"Hah, orang-orang jahat itu." Hati Eliza terasa mendidih melihat manusia-manusia berpakaian serba hitam itu menggali tanah yang semula tempat berdirinya rumahnya. Di sebelahnya, Alin dan Adrian terengah-engah setelah Alin mengajak Adrian memukul preman-preman itu menggunakan kayu. Tindakan yang tentu saja sia-sia, karena mereka sama seperti berusaha memukul udara hampa. Sementara itu, Anisya meringkuk di gendongan Damar, bocah itu ketakutan lantaran teringat tragedi malam yang merenggut nyawa mereka semua.
Puncak kemarahan keluarga Yunta adalah ketika Abrawan muncul dengan memakai topi fedora, sambil menghisap cerutu dia mengawasi para premannya menggali tanah.
"Dia yang membawa Adik pergi," cicit Anisya takut, begitu Abrawan menunjukkan batang hidungnya. Keluarga Yunta masih bisa mengenali dengan jelas wajah Abrawan kendati 19 tahun telah mengubah fisik lelaki itu. Abrawan hanya tampak lebih keriput, tetapi aura jahatnya sama sekali tak tampak surut. Dia masih seperti Abrawan yang dulu, sorot matanya menyiratkan bahwa dia sanggup melakukan apa saja.
"Dia sudah sangat lama, sepertinya Tuhan takut sama dia makanya nyawanya nggak diambil-ambil," ujar Alin mengelilingi Abrawan yang tentu saja tidak bisa melihat keberadaannya. "Hei, Pak Tua, bagaimana bisa kamu mengangkat anak orang yang telah kamu bunuh? Seorang pembunuh nggak pantas menjadi ayah!"
Eliza dan Damar membiarkan saja Alin memaki-maki Abrawan meski tahu percuma, sebab hanya itu satu-satunya yang bisa mereka lakukan untuk melampiaskan kemarahan yang bergumum selama 19 tahun yang panjang.
Eliza tak bisa menyembunyikan air matanya saat sedikit demi tanah itu tergali dan memunculkan tumpukan tulang belulang serta sisa baju mereka yang belum terurai. Nyawa mereka sebagai manusia sama sekali tidak ada harganya di mata Abrawan. Setelah nyawa mereka direnggut dengan cara keji di dalam senyap, mayat mereka dibuang ke lubang lalu dikubur. Sama sekali tak ada bedanya seperti cara mereka memperlakukan sampah. Mereka mengawasi apa sebenarnya tujuan Abrawan menggali lubang kubur mereka, dan ternyata Abrawan menggali hanya untuk mengubur lagi lalu pergi.
"Apa-apaan itu? Apa dia mengacak-acak rumah kita cuma untuk memastikan kita beneran terkubur di dalam sana atau enggak, gitu?" Alin bertanya-tanya.
"Sepertinya begitu," timpal Damar, sekaligus menjadi suara pertamanya sejak rombongan itu datang. "Mungkin Alden cerita tentang kita dan dia nggak percaya."
"Apa Alden akan baik-baik saja?"
"Semoga," lirih Damar tak berdaya. Dia sungguh merasa payah dan gagak melindungi keluarganya. Ia hanya bisa berharap Alden cukup kuat untuk melindungi dirinya sendiri.
***
Roni baru keluar dari toilet, ketika ia mendengar suara yang cukup dikenalinya itu berbicara samar-samar. Roni ikuti sumber suara itu dalam senyap dan menemukan Rendy, salah satu anak buahnya tengah berbicara dengan seseorang melalui telepon.
"Kirimkan saja uangnya kalau mau acaramu punya berita eksklusif. Ini tentang Presiden, RI-1. Sepertinya ini masih berhubungan sama alasan kenapa pulau tiba-tiba ditutup haha."
Roni mengembuskan napas pendek sambil berdecak dalam hati. Rendy masih terhitung anak baru, tapi sudah seberani ini. Percaya diri sekali Randy, dia pikir dia masih bisa menikmati uang itu. Bahkan sekalipun tanpa menjual informasi, siapapun yang terlibat misi rahasia dengan Abrawan tidak akan bisa pulang. Roni lantas bergeming dari tempatnya saat Rendy Rendy menutup telepon.
Dan, Roni menunjukannya. Satu tembakan Roni mengakhiri hidup Randy dan membuat tiga orang anak buahnya yang lain gemetaran melihat teman mereka mengenggang nyawa, ketakutan menunggu giliran.
"Kalian tahu kenapa saya menembaknya?" tanya Roni, menatap ketiga pria kekar di depannya bergantian. Mereka menatap Roni awas, jaga-jaga sewaktu-waktu Roni menarik pelatuknya. "Itu yang akan terjadi pada kalian kalau kalian nggak bisa menjaga rahasia. Apa yang kalian lihat dan dengar di sini, harus kalian simpan sendiri sampai mati."
"Apa kami juga akan ditembak?" tanya salah seorang, mencengkeram kuat sekopnya seolah bersiap-siap melayangkannya ke kepala Roni.
"Iya, seharusnya begitu." Ketiga orang yang tengah terancam nyawanya itu saling lirik, seakan mengukur kemampuan. Tiga lawan satu. Namun mereka tampak ragu-ragu karena Roni malah menurunkan pistolnya dan kembali menyelipkannya dalam saku. "Fajar, kamu biang ibumu mulai sakit-sakitan dan adikmu masih kecil, kan? Pulang lah, rawat mereka. Dan kamu, Marcus, pacarmu harus jadi kamu nikahi. Ajak dia pindah ke kota yang lebih ramah. Lalu kamu, Ridho, nggak ada kata terlambat buat ngejar gelar. Kamu nggak cocok kerja pakai tenaga seperti ini."
"Ada perahu yang menunggu kalian di depan, di sana nanti akan ada tas untuk kalian satu-satu. Pergilah seolah kalian udah mati. Jangan pernah sekali-kali menampakkan diri atau berani membocorkan apa yang kalian lihat di sini, bahkan ke pasangan kalian sekalipun. Kalian mengerti?"
"Kenapa Bapak nggak membunuh kami juga? Bisa saja setelah kabur kami akan membocorkannya."
Sesaat Roni terdiam, seketika kepalanya mengingat nama-nama yang sudah dia putus usianya demi mengikuti perintah Abrawan. Ya, Roni rela membaluri tangannya dengan darah demi memastikan jalan Abrawan tidak ada penghalang. Satu kursi di neraka telah menanti Roni, kembali membunuh satu atau banyak orang lagi seharusnya tidak masalah. Toh tangannya telah basah oleh darah. Namun, seiring dengan usianya yang makin menua dan melihat anak istrinya hidup dengan baik, Roni ingin anak dan istri orang lain juga memiliki hidup baik.
“Jangan kira kalian saya lepas begitu saja. Kalau kejadian malam ini bocor, kalian menjadi orang-orang pertama yang saya cari. Jangan pikir kalian bisa sembunyi. Jadi, pilih saja. Kalian mau pura-pura mati, atau ikut dikubur di sini.”
“Saya akan pergi, tolong jangan bunuh saya. Saya nggak akan pernah muncul lagi,” sahut Fajar, pemuda perantauan dari pulau lain.
“Saya juga akan pergi, saya nggak mau mati.”
“Saya juga akan pergi, terima kasih sudah memberi kesempatan hidup buat kami,” ucap Marcus sebgai penutup setelah kedua temannya bicara. Ketiganya lalu berlari menjauhi Roni seolah-olah takut Roni akan berubah pikiran.
Lucu, bukan? Bagaimana seorang pembunuh tiba-tiba menjelma menjadi malaikat pengampun. Roni menatap bekas galian yang belum sempurna tertutup. Dia berdiri sejenak di depan galian itu sambil menundukkan kepala. Bukan untuk berdoa karena korban tak butuh doa pembunuhnya, pun Tuhan tidak akan mendengarkan doa seorang pendosa. Dalam hari Roni berjanji akan menjaga Nino, hanya itu satu-satunya yang bisa dia lakukan untuk sedikit meringankan rasa bersalahnya. Walau tetap saja tak ada yang bisa menjaga Nino sebaik orangtua yang melahirkannya sendiri.
Setelah itu, Roni menutup kembali lubang itu dan menyamarkannya menggunakan tumpukan daun-daun kering sebelum meninggalkan pulau itu menggunakan speedboad yang telah menunggu.
***
Nini pikir, setelah pulang hari-harinya akan kembali normal. Namun, ternyata keanehan masih belum mau menjauh darinya. Sebenarnya ada dua hal yang bisa dapat menjawab keanehan ini, yaitu papanya tengah berusaha menyembunyikan sesuatu, baik itu dari publik maupun darinya. Lalu yang kedua adalah Nino lah yang gila.
Semalaman Nino tak bisa tidur memikirkan dari dua kemungkinan itu mana yang lebih masuk akal. Jika kemungkinan pertama, Nino sama sekali tak punya bayangan mengapa dan apa yang berusaha papanya sembunyikan itu. Sekeras apapun Nino berpikir, ujung-ujungnya selalu mengerucut pada satu nama, yakni Damar Yunta. Sementara pada kemungkinan kedua, Nino sungguh merasa dirinya baik-baik saja. Memang, Nino pernah dengar orang yang kejiwaannya bermasalah kebanyakan tidak akan sadar bahwa ada yang bermasalah pada dirinya. Serta cederung mengelak secara defensif.
Maka, Nino putuskan untuk bertanya langsung pada papanya. Tentang mengapa ia belum boleh memegang gadget serta mengapa tidak ada yang memberitahunya bahwa mereka tidak bisa melihat apa yang Nino lihat.
Nino harus menunggu malam hari untuk bisa bertemu dengan papanya, pun dengan Roni yang entah sedang menjalankan tugas apa sampai-sampai meninggalkannya sejak kemarin usai mengantar Cessa pulang hingga baru datang lagi menjelang sore. Bahkan setelah berada di sini pun, papanya masih tampak sibuk menekuri sesuatu di layar tabletnya.
"Pa, kapan aku boleh pulang?" tanya Nino mengawali, setelah maju muncur sejak tadi, takut menganggu pekerjaan papanya.
"Pulang?" Abrawan mendongak sebentar, lalu tanpa terduga dia mematikan tabletnya untuk berpindah duduk di kursi samping ranjang Nino, setelah dia meletakkan tablet itu di atas meja. "Nanti, setelah dokter mengizinkan."
Nino memutar bola mata berlagak malas. "Ayo lah, Pa, aku tahu malah Dokter lah yang nunggu izin dari Papa," balas Nino, dapat membaca situasi. "Aku ingin pulang besok. Aku merasa aku udah sangat sehat."
"Sabar," timpal Abrawan, tersenyum kecil. "Dokter bilang kamu butuh menjalani beberapa pemeriksaan lagi. Papa minta mereka memeriksa seluruh tubuh kamu, nggak boleh ada satu sel pun yang lolos dari pemeriksaan. Papa ingin memastikan kecelakaan itu nggak berdampak buruk ke kesehatan kamu."
"Termasuk pemeriksaan dari Psikiater?" tembak Nino, mumpung papanya menyinggung perihal kesehatan. "Apa Papa berpikir ada yang salah sama diriku?" lanjut Nino dengan pertanyaan dan disertai mimik wajah lebih serius.
"Kenapa kamu berpikir begitu?"
Nino menghendikkan bahu, seolah tak yakin. "Mungkin karena bilang pulau tempat aku terdampar berpenghuni, tapi menurut semua orang pulau itu kosong?"
Pupil mata Abrawan sedikit melebar, namun itu hanya seperkian detik karena setelahnya, Abrwan kembali setenang biasanya. "Roni yang memberitahumu?"
"Apa aku sebenarnya nggak boleh tahu tentang itu?"
"Baik, setelah kamu tahu itu, bagaimana menurutmu?"
Bibir Nino spontan terbuka ingin menjawab, tapi tiba-tiba dia ragu. Akhirnya Nino hanya bisa menghela napas lemah. "Aku nggak gila, Pa."
Abrawan menunduk sesaat sembari tersenyum kecil. "Tentu saja kamu nggak gila. Dokter bilang, kemungkinan itu halusinasi karena kamu berhari-hari sendirian di alam bebas."
"Bagaimana kalau aku yakin kalau itu bukan halusinasi?"
"Bagaimana caranya kamu meyakinkan kami?" balik Abrawan. "Nino, inilah kenapa Papa nggak ingin kamu nonton berita dan akses internet. Supaya kamu yang sedang nggak sadar sedang bingung itu makin bingung. Persis seperti sekarang ini."
"Kalau pulau itu kosong, lalu yang nolong aku, yang rawat dan ngasih makan aku selama di sana siapa?"
"Itu berasal dari imajinasi kamu sendiri. Seolah-olah di sana ada orang, padahal sebenarnya nggak ada siapa-apa."
Sesaat, Nino kehilangan kata-kata. Jadi benar, dirinya yang tidak waras?
Menarik napas panjang, Nino berusaha menenangkan diri sembari mengais sisa-sisa kewarasan di saat dirinya dianggap tak waras. "Kalau begitu, aku ingin Papa cari tahu sesuatu untuk aku," ujar Nino.
"Apa itu?"
"Aku mau Papa cari seseorang bernama Damar Yunta." Ekspresi Abrawan berubah kaku, mengingatkan Nino saat pertama kali ia menyinggung nama itu beberapa hari lalu.
Sebelah sudut bibir Abrawan tertarik sedikit, seperti ingin terlihat santai, padahal itu sama sekali tak bisa menutupi ketegangan di wajahnya. "Dia ... penghuni pulau yang kamu maksud itu?"
Nino mengangguk sekali. "Iya, dia sepertinya sudah lama tinggal ke pulau itu tapi namanya pasti masih ada di catatan sipil. Istrinya bernama Eliza, mereka tinggal di sana bersama tiga anak. Dulunya dia sempat kerja jadi wartawan dan pernah dapat menghargaan dari Presiden Soewandi juga, pasti nggak sulit menemukan jejaknya."
Perkataan Nino membuat Abrawan seolah lupa caranya bernapas untuk seperkian detik. Abrawan selama ini meyakini ada kehidupan setelah kematian, namun dia tak pernah percaya orang mati bisa bersinggungan dengan mereka yang masih hidup. Sialan, pikir Abrawan. Bahkan setelah mati Damar Yunta belum puas memberinya kerepotan.
“Apa lagi yang kamu tahu?” Abrawan ingin mendengar lebih.
Nino menimbang-nimbang, apa yang kiranya harus papanya ketahui. “Dia … sepertinya tahu banyak tentang Papa.”
“Oh ya? Tapi bukannya semua orang yang tinggal di Indonesia tahu siapa Papa?”
“Beda, Pa.” Nino terdiam sesaat untuk mengingat-ingat. “Dia dan keluarganya seperti punya dendam ke Papa. Sewaktu mereka tahu kalau aku anak Papa, mereka sangat marah dan sempat mau ngusir aku.”
“Dia memberi tahu alasan dia benci Papa?”
“Enggak. Nggak tahu kenapa nggak jadi padahal dia bilang mau menceritakan semua ke aku—“ Penjelasan Nino terhenti lantaran papanya tiba-tiba menndenguskan senyum seakan meremehkan pengakuan Nino.
Abrawan lalu menatap Nino, lengkap dengan wajah maklum di wajahnya. “Kalau begitu kamu bisa berhenti membicarakan sesuatu yang nggak ada.”
“Papa—“
“Clevonino,” sela Abrawan dengan sorot mata yang dalam sekejap berubah tegas. “Berjanjilah sama Papa, jangan pernah sekali-kali menceritakan itu ke orang lain selain Papa dan dokter kejiwaan kamu, atau semua orang akan menganggap kamu nggak waras.”
“Aku ngerti, tapi tolong seenggaknya Papa carikan informasi tentang Damar Yunta itu untuk aku. Seenggaknya biar aku bisa tenang.”
“Kamu akan tenang kalau melupakannya,” sambar Abrawan dengan suara setengah membentak, membuat Nino terkesiap tak menyangka. Saling lama dan jarang terjadi, Nino lupa kapan terakhir kali papanya membentaknya sebelum yang barusan ini.
Menyadari kelepasan emosi, Abrawan menghela napas, coba mengontrol diri. “Daripada pusing mencari tahu siapa orang itu, sebaiknya lupakan saja apapun yang kamu alami dalam kecelakaan kemarin, Ngerti?” ucap Abrawan menendaskan tiap silabel kata-katanya. “Jangan merusak nama Papa dengan membuat kehebohan di publik bahwa kalau sampai mereka tahu kamu diselamatkan oleh hantu. Ingat, di belakang nama kamu ada nama Papa. Nggak seperti kebanyakan orang yang mendapatkan nama besar dari keturunan, Papa membesarkan nama Abrawan dengan kerja keras Papa sendiri selama hampir seluruh hidup Papa. Jadi kamu yang beruntung karena punya nama besar karena menjadi anak Papa, Papa mohon sekali jangan rusak nama yang Papa beri.”
Nino menelan ludah serat, bibirnya terkunci rapat tak dapat membalas.
Jadi, segala keanehan ini terjawab dengan kemungkinan kedua. Bahwa Nino lah yang terganggu pikiran dan jiwanya?
Singkatnya, Nino gila?