Kamal Arifin tampak tidak ragu saat Nino menjawab dari internet lah ia menemukan naman nama Alden, lantaran Nino tak menemukan alasan lain. Ia tidak mungkin mengatakan jujur bawah ia mendengar nama itu beberapa kali dalam obrolan keluarga Yunta sebelumnya tanpa benar-benar tahu siapa dia.
Situasi yang tengah dihadapi Nino saat ini adalah ibarat mengetahui satu informasi baru, muncul seribu pertanyaan baru. Jika Damar memiliki empat orang anak, lalu di mana anak keempatnya yang bernama Alden itu?
Apa mungkin Alden Yunta masih hidup?
Sayangnya, Kamal tidak mau menceritakan lebih banyak dan malah mencurigai motif sebenarnya Nino penasaran dengan siapa Damar serta mengapa papanya tidak layak menjadi pahlawan. Nino cukup mengerti, bagaimana pun juga ia dikenal sebagai anak Abrawan. Terlebih dengan segala yang telah terjadi serta segala kecurigaan negatif yang diarahkan pasa papanya, ditambah lagi Nino tidak dapat memberi alasan mudah diterima. Lalu, saat tadi Nino bertanya kenapa Kamal masih menyuruhnya masuk padahal tidak bisa mempercayai Nino, Kamal menjawab agar Nino tahu cerita dari sudut pandang mereka karena selama ini tidak pernah ada orang yang mau bertanya atau sekadar mendengarkan. Meski entah pada akhirnya itu akan didengarkan oleh Nino atau hanya akan dianggapnya sebagai angin lalu.
"Oh, ada tamu?" seorang wanita berumur yang Nino tebak adalah istri Kamal itu datang saat Kamal mengantar Nino yang akan pergi di teras.
Nino mengangguk sopan, menyapa wanita itu. Ditilik dari pakaiannya, sepertinya istri Kamal juga baru kembali dari rumah duka Edi. Seolah baru teringat sesuatu, Nino urung langsung pergi. "Tentang karyawan baru bernama Sisca itu, di mana dia sekarang?" tanyanya.
Lagi-lagi Kamal hanya memberinya senyuman beragam makna. "Dia sekarang sangat dekat dengan ayahmu. Presiden menjaga dia dengan sangat baik."
Nino mengernyit tak mengerti, tapi dia sadar kalau Kamal tidak berniat menjelaskan. Sehingga Nino pun hanya menganggukkan kepala, paham. "Terima kasih untuk waktunya, Pak. Suatu saat nanti, saya mungkin akan ke sini lagi," ujar Nino, sekali lagi mengangguk sopan.
"Tunggu ... kamu ....," ucap Istri Kamal menganggantung sambil menunjuk wajah Nino, sehingga Nino menahan langkahnya. Istri Kamal mengerejap beberapa kali dan sampai mengatur letak kaca matanya tengah mengenali wajah Nino, seolah-olah pernag bertemu dengan Nino sebelumnya. "Kamu siapa, Nak? Kenapa kamu mirip sekali sama—"
"Bukan mirip, dia memang anaknya Presiden yang bulan lalu selamat dari kecelakaan pesawat setelah seminggu hilang," sela Kamal.
Nino hanya tersenyum. Jika dulu ia hanya dikenal sebagai anak Abrawan oleh kalangan pendukung papanya, kini seluruh negeri tahu siapa dirinya. Si pemuda ajaib yang lolos dari tarikan cerobong maut. Nino lantas meninggalkan rumah Kamal.
"Dia siapanya Damar? Kenapa ...." Suara Istri Kamal tak dapat Nino dengar utuh lantaran keburu mereka menutup pintu. Sesaat Nino menoleh ke pintu tersebut, bertanya-tanya dalam benaknya, apa Istri Kamal tahu bahwa keberadaannya di sini menyangkut tentang Damar hanya dengan mendengar nama Sisca disinggung? Mengingat dalam percakapan singkatnya sama sekali tak ada nama Damar tercetus.
Nino menggelengkan kepala pelan, engan memusingkan masalah tersebut. Kini, ia harus mencari tahu siapa Sisca dan menemuinya. Nino sama sekali tak ada bayangan seseorang ketika Kamal mengatakan Sisca berada sangat dekat dengan papanya.
Di dalam mobil, Nino tak sabar untuk segera mencari tahu kasus pelecehan yang dilakukan Damar tersebut. Ada beberapa artikel yang dapat ia temukan, namun kesemuanya menyamarkan identitas korban dengan nama samaran 'Mawar'. Nino mengembuskan napas panjang, tentu saja jalannya tidak akan semudah ini.
***
Nino berdiri di depan sebuah bangunan rumah tua yang telah lama tak dihuni, tapi masih terjaga. Hal itu terlihat dari rumput-rumput di depan rumah yang terpangkas, kendati seluruh eksterior bangunan telah usang dan rusak dimakan waktu. Meski begitu, Nino langsung bisa mengenali bangunan di depannya itu dalam sekali liat. Rumah siapa lagi jika bukan rumah Damar Yunta.
Rumah ini masih berada di lingkungan sama dengan rumah Edi dan Kamal. Menurut Kamal, mendiang Edi lah yang selama ini menjaga rumah ini. Setidaknya sebulan sekali, dia akan merapikan rumput-rumput liar, Edi pula lah yang memasang pagar di depan rumah agar tak sembarang orang bisa masuk sebab pernah ada yang melakukan vandalisme dan bahkan sembat dijadikan tempat berjudi. Di lingkungan perumahan, rumah ini dikenap sebagai rumah hantu sehingga tak ada yang berani mendekat. Warga yang telanjur benci dengan Damar Yunta sempat mengajukan petisi agar rumah tersebut dibongkar, tetapi berkat Edi, rumah tersebut masih berdiri. Saat Kamal menyuruhnya mengikuti jalan, dia bilang Nino akan menemukan rumah kosong. Saat itu Nino sudah tebak kalau rumah itu adalah rumah keluarga Yunta.
Tampak luar bangunan rumah ini sama persis dengan bangunan rumah keluarga Yunta di pulau. Kini Nino mengerti mengapa rumah keluarga Yunta kuno dan jam di rumah itu tak bisa bergerak, berhenti di jam dua yang entah siang atau malam.
Melihat bangunan itu lama-lama, Nino jadi kembali teringat kebersamaannya dengan keluarga Yunta di rumah yang selalu terasa hangay itu. Setiap pagi hari, ia tidak dibangunkan oleh suara dering alaram, melainkan oleh aroma masakan Eliza. Lalu ada Damar yang memanggil semua orang untuk sarapan, hal sama seperti yang Damar lakukan pada anak-anaknya. Suasana meja makan pasti akan sangat ribut oleh pertengkaran Alin dan Adrian, dan kemudian ada Anisya yang begitu melihatnya pasti akan mengucapkan selamat pagi dan dengan nada manis menanyakan apa Nino tidur nyenyak. Nino menghela napas panjang, Nino sangat merindukan suasana itu.
Sungguh, apa yang sebenarnya terjadi pada keluarga ini
Tanpa terasa Nino menghabiskan tiga puluh menit hanya untuk menatap rumah keluarga Yunta, itupun sadarnya setelah menerima telepon dari Cessa yang menanyakan di mana keberadaannya. Cessa mengeluh lapar dan ingin Nino mentraktirnya makan. Hal itu sudah biasa bagi mereka. Berhubung tidak ada lagi yang harus Nino lakukan, ia pun mengiyakan ajakan Cessa dan sepakat untuk bertemu langsung di restoran yang tentu saja ditentukan oleh Cessa sendiri.
Jalanan yang Nino lewati padat merayap padahal saat ini belum masuk jam-jam sibuk, mungkin sedang ada razia kelengkapan surat kendaraan atau mungkin juga terjadi kecelakaan lalu lintas di depan sana. Nino sempat mengabari Cessa bahwa dirinya akan sedikit terlambat.
Nino menghela napas panjang dan kembali fokus ke jalanan, saat itulah matanya melihat reklame raksasa seorang wanita umur sekitar 40-an awal yang Nino ketahui sebagai seorang anggota DPR aktif yang bernaung di partai yang sama dengan papanya. Reklame itu selain berisi foto sang anggota DPR, berisi pula kampanye kesadaran terhadap pelecehan dan kekerasan seksual. Terdorong oleh firasat, Nino lantas menepikan mobilnya dan membuka mesin pencari lalu mengetikkan nama Sisca Kurnia di sana.