cepet ketemu ya hadiahnya."
"Jadi, maksud kamu ini hadiah terakhir dari kamu?" tanya Adrian dengan ekspresi datar yang mampu membuatku juga ikut terdiam.