Arman Abrawan tidak pernah semerinding ini seumur hidupnya. Dia nyaris lupa dengan nama Damar Yunta, saking lamanya lama itu tak pernah terdengar, setelah dia sendiri yang memastikan pemilik nama itu dan segala yang berhubungan tentangnya telah terkubur di masa lalu. Kalaupun nama itu akan terdengar lagi, Abrawan sama sekali tak menyangka bahwa itu akan keluar dari mulut Nino.
Abrawan sedang berdiri menatap jendela sambil memikirkan apa yang salah, dia berada ruangan istirahat khusus untuk keluarga pasien VVIP, mendengarkan perwakilan tim Dokter yang merawat Nino menjelaskan analisis sementara kondisi Nino. Mereka mengatakan akibat berada di udara luar dalam keadaan dehidrasi dan kelaparan, Nino kemungkinan mengalami halusinasi. Nino merasa di pulau itu seolah-olah ada manusia padahal di sana tidak ada siapapun selain dirinya. Alasan itu cukup dimengerti Abrawan, tetapi kenapa Damar Yunta?
Ketenangan ruangan itu pasca tim dokter pergi terusik oleh ketukan pintu sebanyak tiga kali, sebelum kemudian pintu itu terbuka dan Roni masuk melewati celah itu dengan wajah bercucuran keringat dan tangan bergetar. Pria 40 tahunan itu gugup dan bingung bukan main, tak seperti dirinya yang biasanya.
"Sudah kamu pastikan?" tanya Abrawan dengan suara mengalun rendah.
"Sudah, Pak. Dan ehm ...," gumam Roni, kesulitan melanjutkan kata-katanya. "Setelah saya cek lagi, ternyata di pulau itu dulu kami mengubur jasad Yunta dan keluarganya."
"Kamu yakin sudah mengubur dia?"
"Yakin, Pak. Tentu saja. Sesuai keterangan tim yang menemukan Nino, di sana nggak ada penghuni satu pun. Nggak ada rumah seperti yang dikatakan Nino. Saya akan mengecek lagi untuk memasti—"
Bugh! Penjelasan Roni tercekat lantaran tulag keringnya ditendang oleh Abrawan yang berbalik badan tiba-tiba. Dalam sekejap Roni kembali berdiri tegak sembari berusaha tidak menampakkan ringisan kesakitan.
"Jadi maksudmu hantu mereka gentayangan di pulau itu, begitu?"
Roni menunduk dalam. "Saya tahu itu nggak masuk akal, Pak. Saya sendiri sangat kaget dan bingung. Tapi melihat bagaimana Nino bisa tahu nama itu dan kebetulan sekali terdampar di pulau yang sama, mungkin saja ... ehm kita nggak pernah tahu mungkin saja ada hal di luar nalar yang bisa terjadi."
Sekali lagi Abrawan menendang kaki Roni tepat di titik yang sama dengan sebelumnya, kali ini tendangannya lebih keras. "Mungkin saja, kamu bilang?" geram Abrawan emosi. "Berani sekali kamu menghadap dengan sesuatu yang belum pasti. Cari fakta sampai ketemu, aku nggak mau mendengar imajiasimu."
"Pak, ini susah dijelaskan tapi itulah yang terjadi--" Dan, untuk ketiga kalinya Abrawan menendang Roni, masih di titik yang sama, membuat kali ini Roni tak bisa menahan ringisan kesakitan yang dirasakannya.
"Siapkan kapal secepatnya, aku mau melihat sendiri kamu benar-benar sudah mengubur Nyamuk itu," perintah Abrawan.
Dengan patuh Roni menyanggupi dan segera undur diri sebelum mendapat tendangan lagi yang keempat kali.
***
Nino merasa tubuhnya semakin sehat setelah beberapa hari di rawat, ia kini telah bisa bangun untuk duduk dan tidur tanpa dibantu. Nafsu makannya sudah kembali dan ia menjadi kalap selalu ingin makan. Selain kondisi fisiknya, agaknya papanya juga mencemaskan kondisi mentalnya karena kemarin ada psikiater yang mengunjunginya. Psikiater itu mengajukan beberapa pertanyaanterkait kondisinya, apa yang tengah ia rasakan, dan sebagainya. Lalu Nino juga disuruh menceritakan ulang apa saja yang dialaminya dari mulai ia menaiki pesawat hingga akhirnya dirinya sadar telah berada di rumah sakit.
Ia masih dirawat di rumah sakit dengan penjagaan super ketat, sampai-sampai tidak ada yang diizinkan menjenguknya. Beberapa hari ini juga papanya sangat sibuk, dia tak lagi menginap di rumah sakit dan terakhir mengunjunginya kemarin malam, itupun hanya sekadar mampir. Sehingga Nino tak kunjung punya kesempatan untuk bicara banyak dengan papanya, padahal Nino ingin ayahnya mengunjungi atau setidaknya mengirim sesuatu sebagai ucapan terima kasih keluarga Yunta. Ya, meskipun belum tentu keluarga Yunta mau menerimanya mengingat mereka punya sentimen negatif terhadap papanya. Nino bersyukur sewaktu papanya menyatakan bahkan tak pernah dengar nama Damar Yunta, setelah ia sempat kira mereka mungkin punya sangkutan pribadi sebelumnya.
Malam ini, Nino melewati malam di rumah sakit sendirian dengan hanya suster yang mengeceknya beberapa kali. Bahkan Roni pun juga terlihat sibuk.
Nino mengunyah makanannya dengan malas sambil menonton film lewat layar besar TV, tiba-tiba ia kembali teringat dengan keluarga Yunta. Saat ini mereka pasti tengah berkumpul untuk makan bersama. Jika disuruh memilih satu saja hal apa yang Nino sukai dari kehidupan di pulau, Nino akan memilih kebersamaan.
Menghabiskan waktu hampir satu minggu bersama keluarga Yunta membuat Nino sadar bahwa ia sebenarnya membenci kesendirian, selama ini ia tidak pernah menyinggung lantaran keadaan. Keluarganya yang dimilikinya hanya papanya saja, mau bagaimana lagi? Nino tak pernah berani berharap memiliki keluarga ideal di mana ada ayah, ibu, adik, atau kakak seperti keluarga-keluarga lain. Nino sudah mendapat lebih dari apa yang seharusnya dengan Abrawan mau berbaik hati mengadopsinya dan membesarkannya seperti anak kandung sendiri. Jika papanya tidak mengangkatnya sebagai anak, entah kehidupan Nino akan seperti apa.
“Ini, pisang yang kamu mau,” Roni meletakkan piring berisi satu sisir buah pisang di meja, lalu mengambil satu untuk diberikannya pada Nino. “Sejak kapan, sih, kamu suka suka banget sama pisang?”
Nino tersenyum girang menerima pisang itu. “Sejak kenal sama Adrian sama Anisya, mereka suka banget sama pisang.”
“Siapa mereka?”
“Oh, anak-anaknya Damar Yunta. Keluarga yang nolong aku di pulau.”
Ekspresi Roni seketika membeku. Bagi Roni, tidak ada yang bisa menjawab situasi ini sebagai hal mistis yang sampai kapanpun tak akan bisa terjawab oleh data atau logika. Sebab Yunta yang digambarkan Nino persis dengan gambaran seorang pria dan keluargana yang Roni kubur sendiri dengan tangannya atas perintah sang presiden.
Bagaimana Nino bisa terdampar di pulau itu dan bagaimana dia ‘bertemu’ keluarga Yunta, ini pasti lah sebuah permainan takdir yang sungguh sangat mengerikan. Seandainya Nino tahu keluarga Yunta itu siapa.
Hari ini, dua hari telah berlalu sejak Abrawan menyuruhnya menyiapkan kapal untuk pergi ke pulau itu. Namun, mereka belum berkesempatan pergi meski kapal dan segalanya sudah siap. Lantaran banyak yang penasaran tempat seperti apa Nino terdampar dan bisa bertahan, banyak wartawan melakukan liputan ke sana. Roni harus memastikan keamanan pulau itu dari manusia agar dapat menggali kubur keluarga Yunta.
“Bang, apa di luar sedang ramai sesuatu? Kenapa kalian masih larang aku nonton TV dan pegang gadget. Aku selamat dari kecelakaan pesawat tapi kalau begini terus, aku bisa-bisa mati bosan,” adu Nino memelas. Hal semacam itu sering terjadi di masa kecil hingga remaja Nino, apalagi di masa-masa kampanye papanya. Terkadang lawan menyebarkan isu-isu palsu terkait keluarga, dan yang paling sering adalah mempertanyakan asal usul Nino. Banyak yang mengira Nino adalah anak hasil hubungan gelap dan sebagainya. Sejujurnya, Nino berhenti memikirkan asal usulnya sejak ia masih kecil. Sejak ia tahu bahwa ayah angkatnya adalah Arman Abrawan, bisa jadi orangtua kandungnya tak sebaik Abrawan.
Ia ingin segera mendapat ponsel baru untuk mengupdate kabarnya, pasti banyak teman-temannya yang cemas.
"Enggak ada apa-apa, papamu cuma ingin supaya kamu banyak istirahat. Nggak keganggu sama hal lain."
"Ck, aku kan nggak main handphone sambil loncat-loncat."
"Turuti saja, Papamu ingin kamu cepat pulih."
Nino mengembuskan napas pelan, barangkali sampai kapanpun Nino tidak akan pernah berani melawan papanya.
Baru saja Roni duduk, petugas keamanan yang berjaga di luar menghubunginya lewat security earpeace yang menghubungkannya dengan semua petugas keamanan yang bertugas menjaga kamar Nino. Sementara Nino asyik mengunyah buah pisangnya pelan-pelan. Entah Roni mendapat laporan apa hingga membuat wajahnya yang semula santai menjadi tampak kesal.
"Tahan dia, saya turun sekarang," jawab Roni lalu bergegas berdiri.
"Ada masalah?" Nino kendongakkan kepala penasaran.
Belum sempat pertanyaan Nino dijawab oleh Roni, suara ribut-ribut dari depan kamar Nino menginterupsi. Lalu sejurus kemudian pintu itu tebuka, disusul dengan seseorang jatuh terjerembab ke depan.
"Apa-apaan ini? Saya kan sudah suruh tahan!" bentak Roni.
"Maaf, Pak, kami sudah coba tahan tapi ...," petugas itu tidak melanjutkan penjelasannya dan melirik pasrah ke arah seseorang yang lebih tepatnya adalah seorang gadis berambut sebahu itu dengan serba salah.
Masih dalam posisi tersungkur di lantai, alih-alih kesakitan, gadis itu perlahan mengangkat wajahnya sambil menyengir lebar. Tak terlihat merasa bersalah telah menimbulkan keributan. "Hai, Nini."
Tawa Nino hampir menyembur saat gadis itu melambai konyol ke arahnya, tawa itu tak jadi keluar lantaran Roni memberinya lirikan tajam. Dasar, Cessa.
Roni berkacak pinggang saat Cessa bangun. "Hehe, ampun, Pa."
Roni geleng-geleng kepala tak habis pikir, lalu memberi isyarat dua anak buahnya untuk keluar.
Namanya Princessa, anak sematawayang Roni yang umurnya sama dengan Nino. Mereka bersekolah di sewaktu SMA yang sama sehingga Nino dan Cessa terbilang cukup dekat, dan baru-baru ini saja pisah karena Cessa tidak lolos seleksi masuk ke Universitas yang sama dengan Nino. Bisa dibilang Nino tumbuh dan menghabiskan masa kecil hingga remajanya bersama Cessa karena dulu, terutama usia SD, sering kali Nino minta Roni mengajak Cessa ke rumahnya lantaran bosan dikelilingi penjaga dan pelayan di rumah.
"Bagaimana caramu bisa naik ke sini?" selidik Roni, merasa kecolongan. Dia telah memastikan penjagaan sangat rapat dan berlapis, penjaga-penjaga keamanan disebar di luar rumah sakit, serta di akses masuk ke lantai ini. Seluruh lantai ini sendiri telah disterilkan sehingga hanya akan ada Nino yang dirawat di sini.
"Naik lift."
"Cessa!"
Sekali lagi Cessa meringis, memasang mimik wajah memelas agar diberi ampun. "Ya salah Papa sendiri, aku udah bilang baik-baik mau jenguk Nini tapi nggak diizinin. Aku kan khawatir banget sama keadaan Nini."
"Itu nggak berarti kamu boleh datang ke sini seenaknya, kalau Pak Presiden tahu—"
"Kalau Papa tahu, aku akan bilang aku lah yang minta Cessa ke sini." Nino tersenyum lebar, sementara Cessa bersorak senang, dan Roni menatap Nino tak habis pikir.
Dalam sekali sentak, Cessa langsung berdiri dan berlari kecil menghampiri Nino. "Nini ... aku senang banget kamu nggak jadi mati." Cessa memeluk Nino sangat erat. "Aku berdoa terus pagi, siang, sore, malam biar biar kamu cepet pulang. Tuhan masih sayang sama aku karena doa aku dikabulkan."
"Yang doain Nino bukan kamu aja," sambar Roni jengah melihat tingkah anaknya sendiri.
"Bodo, pokoknya aku senang sekali Nini masih balik hiks." Pelukan Cessa makin erat bersamaan dengan suaranya terdengar sengau seperti menangan tangis.
Nino tertawa kecil dan menepuk-nepuk pelan punggung Cessa. "Aku mungkin akan mati kehabisan napas kalau kamu peluk sekencang ini."
Sedetik kemudian Cessa langsung melepaskan pelukannya dan bertanya panik, "mati? Kamu sesak napas? Sakit? Ya ... Jangan mati, dong," rancau Cessa sambil berderaian air mata.
"Cessa, berhenti bertingkah konyol!" tegur Roni lumayan tegas.
Cessa mengembuskan napas pendek dan ringisan tawanya berhenti saat itu juga. Gadis itu mengerucutkan bibir sebal pada sang ayah. "Papa sendiri juga konyol. Udah dibilangin, aku tahu diri nggak mungkin naksir Nini, masih aja curiga terus dan ingin menjauhkan kami. Nini-nya sendiri senang-senang aja kok ada aku, iya, kan, Ni?"
"I—iya."
"Tuh, kan," balas Cessa menyeringai puas.
Tepat saat Roni ingin menyudahi kegilaan anaknya, teleponnya berdering. Sebuah telepon masuk dari kontak penting dan harus segera dijawab. Sesaat Roni menoleh pada Cessa lagi. "Kamu bisa ngobrol sebentar sama Nino, tapi begitu Papa balik setelah angkat telepon ini, kamu harus ikut Papa pergi."
"Ak—"
"Nggak ada bantahan," potong Roni seketika membuat Cessa mengatupkan bibirnya rapat dengan masam. "Dan lepaskan cubitanmu itu," ujar Roni terakhir sebelum beranjak keluar meninggalkan kamat rawat Nino.
Cessa meringis dan melepaskan cubitannya di paha Nino, dia terpaksa melakukan itu agar Nino mendukungnya dengan bilang 'iya'. "Ih, kok kamu jadi jelek, sih? Kurus, gosong." Alih-alih minta maaf, Cessa malah mengejek Nino.
Namun, yang diejek terlihat tak tersinggung, kendati bibirnya mencebik berlagak seolah kesal. "Orang kalau dari sananya udah ganteng, nanti juga ganteng lagi," balas Nino percaya diri. Nino sempat terkejut dan nyaris tak mengenali dirinya sendiri ketika ia pertama kali bisa jalan ke kamar mandi dan bercermin di cermin lebar wastafel. Perasaan selama di rumah keluarga Yunta, fisiknya tetap seperti dirinya bercermin terakhir kali. Tapi di cermin rumah sakit, refleksi dirinya tampak kurus dan kulitnya gelap terbakar matahari. Ia tak percaya tubuhnya sekurus itu karena selama di rumah keluarga Yunta, ia selalu makan dengan teratur. Hingga Nino ingin membuktikan sendiri dengan minta dibawakan timbangan, dan benar saja berat badannya berkurang hingga 11 kilogram dan itu didukung dengan hasil pemeriksaan dokter yang menyatakan ia kelaparan.
Entahlah, Nino masih sulit percaya. Ia pikir keanehan hanya terjadi di pulau dan keluarga Yunta saja, ternyata setelah pulang pun masih ada beberapa hal yang membingungkan. Perubahan fisik dan hasil pemeriksaan dokter tentu hanya salah satu, keanehan lainnya.
"Iya juga, sih," balas Cessa, tak bisa mengelak ketampanan alami seorang Clevonino Abrawan. "Eh, tapi kamu beberan nggak apa-apa, kan, Ni? Aku nekat mempertaruhkan nyawa dan status kartu keluarga demi kami karena kabar kamu kayak dirahasiakan banget sama Istana." Bukannya menjawab, Nino malah tergelak, menertawakan kalimat berlebihan Cessa. Dengan sebal, Cessa menepuk paha Nino. "Ih, serius, Nini. Berita tentang kamu tuh nggak ada sama sekali. Media cuma melaporkan kamu udah ditemukan dan sekarang sedang dirawat, udah."
"Masa, sih?" Nino balik tanya, masih setengah tertawa. Kalau sudah bersama Cessa, Nino tidak pernah tidak tertawa. Mulut ceplas-ceplos gadis itu yang menurut banyak orang menganggu, bagi Nino justru sangat lucu. Karakter Cessa mampu mengimbangi Nino yang cenderung diam dan tenang.
"Iya, Nini," jawab Cessa geregetan. "Padahal di sosial media, semua oranh penasaran gimana kamu bisa bertahan selama seminggu di pulau yang nggak ada penghuninya," jelas Cessa.
"Kata siapa pulau itu nggak berpenghuni?"
"Lah? Memangnya ada penghuninya?" Nino menganganggukkan kepala mengiyakan, dan itu membuat Cessa mengerutkan kening bingung. "Yang benar? Tapi di berita katanya nggak ada penghuninya."
"Media memberitakan begitu?" Kali ini giliran Cessa yang mengangguk, dan gantian Nino yang mengerutkan kening bingung. "Kenapa, ya? Apa tim yang menyelamatkan aku nggak rilis keterangan?"
"Ya berita itu berdasar press conferance tim penyelamat, Nini. Kan mereka yang ada di lokasi."
"Kenapa mereka menutupinya, ya?" Nino balik bertanya-tanya. "Ah, mungkin keluarga Yunta yang minta keberadaan mereka nggak disebut."
"Siapa keluarga Yunta?"
"Penghuni pulau yang aku bilang itu, mereka yang menyelamatkan aku. Mereka udah lama tinggal di pulau itu dan kayak sengaja ngejauh dari peradaban. Mungkin mereka sebenarnya sedang dalam pelarian makanya mereka nggak ingin keberadaan mereka disebut sebagai penyelamatku," pikir Nino.
Bukannya terurai mendengar pejelasan sekaligus analisis Nino, kerutan di kening Cessa makin berlipat-lipat. Menandakan bahwa dia makin bingung. Melihat itu, Nino kembali tergelitik tawa. Ia mengulurkan telunjuk tangannya menyentuh pusat kening Cessa yang berkerut sambil menatapnya teduh. "Apa, sih, yang kamu bingungin, hmm?"
"Nini, ih. Suka iseng, deh." Cessa terkesiap dan menepis tangan Nino. Ia berdehem mengatasi salah tingkah, tapi tak terlalu membantu karena pipinya jelas-jelas memerah. "Kan aku deg-degan. Nanti kalau aku nekat jatuh cinta sama kamu, kan, repot. Ih ih, malah senyum-senyum sok ganteng." Cessa menangkup kedua pipinya yang kian memanas. Ucapan Cessa yang terlalu blak-blakan membuatnya terlihat seperti bercanda tapi serius.
Senyum Nino melebar dari telinga kiri ke telinga kanan, merasa tingkah Cessa sangat lucu. "Terus aku mesti gimana? Masa senyum aja salah."
"Lanjut bahas yang itu tadi aja, deh. Si keluarga Yunta itu. Nggak pengertian banget jadi orang," dengus Cessa di ujung kalimatnya. Inilah alasan mengapa Roni sangat melarang Cessa terlalu sering menemui Nino, karena keduanya telah telanjur terlalu dekat. Jika ada orang asing yang melihat mereka bercengrama, pasti mereka akan mengira di antara Cessa dan Nino ada apa-apa. Roni berusaha menjaga batasan yang tak boleh anaknya lewati. Lagipula, Cessa sendiri juga tak berani melangkah terlalu jauh. Ia dan Nino seolah sama-sama tak ingin membuat hubungan mereka canggung kalau ada salah satu yang melangkah kejauhan.
"Ya itu tadi kayak yang aku bilang, mereka mungkin sengaja minta keberadaan mereka dirahasiakan."
"Masalahnya, Nini, ada beberapa wartawan yang meliput langsung lokasi kamu ditemukan. Mereka meliput masuk ke pulau itu bawa penjelajah hutan buat lihat kondisi di sana gimana, ada nggak yang bisa kamu makan. Dan dari yang aku tonton, pulau itu beneran kayak belantara dipenuhi semak-semak. Kayak nggak mungkin banget ada penghuninya."
Nino terdiam sesaat, baiklah ini semakin aneh. Nino menegakkan badan dan menatap Cessa. "Pinjam handphone-mu."
Jika keanehan tak berhenti di pulau dan bahkan mengikutinya ke kehidupannya yang dulu normal, mungkin saja yang aneh sebenarnya adalah diri Nino sendiri.