BAB 14

1373 Words
Tante Erly membangunkanku untuk memakan bubur buatannya, saat sampai apartemen aku langsung tidur di kamar. Tidak terasa saat Tante Erly membangunkanku malah sudah sore, karena dari balik jendela aku melihat langit sudah berubah warna menjadi oranye. Aku menggerakkan badanku sambil mencoba membuka mataku, rasa kantuk yang menyergapku tidak hilang begitu saja. Bahkan sampai tante Erly menutup gorden kamarku, tetap saja bukannya hilang aku malah bertambah mengantuk. Melihat aku yang seakan ingin kembali tidur, tante Erly langsung berjalan menujuku lalu duduk di pinggir kasur. Ia perlahan menarik selimutku sambil terus menguncang tubuhku dan mengajak aku untuk berbicara. "Luna, Tante mau nanya sama kamu," ucap tante Erly lalu masih sambil membangunkanku, mendengar ucapan tante Erly yang terdengar serius aku mencoba untuk mengusir kantuk dan membuka mataku lebar. Aku mengusap mataku sambil menatap ke arah tante Erly, aku juga tengah berusaha untuk menghilangkan rasa kantuk yang masih menyergapku. Entah mengapa belakangan aku jadi mudah mengantuk, padahal biasanya aku kesulitan untuk tidur. "Tapi kamu bangun dulu," ucap tante Erly menarikku setelah aku menjulurkan tanganku, ini kebiasaan yang memang sering kami lakukan. Aku terduduk menatap tante Erly yang juga menatapku, "cuci muka dulu, Tante tunggu di meja makan," ucap tante Erly lalu berjalan keluar kamar. Melihat tante Erly yang menungguku, aku langsung bangit dari dudukku lalu berjalan ke kamar mandi. Tanganku memutar keran lalu aku menangkupkan kedua tanganku untuk menadah air yang keluar sebelum aku membasuhnya ke wajahku. Setelah beberapa kali tangkupan aku merasa sudah lebih segar dan juga rasa kantuku sudah hilang entah ke mana. Aku keluar dari kamar mandi setelah itu lalu berjalan menuju dapur. Tante Erly sudsh duduk di meja makan sambil memainkan ponselnya, aku berjalan lalu duduk di meja makan. Tante Erly melirikku sekilas, "udah gak ngantuk?" tanyanya lalu mengalihkan pandangannya dari ponsel ke arahku. "Udah hilang," jawabku dengan kekehan. Aku menatap mangkuk berisi bubur yang berada di atas meja, semenjak kondisiku entah mengapa sering menurun aku jadi sering makan bubur. Awalnya aku memang menyukai bubur namun semakin lama aku merasa semakin bosan. "Tante tadi mau nanya apa? Tanya aja, Tante," ucapku sambil menikmati tiap sendok bubur yang masuk ke dalam mulutku. Masakan Tante Erly memang tidak pernah mengecewakan. Meskipun bagiku masakan ibu tetap yang terenak, tapi tante Erly pantas untuk mendapatkan posisi kedua masakan terenak. Dulu saat masih tinggal bersama tante Erly dan om Juna aku bahkan tidak pernah merasakan kekurangan makanan, apalagi kecewa dengan masakan tante Erly. Bahkan saat tinggal sendiri aku masih sesekali merindukan masakan tante Erly, itu sebabnya tante Erly sering mengirimkan makanan untukku. "Kenapa kamu sebenci itu dengan ayah kamu, Lun?" Tanya tante Erly. Aku tahu betul jika ia bertanya itu dengan berhati-hati. Aku menghentikan sendok yang akan masuk ke mulutku, aku sendiri terkejut dengan pertanyaan yang diajukan oleh tante Erly. Sungguh, aku tidak menyangka jika ia akan menanyakan itu padaku. "Aku nggak membenci Ayah," ucapku pelan dan juga berhati - hati. Benar, aku tidak membenci ayah. Jika aku membenci ayah, berarti aku mengingkari janjiku kepada ibu. Aku hanya marah kepadanya yang selama ini menghilang dan melupakan tanggung jawabnya pada kami. "Lalu, kenapa kamu seakan belum menerima Ayah kamu?" tanya tante Erly, namun kali ini ia terlihat lebih serius. "Aku ... apakah aku harus menerima Ayah kembali, Tante?" tanyaku kembali kepada tante Erly, karena sejujurnya aku juga masih bingung dengan perasaanku sendiri. Aku melihat tatapan sedih dari wajah Tante Erly yang membuatku juga ikut sedih. Aku sudah berjanji tidak akan membuat Tante Erly sedih, tapi jika ia sedih karena aku, harus bagaimana aku bersikap. "Tante cuma mau bilang, kamu harus mencoba menerima Ayah kamu kembali. Tante yakin kalau Ayah kamu itu orang baik," ucap Tante Erly terdengar meyakinkanku. "Kalau dia baik kenapa dia membunuh orang?" ucapku dengan nada yang cukup meninggi. Aku bahkan tidak sadar sudah membentak Tante Erly. Aku mendengar sesuatu terjatuh. Dari arah belakangku yang mengarah ke pintu masuk, aku melihat ayah membeku di tempat. Aku membesarkan mataku, entah sejak kapan ayah sudah berada di sana karena aku sangat terkejut. "Kenapa Ayah membunuh orang?" tanyaku dingin dan dengan nada meninggi. "Luna!!!" ucap tante Erly tidak kalah tinggi dengan nada ucapanku tadi. Aku terdiam saat Tante Erly membentakku, ini pertama kalinya aku mendengar Tante Erly meninggikan suaranya. Aku takut tante Erly marah kepadaku, tapi aku juga punya perasaan sendiri yang tidak semudah itu untukku menerimanya. Bahkan, saat aku membuat kesalahan saat memasak atau aku lupa sesuatu saat tinggal bersamanya, ia tidak pernah membentak atau marah kepadaku. "Udah, Er," ucap Ayah dengan nada yang rendah, ia bahkan mencoba menenakan tante Erly yang terlihat kesal karenaku. Aku berjalan meninggalkan mereka menuju kamarku, sedikit membanting pintu kamar. Sebenarnya, aku tahu jika aku sudah salah menanyakan hal itu, tapi aku tidak tahu mengapa aku tiba-tiba malah mengucapkan kata sekasar itu. Aku menangis terisak. Aku menyesal berkata begitu kasar. Aku juga tidak ingin, tapi jujur saja aku tidak bisa mengendalikan emosiku. Aku terus menangis, saat akan mencoba berhenti menangis aku malah tidak bisa. Aku mengingat kembali bagaimana selama ini ibu berjuang sendirian, tanpa ada sosok ayah. Bahkan, bertemu ayah sekalipun tidak. Aku menangis, hingga tanpa sadar aku tertidur dan terbangun saat pintu kamarku diketuk. Mataku terasa sakit, aku sangat yakin jika saat ini mataku sangat sangat membengkak karena aku menangis dalam waktu yang cukup lama. "Luna udah ya nak, Ayah gak akan maksa kamu menerima Ayah sekarang. Ayah akan tunggu sampai kamu siap," ucap Ayah dengan bijak, padahal aku melihat jelas ada kekecewaan di wajah ayah. "Iya," ucapku, suaraku serak setelah aku menangis tadi. Aku melihat sosok ayah berdiri tegak dari balik pintu, ia meminta izin untuk masuk yang kujawab dengan anggukan. Ayah mengambil posisi duduk di kasur, ia meraih tanganku "Maafin Ayah, Luna. Ayah memang belum jadi Ayah yang baik untuk kamu. Ayah nggak pernah ada selama ini saat kamu butuhkan. Tapi Ayah mohon Luna, sekali saja biarkan Ayah menunjukkan dan membayar semuanya." Air mata lolos melewati mataku, ayah dengan cepat menghapus ari mata yang turun melewati pipiku. "Ayah tahu kalau Ayah buat kamu sakit, tapi tolong sekali saja beri Ayah kesempatan," ucap Ayah memegang tanganku, ia mengusap rambutku perlahan seperti yang sering om Juna lakukan. Tangisanku semakin kencang, aku bahkan tidak bisa mengontrol diriku sekarang. Ayah meraihku ke dalam pelukannya, memelukku erat. Hangat. Ini hal pertama yang kurasakan. Pelukan hangat dari ayah yang selama ini ingin kudapatkan. "Kenapa Ayah baru datang setelah selama ini? Kenapa tidak sekalipun pernah mengirimkan Luna pesan atau surat?" tanyaku untuk kesekian kalinya, apapun itu setidaknya harusnya aku mendapatkan kabar. Aku berhak untuk itu. "Maaf, Ayah tidak mau kamu menanggung sakit yang lebih." "Tapi itu lebih sakit bagi Luna," ucapku dengan tangis yang makin tidak bisa kutahan. "Jangan nangis lagi ya, Nak," ucap ayah mengusap puncak kepalaku. "Luna ... Luna mau kasih Ayah kesempatan," ucapku sedikit berbisik karena suaraku yang serak, tapu aku yakin ayah dapat mendengarnya dengan jelas. "Beneran, Lun?" tanya Ayah masih dengan memelukku, kali ini pelukannya lebih erat. "Iya," ucapku pelan dengan suara bergetar. "Terima kasih, Sayang. Terima kasih sudah memberikan Ayah kesempatan kedua." Aku membalas pelukan hangat ayah, bahkan air mata yang tidak dapat kuhentikan mendadak dapat berhenti. "Ayah, maaf," ucapku terhenti. "Kenapa? Jangan berubah pikiran ya, Nak." Aku mengangguk. "Ayah kayaknya ingus Luna nempel di baju Ayah," ucapku tertahan. "Ya ampun, udah kamu mandi dulu biar seger," ucap Ayah dengan kekehan kecil dan bukan dengan ucapan marah karena ulahku barusan. Aku mengangguk senang lalu berjalan menuju kamarku, meninggalkan ayah. Baru kusadari jika Tante Erly sudah pergi, aku mengambil ponselku mengirimkan pesan padanya. 17.26 Tante, maafin Luna udah berbuat seperti itu. Luna tadi gak bisa jaga emosi Luna, tolong tante jangan sedih ataupun marah sama Luna. Setekah mengirimkan pesan pada Tante Erly aku mengambil sebuah buku, didalamnya kutulis hal-hal yang terjadi setelah ayah kembali. Sebuah note kuambil, lalu kutempelkan pada selembar kertas dihalaman yang baru. Tanganku bergerak mencurahkan isi kepalaku yang sebelumnya terlalu rumit untuk kupikirkan, tapi mungkin karena aku yang terbiasa menulis menuangkan isi kepala seperti ini membuatku merasa lebih baik. *** Hari ini ayah masak, ia membuat soto. Sama seperti ibu, masakan ayah juga rasanya enak. Apa karena ayah masak dengan hati? Ayah paling peduli saat aku sakit. Pernah aku bangun, melihatnya tertidur di sampingku. Hari ini, hari paling bahagia bagiku. Untuk pertama kalinya aku dan ayah berpelukan. Aku benar-benar bahagia, aku mencoba hidup bahagia dengan ayah yang berjanji akan membahagiakanku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD