29

1333 Words
Nino mengerejap cepat, tersadar dari lamunan kosongnya saat Cessa mengetuk meja di depan mereka. "Kamu cuekin aku!" rajuk gadis itu mengelembungkan pipi lantaran sebal, yang justru membuatnya tampak lucu meski Nino tahu Cessa sengaja melebih-lebihkan. Nino tersenyum kecil. "Maaf," jawabnya. Mereka baru saja selesai makan, lebih tepatnya Cessa lah yang makan dan Nino hanya memperhatikannya sambil sesekali minum dan mendengarkan Cessa berceloteh hal-hal tak jelas. Lalu ada satu ketika yang tak Nino sadari, tiba-tiba pikirannya kosong. Terlalu banyak hal terjadi serta sangat banyak informasi mengejutkan yang diketahuinya dalam kurun waktu singkat ini membuatnya bingung bagaimana ia harus mengolah dan mengatasinya. Ia merasa tidak bisa melewati ini sendirian, tetapi ia tak tahu harus percaya pada siapa. Rasa-rasanya semua orang adalah mata-mata sekaligus tangan ketiga papanya. "Mikirin apa, sih?" tanya Cessa masih bernada sebal. "Aku sekarang lagi mikir, gimana caranya bisa balik ke pulau Langka." "Maksudmu, pulau tempat kamu terdampar?" Cessa memastikan dan dijawab anggukan kepala oleh Nino. "Nggak mungkin bisa. Gimana caranya, coba? Papamu nggak mungkin kasih izin." Nino tersenyum lemah. "Iya, kan?" gumamnya sedih. Ia pikir, bertanya langsung pada Damar Yunta pasti akan menyelesaikan segalanya. Nino selalu memikirkannya, barangkali 'sesuatu' yang akan Damar beri tapi tak jadi waktu itu adalah menyangkut masalah ini. Namun, sepertj kata Cessa, bagaimana caranya? Setahu Nino sampai saat ini pulau itu masih dijaga oleh kepolisian laut setempat. Melihat bagaimana mereka sangat menjaga pulau itu membuat Nino makin merasa memang ada yang papanya sembunyikan di sana. Dugaan Nino saat ini, mungkin saja jasad keluarga Yunta terkubur di satu titik di pulau tersebut. Namun, terlalu dini untuk menyalahkan papanya. Nino selalu berusaha mengimbabgi kecurigaan-kecurigaannya dengan prasangka baik, mungkin saja memang benar penjelasan pemerintah setempat bahwa mereka ingin melindungi pulau tersebut karena takut dirusak oleh para pengunjung yang penasaran di tempat seperti apa Nino bisa bertahan hidup selama seminggu tanpa makan dan minum. Disamping ingin tanya kebenaran dari versi Damar Yunta sendiri, lebih dari apapun, Nino sungguh-sungguh merindukan mereka. Cessa menatap Nino prihatin. "Sabar ya, Nini. Walau nggak sekarang, pasti akan ada kesempatan buat datang ke sana lagi." "Kamu tahu apa yang aku cemaskan, Sa?" "Apa?" "Bagaimana kalau saat kesempatan itu datang, aku udah nggak bisa melihat keberadaan mereka lagi?" Pertanyaan Nino jelas tak bisa dijawab oleh Cessa, sehingga Nino pun melanjutkan. "Mungkin aku bisa melihat mereka karena aku sedang di ambang kematian itu, sedangkan sekarang aku sehat dan nggak sedang terancam mati. Hampir setiap malam aku selalu memikirkan mereka, Sa. Waktu tim penyelamat datang, aku sedang pingsan dan bangun-bangun aku sudah ada di dalam helikopter terbang. Aku belum sempat bilang terima kasih dan selamat tinggal sama mereka dengan benar." "Tapi kamu masih ingin ke sana?" Sekali lagi, Nino menganggukkan kepala pasti. "Mengapa mereka ada di pulau itu dari sekian luasnya planet bumi, nggak tahu kenapa aku pikir pasti ada sesuatu di sana." "Nanti kita cari cara bareng-bareng, No." Cessa meraih tangan Nino dan memberikan remasan seolah sedang berusaha mentraktir energo positif pada Nino. Namun, Nino menarik tangannya lembut agar Cessa tidak sedih ia menolak dukungan Cessa. "Kamu cukup jadi pendengar aku aja, jangan ikut-ikutan." "Kenapa?" tanya Cessa dengan nada seperti ofang tersinggung. "Kamu takut aku akan bocorin apa yang kamu lakukan ke Papa?" Sebenarnya, itu adalah salah satu alasan Nino, tapi ada alasan lain yaitu ia teringar peringatan Roni bahwa Nino bisa saja bernasib sama seperti Damar Yunta. Meski pada akhirnya Roni menjelaskan maksud peringatan tersebut, entah mengapa Nino tetap merasa khawatir jika sesuatu yang buruk akan terjadi juga pada Cessa. Sebab Nino tahu seburuk apa musuhnya, namun bahayanya, ia tidak tahu siapa dia. "Enggak. Aku beneran nggak mau kamu ikutan repot sama masalahku." "Halah, bohong," sergah Cessa penuh cibiran. "Aku tahu kamu takut aku ember, kan. Kalau kemudian kamu bisa membuktikan papamu memang salah, gimana pun juga Papa aku juga ikut salah. Seenggaknya, salah karena diam.melihat kejahatan," lanjut Cessa lemah, seolah-olah dirinya benar-benar sedih Nino tidak mempercayainya. Hal itu membuat Nino merasa tak enak hati. "Seandainya itu terjadi, kita sama-sama tahu kalau Papa kita adalah orang jahat. Kamu nggak akan sedih?" "Ya pastinya sedih," gumam Cessa dengan mata menerawang seperti membayangkan berada dalam situasi tersebut. "Tapi kayak yang kamu bilang, yang salah harus dihukum dan yang benar harus mendapat perlakuan semestinya. Lagian, papaku istilah kasarnya cuma pesuruh. Memang, dia punya pilihan untuk berhenti dan cari pekerjaan lain. Tapi tetap saja, maaf ya, No, penjahatnya tetap saja papamu. Mungkin dengan begini, Papa akhirnya sadar kalau selama ini dia salah karena menjadi mengabdi pada orang salah." Jawaban Cessa sedikit diluar dugaan Nino. Siapa sangka Cessa bisa berpikiran sedewasa itu. "Tapi kalau kamu nyaman buat nggak cerita dan melakukan apapun itu sendiri, aku nggak bisa maksa, sih. Sebagai sahabat, aku cuma berharap kamu bisa menemukan apa yang kamu cari tanpa terluka. Baik hati atau fisik kamu. Kalaupun terluka, sedikit saja. Biar sakitnya nggak lama-lama, cepat sembuhnya." Cessa mengakhiri celotehannya cengiran polos, membuat Nino merasa tak enak hati telah meragukannya padahal dari semua orang, Cessa lah orang yang selalu setia dan ada untuknya. Tok! Tok! Nino mengerejap cepat, lagi-lagi Cessa menangkapnya basah tengah melamun. "Ngelamun lagi?" tanya Cessa yang terdengar seperti ledekan. "Kamu jelek, deh, kalau lagi banyak pikiran gini. Aku takut. Masih mikir ingin ke pulau lagi?" Nino tertawa kecil sambil menarik napas panjang lalu menganggukkan kepala. "Ayo, lakukam sesuatu kalau begitu biar nggak kepikiran lagi. Eh pasti masih kepikiran sih, maksudku biar perasaan kamu membaik sedikit." "Melakukan apa?" tanya Nino, mengernyit tak mengerti. Cessa kemudian berdiri dari duduknya dan mengulurkan tangan, mengajak Nino. "Nanti kamu juga tahu sendiri." Berhubung Nino memang ingin tahu, Nino lantas menyambut uluran tangan Cessa dan mereka bergandengan tangan keluar dari restoran. *** Halo, bagaimana kabar kalian? Aku nggak tahu surat ini akan sampai kepada kalian atau enggak, atau siapapun yang pada akhirnya membaca, aku harap kamu baik-baik saja. Aku akhirnya berhasil pulang dengan selamat dan kumpul lagi dengan keluargaku, sayangnya karena satu dan lain hal aku belum bisa datang ke sana untuk mengucapkan terima kasih. Tanpa kalian, aku mungkin sudah meninggal. Bahkan setelah tahu siapa aku, kalian masih membantuku. Terima kasih karena telah membiarkan aku bisa melihat kalian, sesuatu yang nggak semua orang bisa. Sangat menyenangkan bisa mengenal kalian semua, semoga kalian juga merasakan sama. Aku telah mendengar sedikit cerita tentang kalian. Entah apa itu benar, aku yakin kalian pasti telah mengalami masa sulit dan aku sangat berharap bisa melakukan sesuatu. Seandainya ada kesempatan, aku ingin berkunjung ke sana lagi. Aku pasti akan menciptakan kesempatan itu meski tidak tahu kapan, aku berharap kapanpun kesempatan itu datang, aku masih bisa melihat kalian. Adiknya Anisya. "Kenapa aku tulis adiknya Anisya?" tanya Cessa yang bediri di belakanb Nino, saat Nino membaca ulang surat yang barusan ditulisnya. "Aku nggak tahu surat ini akan ditemukan siapa, nggak mungkin aku pakai nama Abrawan," jawab Nino sembari mengguling kertas tersebut lalu memasukkannua ke dalam botol kaca yang ada tutupnya. Cessa yang punya ide untuk membuat surat botol untuk dilarung ke laut, anggap ombak akan mengantarkan pesan ini pada orang yang Nino rindukan. Cessa hanya mengangguk-angguk mengerti. "Gimana? Ide aku nggak terlalu buruk, kan?" Cessa menepuk d**a bangga. Nino hanya tertawa, lalu berjalan mendekati bibir pantai dengan diikuti oleh Cessa. Sambil membayangkan wajah seluruh keluarga Yunta, Nino melempar botol kaca berisi suratnya itu ke laut. Ombak makin lama makin menarik botol itu ke tengah hingga menghilang dari jangkauan pengelihatan Nino. Cessa benar, perasaannya membaik setelah kerinduannya tercurahkan dan ada usaha untuk menyampaikan meski belum tentu tersampaikan pada orang yang dituju. Saat Nino menoleh pada Cessa, rupanya gadis itu juga tengah melihat ke arah lautan. Nino tidak bisa bohong, kehadiran Cessa lah yang membuat perasaannya terasa baik. Nino mengerejap saat sisi wajah itu tiba-tiba berubah jadi wajah penuh Cessa saat gadis itu menoleh padanya, demi mengatasi kecanggungannya sendiri, dengan iseng Nino mencipratkan air laut ke arah Cessa hingga wajah dan sebagian baju gadis itu terkena cipratannya. "Kamu awas ya...," geram Cessa berlagak marah, mengambil ancang-ancang pembalasan. Nino sigap berlari saat Cessa membungkukakan badan hendak balas menyipratinya, dan terus berlari karena Cessa mengejar di belakang sambil meneriakinya segala sumpah serapah yang malah membuat Nino tertawa terbahak-bahak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD