Cessa dapat merasakan aura ketegangan yang menguar dari tubuh Nino, selama Nino menonton video liputan berita di lokasi di mana dia di temukan.
"Nggak, bukan ini," gumam Nino di akhir video, dan memutarnya ulang untuk lebih meyakinkan diri. Tempat yang dilihatnya melalui layar ponsel Cessa ini agak berbeda dengan tempat yang ada di ingatannya. Lokasi pantai memang sama persis, bahkan sisa-sisa tanda S.O.S yang dibuatnya juga masih tertinggal. Juga ada batu karang besar, tempatnya terakhir kali duduk-duduk kesakitan ditemani oleh Anisya. Hanya saja, bagian batas pantai dengan hutan sangat berbeda. Tidak ada jalan setapak menuju rumah keluarga Yunta, sepanjang garis pantai dipenuhi semak-semak. Seingatnya, tempat itu tak serimba ini.
"Nah, harusnya di bagian ini ada jalan ke rumah keluarga Yunta." Nino menjeda video itu hanya untuk menunjukkannya pada Cessa. "Terus vegetasinya nggak sepadat ini."
"Apa karena angle kamera, ya?" cetus Cessa, berusaha membantu Nino memecahkan kebingungan lelaki itu.
"Enggak, nggak mungkin," gumam Nino mulai panik. Ia lantas keluar dari video itu dan beralih membuka aplikasi mesin pencari, ia mengetikkan namanya dan beberapa detik kemudian tubuh Nino membatu. Nino mendekatkan posel di tangannya pada Cessa, agar gadis itu turut melihat apa yang ditemukannya. "Ini ...." Nino tak sanggup melanjutkan kata-katanya, berharap Cessa akan langsung mengeti dan memberi tahu sesuatu.
"Oh, ini satu-satunya foto penyelamatan kamu yang sempat bocor."
"Ini badan aku diblur karena aku pingsan, kan?" tanya Nino memastikan bahwa yang benar adalah yang ditanyakannya barusan, bukan yang tengah ada di pikirannya sekarang.
"Karena kamu telanjang."
Deg! Cessa memberi Nino jawaban persis seperti yang Nino pikirkan. Walaupun disamarkan, dari warna dan bayangan, masih cukup jelas terlihat bahwa foto orang pingsan di tengah-tengah yang diambil dari ketinggian itu dalam keadaan telanjang. Nino tidak mungkin salah ingat, jelas-jelas saat itu ia memakai baju. Baju yang Damar pinjamkan, lebih tepatnya. Nino tanpa sadar menjatuhkan ponsel Cessa ke pangkuannya, tatapannya mendadak nyalang dan pikirannya kosong. Nino benar-benar tak bisa berpikir, dari mana ia harus mengurai benang kusut yang ada di kepalanya saat ini. Bagaimana Nino harus menjawab semua keanehan yang terjai, baik di sini maupun di pulau itu.
"Ni, Nini, kamu kenapa?" Cessa mengguncang lengan Nino yang tak terbalut perban ketika, lelaki itu tampak meringis memegangi kepala. "Aduh, aku mesti panggil dokter. Tapi di mana, tunggu—"
"Sa," tahan Nino, tepat saat Nino hendak memencet tombol darurat. Saat ini kepala Nino sakit. "Nggak apa-apa, aku cuma bingung."
"Tapi, No ...."
Nino menatap Cessa lemah dan mengedip sekali, meyakinkan gadis itu. Akhirnya, perlahan Cessa duduk lagi di tepi tempat tidur Nino. "Apa yang bikin kamu bingung?" tanya Cessa khawatir lantaran wajah Nino ini pucat.
Nino tak langsung menjawab, ada jeda sesaat yang diambilnya untuk berpikur. "Sa, aku nggak bohong," ujar Nino lemah hingga nyaris menyerupai bisikan. "Di pulau itu, beneran ada penghuninya. Mereka nggak mungkin hantu karena aku bisa melihat dan menyentuh mereka, lagian sejak kapan aku punya indera ke-6 bisa melihat begituan."
Pasti itulah mengapa papanya mendatangkan psikiater kemarin san banyak bertanya tentang keluarga Yunta. Jika semua orang tak bisa melihat di sana ada orang, maka saat ini Nino pasti telah dianggap gila karena menceritakan sesuatu yang 'tidak ada'.
"Sa, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Nino, benar-benar bingung.
"Nini, coba kamu tenang dulu." Cessa mengusap-usap pundak Nino berusaha menenangkannya sebab saat ini Nino terlihat kalut sekali. "Memangnya saat tim penyelamat datang, kamu sedang sama mereka?"
"Aku pingsan waktu itu karena luka sialan ini infeksi, Sa. Aku yakin banget mereka nggak mungkin ninggalin aku dalam keadaan pinsan, jadi mereka pasti masih di sana pas aku datang."
"Apa mungkin kamu mereka melepaskan baju kamu ya sebelum foto itu diambil."
"Lihat, deh, kayaknya ini diambil dari ketinggian sebelum helikopternya mendarat."
"Terus keluarga Yunya itu ke mana ya, waktu wartawan datang? Apa mereka sengaja kabur karena tahu bakal banyak orang yang datang?"
Nino menggelengkan kepala tak tahu. Kendati tak membantu banyak, respon Cessa yang berusaha membantunya memecahkan masalah membuat Nino setidaknya tidak merasa gila karena ada yang mempercayainya. "Sekarang masalahnya bukan ke mana mereka pergi, tapi tempat ini. Tempat di video ini nggak persis sama kayak di ingatanku, aku yakin aku nggak salah ingat. Satu-satunya cara biar aku nggak beneran gila, kayaknya aku mesti memastikan sendiri."
"Maksudnya, kamu mau ke pulau itu?"
"Iya, harus," jawab Nino, sejurus kemudian terdengar suara pintu kamar terbuka. Buru-buru Nino mengangsurkan ponsel Cessa pada sang pemilik, jangan sampai Roni tahu ia baru saja mengakses internet. Membuat Cessa menatapnya tak mengerti, Nino kemudian melempar gelengan samar, isyarat bahwa Roni tidak boleh tahu.
"Ada apa ini? Tumben tenang sekali," komentar Roni melihat Cessa dan Nino duduk anteng, sementara biasanya kalau mereka sudah bersama pasti ada saja keributan yang Cessa ciptakan.
Seakan paham situasi, Cessa mengubah suasana dengan berlagak merajuk sebal. "Papa ih, kan Nini masih sakit. Mau ketawa aja sambil harus megangi perbannya." Cessa melirik Nino, dilihatnya pemuda itu tak bisa menyembunyikan kekakuannya.
"Nah, kalau sudah tahu Nino masih sakit. Sekarang, ayo pergi."
"Sekarang banget, Pa?" Cessa mengedip manis, berusaha menawar diizinkan di sini lebih lama.
"Eh eh, baru juga aku duduk," rajuk Cessa, tak bisa berbuat banyak saat Roni menariknya untuk berdiri dan menyeretnya tanpa memberi Cessa kesempatan untuk pamitan pada Nino dengan benar. "Dadah, Nini. Nanti kalau aku datang lagi, kamu udah harus sembuh, ya. Awas aja kalau enggak."
***
Semakin ramai dibicarakan, pulau kecil tak berpenghuni yang baru-baru ini diketahui di peta tercatat sebagai Pulau Langka itu mendadak menjadi tempat wisata dadakan. Konon katanya telah ada beberapa pengembang yang melirik pulau itu untuk dibangun resort. Namun pemerintah setempat sendiri malah menutup pulau itu dari kunjungan masyarakat dan kini dijaga ketat agar tak ada yang mendekat, dengan dalih menjaga ekosistem agar tak tercemar. Publik menduga pemerintah punya rencana sendiri terhadap pulau tersebut dan ingin mengelolanya tanpa ada pihak ketiga.
Padahal, yang sebenarnya adalah pemerintah pusat yang memberi instruksi untuk menutup pulau itu. Pemerintah setelampat memahami sebab tempat itu merupakan tempat bersejarah baru Presiden Abrawan segingga ingin dijaga.
Malam harinya, usai memastikan Cessa menjauhi rumah sakit tempat Nino dirawat, Roni langsung bergerak menuju sebuah dermaga sepi di mana di sana telah ada satu buah kapal yacht kecil dan 6 orang anak buahnya berpakaian serba hitam yang berjaga di sekitar. Roni sendiri yang memastikan segala hal telah siap baik di sini maupun di ketika tiba di tempat tujuan nanti. Setelah semua aman, Roni mengetuk pelan kaca jendela mobil yang terparkir di dermana. "Semua sudah siap, Pak," lapornya pada Abrawan yang mengenakan topi fedora hitam.
Kaca itu kemudian perlahan naik, dan Roni membukakan pinti untuk sang presiden. Roni pula yang mengawal Abrawan memasuki yacht yang kemudian yacht tersebut membawa mereka menyebrangi lautan dalam kecepatan maksimal selama 3 jam perjalanan hingga akhirnya mereka tiba di pulau Langka.
Bulan purnama di langit memantulkan cahaya, membuat malam di pulau itu tak terlalu hitam. Di sana, beberapa penjaga berpakaian hitam juga telah berjaga. Yacht tak bisa terlalu merapat ke bibir pantai, sehingga agar sang presiden bisa turun tanpa membuat kakinya basah, dua orang pengawal dengan sigap dan siap mengangkat Abrawan menginjakkan kaki di daratan.
"Lewat sini, Pak," ujar Roni, menunjuk satu arah dengan sopan. Sepanjang perjalanan tadi, Roni terus berkoordinasi dengan anak buahnya yang berjaga di pulau sehingga kini saat Abrawan tiba, Abrawan bisa langsung melihat apa yang menjadi tujuan kedatangan mereka.
Namun, Abrawan belum bergeming. Dia memutar pandangan ke sekeliling pantai, melihat tempat di mana Nino bertahan hidup selama hampir 7 hari lamanya.
Setelah merasa cukup melihat-lihat, Abrawan tak membuanh lebih banyak waktu dan segera menggerakkan kaki menuju arah yang ditunjuk Roni. Mereka berjalan sekitar 100 meter hingga menemukan dua orang pria menunggu dengan sekop di tangan masing-masing. Roni lalu memberi isyarat agar dua orang itu bergerak mulai menggali, dan dua penjaga lain ikut membantu agar proses penggalian lebih cepat.
Abrawan melinting tangan ke belakang, melihat dengan tenang medan datar itu sedikit demi sedikit berlubang hingga ditemukan tampaklah kerangka-kerangka manusia bertumpukan di dalam lubang tersebut. Roni rupayanya telah menjalankan tugasnya dengan benar.
Kini tak ada keraguan lagi di benak Abrawan, Damar Yunta memang telah meninggal. Sekarang yang jadi pertanyaan, bagaimana Nino bisa tahu nama itu? Abrawan harus menyelidiki lagi, sebelum percaya bahwa arwah Damar Yunta menyambangi anaknya.
Abrawan tak menghabiskan waktu lama di sana, dia langsung pergi kembali ke yacht.
"Bersihkan semuanya," perintah Abrawan pada Roni, sesaat setelah dia menaiki yacht. Roni menatap anak buah kepercayaannya untuk mengawal langsung presiden, lantaran dia harus tinggal di pulau untuk membereskan sendiri sisa urusan.
Kini yang tertinggal di pulau itu hanya ada Roni dan 4 orang anak buahnya. Dua diantaranya tengah menutup kembali lubang yang baru mereka gali. Roni melangkah mantap, sambil mengambil pistol dari dalam selipan saku celananya lalu mengarahkannya lurus tepat pada salah salah satu penggali.
Dor!