Foto yang dilihat Nino di dinding itu hanya salah satu foto, Nino menemukan lebih banyak potret Damar Yunta ketika kakek itu memberinya sebuah album foto. Kakek tersebut memperkenalkan diri sebagai Kamal Arifin, dulunya dia adalah pimpinan redaksi Sinar Terang Media sebelum perusahaan tersebut bangkrut, maka tak heran jika dia mengenal Damar Yunta dan Edi Usman. Dan bahkan tinggal di lingkungan yang sama dengan Edi.
Nino membolak-balik album foto yang tampaknya memang dikhususkan sebagai wadah kenangan di semasa Sinar Terang Media masih berjaya, pasalnya hampir semuanya diambil di tempat kerja.
Nino berhenti membalik cukup lama setiap kali menemukan foto Damar Yunta, cukup banyak, beberapa foto tersebut pernah Nino lihat di rumah keluarga Yunta yang ada di pulau. Salah satunya adalah foto ketika Damar menerima penghargaan di Istana Negara.
"Bagaimana kamu tahu tentang Damar Yunta?" tanya Kamal, setelah memberi Nino waktu cukup untuk melihat-lihat potongan kenangan dalam album foto tersebut.
"Nggak sengaja waktu saya menemukan artikel tentang Papa saya yang dia tulis tahun 2002," jawab Nino bohong. Ia telah memikirkannya tadi sewaktu Kamal menyuruhnya masuk, ia sudah duga dan wajar sekali memang jika dia bertanya demikian mengingat tahun Damar Yunta menghilang adalah tahun yang sama dengan ia dilahirkan.
"Bagaimana dengan Edi?"
"Saya dengar, belakangan Pak Edi sering mendemo Papa. Beliau datang ke acara-acara publik yang Papa hadiri buat merentangkan poster dan protes. Saya pikir ... saya bisa mencari tahu sesuatu dari beliau. Sayangnya, sebelum saya bisa menemukan keberadaan Pak Edi, beliau ternyata sudah keduluan meninggal, apalagi beliau sempat menyinggung masalah tragedi kelaparan yang ditulis Damar Yunta itu."
Kakek Kamal mengangguk-angguk mengerti. "Mereka bilang, Edi kena serangan jantung," gumam Kamal. "Sebuah sebab sempurna untuk mengubur kematian seorang pahlawan yang seperti kamu bilang, belakangan ini dia secara frontal mendemo Presiden. Tapi siapa yang tahu itu murni serangan jantung atau penyebab lainnya. Semua bisa terjadi di Negara ini, termasuk dipenjara hanya karena membentangkan poster memprotes Presiden. Padahal, Edi melakukannya sorang diri. Tidak ada aksi anarkisa ataupun menyerang nama baik Presiden, tahu-tahu Edi dijemput oleh pihak polisi dan tidak pernah pulang lagi setelah itu," ungkap Kamal, lalu dilanjutkan dengan perjuangan keluarga Edi yang telah berusaha untuk mengeluarkan Edi seperti dengan mencari pengacara andal. Namun, belum juga mereka melakukan langkah pertama, Edi keburu meninggal dunia. Akan lebih baik seandainya jenazah Edi dilakukan, agar diketahui secara pasti apa sebenarnya penyebab kematian Edi. Sayangnya, keluarga Edi menolak. Mereka barangkali mengira bahwa seseorang masih bisa merasakan sakit meski nyawa telah terangkat.
Nino merinding, rupanya hal semacam itu memang terjadi dan bukan sekadar narasi yang dikembangkan pihak-pihak yang skeptis dengan kinerja pemerintah, termasuk kinerja kepolisian di antaranya. Tampaknya, Nino terlalu lama tinggal di dalam sangkar emas sehingga ia tak pernah tahu realita di luar sana berbeda dengan apa yang selaa ini diketahuinya.
"Jika Pak Edi mengetahui sesuati tentang kejadian tahun 2000 itu, mengapa baru sekarang dia bersuara? Maaf, barangkali saya lah yang baru dengar."
"Kamu benar, Edi selama ini memang diam," jawab Kamal. "Karena dia takut. Apa nggak mau ambil resiko jika apa yang terjadi pada Damar dan keluarnya, akan menimpa dia dan keluarganya juga."
"Lalu apa yang membuat beliau tiba-tiba ingin bersuara?"
Sesaat, Kamal hanya diam lalu menatap Nino. "Mungkin karena dia tidak tahan lagi. Dia bilang, dia merasa bersalah karena nggak melakukan apa-apa untuk membantu Damar. Sembilan belas tahun sudah berlalu, dan Damar Yunta masih belum diketahui keberadaannya di mana dan nasibnya bagaimana. Semoga saja, dia menjalani kehidupan damai di mana pun dia berada."
Nino mengatupkan bibir, mencegah agar jangan sampai keceplosan menyinggung tentang pertemuannya dengan arwah Yunta beserta keluarganya. "Mereka pasti telah tenang tanpa gangguan orang-orang," timpal Nino, tidak sadar bahwa jawabannya cukup ambigu.
Untungnya, Kamal tidak terlalu menghiraukan sebab dia lebih penasaran dengan hal lain. "Selesai bicara tentang Edi. Kembali ke tujuan awalmu, apa yang membuat kamu penasaran dengan berita kelaparan itu?"
Perlahan, Nino menutup albun foto itu lalu meletakkannya dengan hati-hati di atas meja. "Apakah yang diklaim Pak Damar itu benar? Bahwa ... Papa saya mengkorupsi dana bantuan sosial hingga menyebabkan kematian masal warga?" tanya Nino langsung pada intinya.
"Menurutmu sendiri bagaimana?" Ada sebaris senyum tak jelas maknanya di bibir Kamal, antara dia sedang menilai dan menertawakan. "Jangan katakan sesuatu seperti nggak mungkin, kamu kenal papamu, atau sebagainya. Dengan kamu datang ke sini sebenarnya kamu ada kecurigaan kalau apa yang Damar tulis itu bisa jadi adalah kebenaran. Benar, bukan?"
Senyuman lemah Nino menandakan bahwa ia tidak bisa mengelak. "Jadi, itu benar?" Nino tak sabar mendapatkan jawaban pasti.
Namun, Kamal menggeleng kepala pelan. "Sampai saat ini berita itu masih sebatas kecurigaan Damar, sampai saat ini belum ada kesaksian maupun bukti autentik yang bisa membuktikan. Terakhir yang kami dengar, dia sudah menemukan asisten Abrawan yang melarikan diri membawa bukti-bukti itu dan dia sedang menyiapkan artikelnya bersama dengan Sisca, anak baru yang ada di bawah bimbingan dia. Tapi kamu mungkin sudah tahu, entah bagaimana tiba-tiba dia kepergok melecehkan Sisca. Dan ya, itu adalah hari terakhir dia sebelum kebur, padahal dia janji ke saya akan mengirim draft artikel yang dia tulis malam itu juga, begitu dia dan Sisca menyelesaikannya, untuk ditinjau supaya besok pagi langsung bisa terbit. Jadi, hanya Damar dan Sisca yang punya jawabannya dan menurut Sisca malam itu Damar menyuruhnya membuat bukti palsu, singkatnya Sisca nggak mau, lalu Damar melakukan itu."
"Anda sepertinya belum bisa melupakan kejadian itu," ujar Nino, lebih ke tak tahu bagaimana haus menyikapi pemaparan panjang dan runtut dari Kemal tersebut. Dibilang lega, tidak. Dibilang makin curiga juga tidak terlalu.
"Tentu saja, saya masih ingat semuanya dengan jelas. Damar adalah wartawan kebanggaan perusahaan kami, dia suami dan ayah empat anak, kami semua nggak ada yang percaya dengan semua tuduhan-tuduhan yang bertubi-tubi dilayangkan padanya."
Nino mengangguk-angguk mengerti, lalu sesaat kemudian tersadar akan sesuatu. "Tunggu, empat orang anak? Bukankah anaknya cuma tiga?"
"Anaknya empat orang," jawab Kemal yakin. "Anak terakhirnya baru lahir beberapa hari sebelum dia menghilang."
Nino mematung. "Apa ... anak terakhirnya bernama Alden?"
Giliran Kemal lah yang mematung dan membeliakkan mata terkejut. "Dari mana kamu tahu? Belum ada yang tahu nama itu karena dia belum mengadakan syukuran kelahiran dan pemberian nama."
Alih-alih menjawab, Nino bertanya lagi. "Di mana Alden sekarang?"
"Apa maksudmu?" tanya Kemal keheranan. "Tentu saja Damar membawanya pergi juga. Siapa kamu sebenarnya? Sepertinya kamu tahu banyak tentang Damar."