Wajah Adrian berubah saat aku mengatakan akan pindah jauh. Dari dalam hati aku tertawa tidak percaya karena Adrian yang langsung percaya saja dengan ucapanku. Ia terlihat serius menatap ke arahku mencari keseriusan dari ucapanku.
Aku memang pindah jauh, tapi tidak sejauh seperti apa yang mungkin kini tengah di pikirkan oleh Adrian, wajah datarnya saja sudah membuatku kesulitan untuk menahan tawa melihat ekspresinya.
"Seriusan, Lun? Ke mana?" tanya Adrian masih dengan ekspresi wajah datar, namun terlihat jelas ia agak terkejut mengenai kepindahanku.
"Jauh dan kayaknya kita nggak bisa ketemu lagi."
Aku menahan tawaku saat melihat Adrian tidak lagi menatap mataku, ia menatap sudut lain. Terlihat jelas saat ia mencoba mengalihkan pandangannya dariku, padahal aku juga tengah berusaha keras agar tawaku tidak keluar.
"Tapi 'kan, udah mau lulus, Lun. Kenapa malah tiba-tiba pindah?"
"Aku nggak tahan," ucapku dengan nada lemah membuat Adrian semakin yakin jika aku tidak berbohong.
Sebenarnya aku memang tidak tahan dengan semua ini, tapi meskipun begitu jika aku pindah semua akan senang mengatakan jika aku menyerah dan juga pindah itu merepotkan.
"Jangan pindah, aku sudah janji bakal jagain kamu, Lun."
"Nggak bisa."
"Apa yang nggak bisa, Lun?" tanya Adrian yang kini terlihat agak bingung
"Nggak bisa. Aku udah capek banget. Siapa, sih, orang yang bisa bertahan kalau jadi aku?" ucapku menaikan nadaku, aku berusaha keras menahan tawaku melihat ekspresi bingung dari wajah Adrian.
Aku melihat Adrian kini kembali menatapku serius sedangkan aku semakin mencoba mengendalikan diriku agar tidak kelepasan tertawa.
"Aku tahu kamu bisa, Lun. Karena kamu memang perempuan yang hebat. Makanya Lun, ayo bertahan sedikit lagi."
Adrian menggenggam tanganku, ia mencoba meyakinkanku dengan segala cara. Ia bahkan menatap dalam mataku, aku menggigit bibir bawahku mencoba menahan tawa melihat wajah Adrian yang nampak kusut
"Tapi aku cape, kamu nggak bakal ngerti secapek apa aku selama ini."
Kulepaskan genggaman tangannya, lalu dengan cepat segera diraih kembali oleh Adrian membuatku sedikit kaget namun masih bisa menutupi keterkejutanku.
"Iya aku tahu, Lun," balas Adrian melemah.
"Tahu apa?" tanyaku menatap Adrian sepersekian detik lalu segera mengalihkan pandanganku sebelum aku tidak bisa menahan tawaku.
"Aku tahu kamu cape," balas Adrian.
"Tapi kamu nggak tahu 'kan?" ucapku dengan nada datar seolah - olah aku tengah kesal padanya.
"Gak tahu apa lagi?" tanya Adrian dengan nada yang makin terdengar pasrah, aku merasa ia mulai menyerah membujukku yang bersikap keras.
Bagiku, berteman dengan Adrian tidak semudah itu. Banyak hal yang aku takutkan terjadi di antara kami, aku kini tengah mencoba mengetahui bagaimana perasaan Adrian jika aku pergi menjauh darinya.
"Kamu nggak tahu 'kan kalo apa yang aku bilang tadi bohong," ucapku lalu tertawa kecil.
Saat aku tertawa, terlihat wajah Adrian yang kesal bahkan ia tidak tersenyum sedikitpun. Ia bahkan melepaskan genggaman tangannya padaku, lalu berganti dengan menatapku kesal.
"Idih, pake ngambek-ngambekan," ujarku meyentuh lengan Adrian dengan telunjuk tapi tidak direspon oleh Adrian.
"Udahlah, aku mau pulang," sahut Adrian lalu berdiri.
"Kok pulang?" tanyaku bingung.
Apa aku sudah membuat Adrian sekesal itu, hingga ia malah ingij pulang sekarang.
"Aku mau pulang," ucap Adrian berdiri dari duduknya.
Aku mulai panik saat wajah Adrian terlihat serius, aku merasa apa aku sudah keterlaluan bercanda padanya.
"Maaf," ucapku lemah masih memegang lengan Adrian, sedangkan Adrian tengah berdiri diam tidak menatapku sama sekali.
Aku menarik Adrian agar kembali duduk. Mungkin dengan terpaksa ia kembali duduk.
"Liat aku," ucapku meminta Adrian namun tetap tidak diikuti oleh Adrian. Ia masih memalingkan pandangannya dariku, membuatku terus membujuknya menatap ke arahku.
"Please," ucapku melemah.
Aku bahkan tidak menyangka jika Adrian bisa semarah itu. Kalau tahu Adrian akan semarah ini, tidak akan aku lakukan kejahilan seperti ini.
"Maafin, ya?" ucapku, kali ini aku benar-benar tulus.
"Bercanda kamu nggak lucu, Lun," ujar Adrian dengan nada datar.
"Maaf," ucapku lagi. Kini aku bahkan tidak bisa membuat banyak alasan karena tidak tahu jika Adrian akan menjadi sekesal ini.
"Hem ...."
"Tapi masalah pindah, aku memang mau pindah."
"Memangnya kamu mau ke mana?" tanya Adrian lagi, kali ini ucapannya mulai lembut seperti biasanya meski masih terlihat jelas wajah kesalnya.
Adrian mulai melembut kepadaku, meski masih dapat dilihat jika Adrian kesal kepadaku. Aku menarik napas dalam, "aku mau pindah balik ke rumah kecilku dulu."
"Di mana? Luar kota?" tanya Adrian lagi, kali ini ia menatap mataku dalam, aku diam beberapa saat tidak menjawab pertanyaan dari Adrian.
"Aku mau pulang," ucap Adrian berdiri dari duduknya.
Aku menggeleng. "Tenang aja, nggak jauh dari sini, kok."
Adrian mengangguk pelan meski tidak menyauti ucapanku selama beberapa saat, tapi setidaknya saat ini Adrian tidak lagi kesal membuat perasaanku lebih baik daripada saat ia marah padaku tadi.
"Berarti kamu nggak jadi 'kan sampe pindah sekolah?"
"Iya, tenang aja."
"Bagus kalau gitu. Ya udah aku pamit dulu, ya. Udah malem, nggak enak."
"Eh sebentar, aku nitip sesuatu buat adik kamu."
Aku meminta Adrian menunggu sebentar, ia menuruti ucapanku lalu aku segera masuk ke dalam kamar. Aku mengambil secarik kertas dan menuliskan sesuatu di atasnya.
Untuk : Rara
Semoga kamu suka, ini hasil kakak nyoba-nyoba.
Setelah itu, aku mengambil note yang baru, hari ini aku akan memberi Adrian petunjuk ketiga tentang hadiahku. Sebenarnya hadiah ini tidak begitu bagus menurutku. Namun karena Adrian menyukainya aku membelinya sebagai hadiah pertemanan tentu saja dengan uang gaji hasilku menulis.
Kode Kunci 3 : Segi empat dari kayu
Aku keluar dengan membawa dua note yang sudah aku buat tadi, lalu mengambil totebag dari dalam lemari.
Langkah kakiku kemudian berhenti di depan kulkas. Aku mengeluarkan tiga dessert box dan satu kotak berisi salad buah yang sudah aku buat.
Semuanya aku masukkan ke dalam papper bag yang tadi kubawa, lalu berjalan mendekat ke Adrian yang dari tadi melihatku.
"Ini, nggak banyak, sih. Semoga suka," ujarku memberikan papper bag di tanganku ke Adrian.
"Ini banyak banget. Ngerepotin, lah," balas Adrian setelah memegang papper bag yang terasa berat.
"Nggak apa-apa," balasku tertawa canggung.
"Makasih, ya. Jadi ngerepotin."
"Ini note kedua, semoga cepet ketemu."
Adrian membaca note yang kuberi tentang petunjuk letak hadiahnya, ia mengacak rambutnya kasar.
"Kapan ketemunya kalo kodenya rancu gitu," balas Adrian sedikit kesal karena kode yang kuberikan tidak memberikan pentunjuk lokasi yang jelas.
"Nanti kode terakhir, aku kasih lokasinya."
"Bener, ya?"
"Iya," balasku dengan senyum diujung bibirku.
"Ya udah, aku pulang deh, udah jam segini."
Adrian melirik jam tangannya, sedangkan aku menatap jam yang berada di dapur. Sudah jam 9 malam, sudah seharusnya memang Adrian kembali.
Aku berdiri bersamaan dengan Adrian, lalu mengantarnya ke pintu. Tepat saat baru saja aku ingin membuka pintu, terlebih dahulu pintu dibuka dari luar oleh Ayah. Adrian langsung berpamitan dengan ayah lalu pergi pulang ke rumahnya.
"Adrian anaknya baik ya, Lun. Dia pacar kamu?"
Aku langsung tersedak saat minum setelah mendengar ucapan ayah.
"Bukan," ucapku sambil terbatuk.
Ayah membantuku dengan memberikanku minum, aku meminumnya perlahan meski masih terbatuk.
"Kalau dia pacar kamu, Ayah setuju."
Aku membelalakkan mataku mematap ayah sedangkan ayah malah tertawa melihatku dan terus mengejekku dengan mengataiku salah tingkah.
"Cuma temen, kok," jawabku jujur. Karena memang saat ini kami hanya berteman dan sedikit akrab mungkin, atau hanya aku saja yang menganggap begitu. Entahlah.
"Pokoknya, kita itu temenan," ujarku melakukan protes karena ayah yang terus membangga-banggakan Adrian.