Seandainya Nino tidak ditakdirkan menjadi anak adopsi Arman Abrawan, Nino mungkin akan menjajal peruntungan sebagai bintang sinetron. Aktingnya terbukti tidak terlalu buruk sebab ia berhasil mengecoh salah seorang Psikiater terbaik di Negeri ini.
Di depan papanya, Nino belagak percaya bahwa pemilik nama Damar Yunta itu tidak ada, serta tidak menunjukkan ketertarikan untuk mencari tahu. Padahal sebenarnya, semakin Nino berusaha melupakan, semakin ia penasaran.
"Nino, beneran kamu gila?"
Nino mendecakkan lidah malas. Aneh rasanya mendengar pertanyaan itu meluncur dari mulut Cessa yang ditujukan untuk dirinya, ketika biasanya Nino lah yang mempertanyakan itu setiap kali Cessa bertingkah konyol. Namun, ya, Nino memang gila. Gila dalam artian yang sesungguhnya.
Nino mendesah pendek, di depan seseorang yang sering Nino katai gila, Nino harus mengaku bahwa dirinya gila. "Kayaknya itu penjelasan lebih masuk akal buat semua ini, Sa. Lagian, kalau nggak kayak gitu, aku nggak mungkin dikasih pegang handphone lagi."
Total Nino dirawat selama dua minggu penuh di rumah sakit. Ia menjalani semua jenis dan tahapan pemeriksaan hingga dinyatakan sehat fisik, maupun kejiwaan. Sebenarnya, untuk yang kejiwaan ini Nino belum terlalu yakin. Jauh dalam dirinya masih mengelak bahwa keluarga Yunta hanyalah produk imajinasinya saja, sebab tiap detik yang Nino alami terasa nyata. Lidah Nino masih bisa merasakan rasa masakan Eliza, senyum manis serta elusan Anisya di rambutnya, dan semua hal yang sangat detil terekam dalam ingatannya.
Namun, pada Psikiater dan papanya, Nino pasrah saja menerima segala diagnosa serta analisa. Ia menunjukkan sikap kooperatif sehingga seolah-olah Nino benar-benar melupakan keluarga Yunta dan segala hal yang ada di sana. Itulah yang membuat papanya mulai melonggarkan pengawasan terhadapnya.
"Iya, sih." Cessa turut mendesah dan menatap Nino seakan prihatin. "Tapi masa, sih, kamu gila?"
"Aku nggak gila," geram Nino.
"Tadi ngaku gila, sekarang bilang enggak. Kamu ... Baik-baik aja, kan, Ni?"
"Princessa!"
Cessa meringis dan terkekeh-kekeh konyol usai sukses membuta Nino kesal. "Bercanda, Nini. Habisnya kamu tegang banget dari tadi."
Nino membuang muka kesal. "Kalau aku nggak terima dibilang gila, mana mungkin aku bisa telepon kamu dan kamu boleh masuk ke sini. Papa pasti masih mengurung aku di rumah sakit."
Cessa menjadi orang pertama yang Nino hubungi, begitu ia diizinkan memiliki ponsel lagi mulai tadi siang. Dia menyuruh supir untuk menjemput Cessa datang ke kediamannya lantaran Nino belum diizinkan untuk kemana-mana. Tujuannya tentu saja berharap keberadaan Cessa bisa mengusir sebentar kesepian, sekaligus ada seseorang yang bisa diajak bertukar pikiran. Seseorang yang pasti akan mempercayainya, bahkan meski saat Nino bilang dirinya bilang seseorang dapat mencapai bulan hanya dengan balon udara dan di sana ada pohon kurma.
"Jadi, kamu pura-pura gila, ceritanya?" simpul Cessa.
"Mau nggak mau, kan."
Cessa manggut-manggut seolah mengerti. "Terus kamu udah coba cari tahu siapa itu Damar Yunta?"
"Udah," desah Nino, mengacak rambut frustrasi. Begitu ponselnya terhubung dengan internet, ia langsung mencari nama Damar Yunta di mesin pencari. "Itu juga yang bikin aku penasaran apa aku gila beneran."
"Kenapa? Kenapa?" tanya Cessa penasaran.
Nino lantas berjalan menuju meja belajarnya, di mana di sana di sana ada komputer. Cessa menyusul di belakang Nino dan berdiri di sebelah Nino dengan tangan ditaruh di pundak Nino. Nino mengetikkan nama Damar Yunta pada kolom mesin pencari, dan sedetik kemudian tampilan komputer berubah menampilkan hasil pencarian. "Lihat sendiri."
Seketika fokus Cessa langsung tertuju ke layar, tanpa sadar ia sampai membungkukkan badan dan meraih tetikus untuk membuka artikel-artikel yang mencatut nama Damar Yunta sebagai judul. "No, ini maksudnya apa?" tanya Cessa dengan mata masih memelototi layar dengan tak percaya.
"Princessa, kalau aku ngerti, aku nggak akan gila kayak gini."
Maka, Cessa coba menyederhanakannya sendiri. "Di sini ditulus Damar Yunta adalah wartawan Sinar Terang Media, dia terbukti melecehkan juniornya, melakukan pemerasan dan transaksi ke pejabat dengan kasus dan bukti korupsi palsu, dan banyak penipuan lain. Dia dan keluarganya melarikan diri 19 tahun lalu, sesaat setelah ketahuan melecehkan juniornya lagi," gumam Cessa, sejurus kemudian ia menemukan satu foto seorang pria di bawah artikel. "Apa ini wajah Damar Yunta yang kamu kenal?"
Nino menganggukkan kapal.
"Lalu di mana masalahnya?" Cessa menegakkan badan, seolah telah mendapat pencerahan. "Orang ini buronan, dia pasti sedang dalam masa pelarian. Dengan kejahatan separah itu, dia mungkin takut dipenjara seumur hidup makanya milih kabur sama keluarganya. Lalu kayak dugaanmu waktu itu, dia nggak mau keberadannya diketahui orang-orang makanya dia pindah ke pulau lain karena tahu pulau itu akan didatangi banyak orang."
"Aku nggak sebodoh itu, Sa. Masalahnya, foto ini diambil 19 tahun lalu. Dan Damar Yunta di foto ini sama persis dengan Damar Yunta yang menolong aku di pulau. Masih kayak laki-laki umur 30-an. Menurutmu masuk akal nggak ada manusia nggak berubah fisiknya setelah 19 tahun?" ungkap Nino, membagi kebingungnnya.
"Masuk akal kalau orang itu vampire atau hantu."
"Itu dia!" sambar Nino. "Mereka jelas bukan hasil imjinasi atau halusinasiku karena orangnya jelas-jelas ada dan hal-hal yang aku tahu tentang mereka, sama dengan yang tertulis di sini. Tapi, sejak kapan aku bisa melihat hantu?"
"Ih, Nini, kamu bikin aku merinding, deh." Cessa begidik dan matanya melirik sekitar. "Mungkin karena hampir mati, makanya alam bawah sadar kamu jadi kebuka?"
Nino menggelengkan kepala tak tahu.
Sesaat, suasana ruang khusus belajar Nino belajar ini hening karena Cessa tidak berceloteh. Gadis itu mengetuk-ngetukkan telunjuk di dagu dengan kening berkerut, tanda bahwa dia sedang berpikir serius.
Nino menyandarkan punggung dan kepalanya ke sandaran kursi dan sedikit memutar sehingga bisa berhadapan lurus dengan Cessa. Nino harus sedikit mendongak agar bisa melihat wajah Cessa yang berdiri menjulang di sebalahnya. "Ngomong sesuatu dong, Sa. Percuma banget aku minta kamu ke sini kalau suasananya sama aja sepi."
Cessa mendecakkan lidah, berlagak sebal. "Aku sedang mikir tahu! Kenapa mesti Damar Yunta ya hantu yang bisa kamu lihat itu? Kenapa seorang buronan jahat kayak dia?"
"Mungkin kebetulan aja? Ah ... Entah lah, jawabannya cuma mungkin-mungkin doang. Aku pusing," Nino mengerang tertahan.
"Satu lagi, kalau alam bawah sadar kamu sudah terbuka, berarti kamu bisa melihat makhluk-mahkluk halus, dong?" Dengan mantap, kepala Nino mengangguk. Seketika membuat Cessa meringis ngeri melihat sekitar. "Serius? Kira-kira ... di ini ada, nggak?" lanjutnya dengan suara setengah berbisik.
"Serius. Ada sosok cewek, badannya tinggi dan kurus, rambutnya hitam, pakai baju putih, kukunya warna merah, dan dia sekarang sedang celingak-celinguk di depan aku."
"Eh?" Cessa terkesiap dan sontak berhenti celingak-celinguk ke sudut-sudut kamar. Ia lantas menunduk memandang kaos putih yang menempel di badannya, serta kuku yanh baru semalam ia cat dengan warna merah. "Ck, itu aku!" Cessa menghentakkan kaki kesal, menyadari yang Nino maksud adalah dirinya.
Nino tertawa lemah, bahkan mengejari Cessa tak bisa membuatnya tertawa lepas mengingat suasana hati dan pikirannya yang sedang kacau. "Anehnya, aku nggak bisa lihat makhluk-makhluk halus yang kamu maksud itu, Sa," tutur Nino. "Sejak awal aku bangun di rumah sakit sampai detik ini, aku nggak bisa lihat apa-apa."
"Atau sebenarnya kamu nggak bisa bedain mana manusia dan mana hantu?"
Nino lagi-lagi hanya menggeleng tak tahu. Dugaan Cessa mungkin saja benar, atau bisa juga karena Nino hanya belum melihat mereka sebab selain rumah sakit dan rumahnya, ia belum pergi ke mana-mana.
Cessa menepuk-nepuk lembut puncak kepala Nino. "Ya udah, ya udah, nggak usah dipikir. Bisa melihat hantu bukan berarti gila, kok. Ya karena kamu punya indera keenam aja, dan kamu bukan satu-satunya. Itu banyak yang ngaku bisa lihat hantu pada jadi content creator di Youtube, kamu juga bisa coba tuh, Ni."
"Ngaco," dengus Nino tersenyum geli meningkahi perkataan Cessa. "Kalau udah tahu aku aneh begini, kenapa kamu masih mau temenan sama aku, Sa?" tanya Nino bersungguh-sungguh.
"Hm ..., kenapa, ya? Karena kamu ganteng. Aneh nggak apa-apa, yang penting enak dipandang."
"Dasar, itu lebih ngaco lagi."
Cessa menyengir lebar. "Aku lapar, kasih aku makanan enak," adu Cessa mengelus perut yang selalu lapar jika sudah ke kediaman Nino—istana Presiden, meskipun beberapa jam sebelumnya ia telah makan. Pasalnya di sini ia bebas bilang mau makan apa aja, nanti Nino akan minta Chef Istana akan membuatkan makanan tersebut ala restoran bintang lima.
"Ayo," sambut Nino, lantas berdiri dari duduknya dan dengan santai merangkul pundak Cessa. "Kita makan di luar aja, aku sumpek di dalam ruangan terus."
"Oh ... Oke," cicit Cessa, berusaha bersikap santai. Ia selalu kesulitan bersikap biasa jika Nino entah sengaja atau tidak melakukan kontak fisik. Bagi Nino, rangkulan, gandengan, atau bahkan sekadar tatapan dan perhatian penuh tiap Cessa bicara tak memiliki arti apa-apa sebab bagi Nino ia hanyalah teman.
Namun bagi Cessa, berbeda.
***
Sebulan tepat pasca kecelakaan, pencarian korban kecelakaan persawat yang belum ditemukan, resmi dihentikan dengan berbagai pertimbangan. Salah satunya asumsi bahwa mereka yang hilang telah meninggal. Penghentian itu ditandai dengan seremoni tabur bunga di laut, sebagai penghormatan pada para korban yang belum ditemukan tersebut. Pada kesempatan itu pula, Nino muncul ke publik untuk yang pertama kalinya.
Nino menatap ke luar kaca mobil yang tengah melaju perlahan ketika memasuki area pelabukan, tempat itu telah ramai oleh wartawan, korban selamat, serta keluarga para korban yang belum ditemukan.
Sejak diberi tahu tentang acara ini dan diminta untuk hadir, Nino merasa emosional. Tersadar betapa batas antara hidup dan mati itu hanya sekejap. Nino masih mendengaekan musik dan membaca buku, ketika tiba-tiba pesawat itu mulai berguncang hebat. Nino masih ingat, ketika dirinya berjalan memasuki kabin pesawat, ia melihat wajah-wajah gembira. Beberapa di antara para penumpang mungkin menaiki pesawat ini untuk tujuan pulang ke kampung halaman, tak sabar bertemu kembali sanak dan keluarga. Beberapa yang lain mungkin seperti Nino, tujuan untuk berkunjung dan sangat bersemangat menemukan hal dan pengalaman baru. Sisanya mungkin untuk urusan pekerjaan dan lain-lain. Ya, masing-masing penumpang punya tujuan. Dan, tujuan itu bukan lah kematian.
Pada akhirnya, kematian memanhlah tujuan akhir. Ini hanya masalah waktu. Nino bersyukur diberi tambahan waktu untuk merasakan kehidupan di dunia lebih lama, Nino belum siap mati di saat dirinya bahkan belum tahu hidup itu sebenarnya apa.
Mobil berhenti di dekat kapal milik angkatan laut yang akan digunakan. Wartawan mengerubungi mobil dari segala sisi hingga para pengawal kepresidenan tampak kewalahan.
"Kamu siap?" tanya Abrawan yang duduk di sebalah Nino, mereka sama-sama mengenakan jas hitam simbol duka cita.
Nino mengalihkan pandangannya dari jendela dan memberi papanya anggukan kepala.
"Nanti kamu jawab beberapa pertanyaan wartawan. Sudah tahu apa yang perlu dan tidak perlu kamu jawab, kan?"
Sekali lagi Nino menganggukkan kepala. Tentu saja Nino tahu, sejak memberi tahu mereka akan datang ke acara ini, Abrawan telah menekankan bahwa Nino tidak boleh menyinggung tentang 'halusinasi' yang dialaminya. Seluruh dunia tidak boleh tahu Abrawan punya anak yang sempat terguncang mentalnya.
Roni membukakan pintu sisi Nino, sementara sisi lain, Abrawan dipersilakan keluar oleh ajudannya. Para wartawan berlomba-lomba ingin mendapat gambar Nino, yang setelah dirinya ditemukan selamat mendapat julukan si bocah ajaib. Dengan susah payah mereka bisa naik ke dalam kapal.
Di dalam kapal suasana lebih kondusif, wartawan yang diizinkan meliput lebih tertib dan dapat menghormati tujuan utama acara ini. Haru dan kesedihan menyelimuti, tetapi semangat dan harapan baru juga sangat terasa di sini.
Acara berjalan lancar, ayahnya memberi sambutan sebagai kepala negara sekaligus keluarga korban. Nino menaburkan bunga berbarengan dengan semua korban dari dek kapal, di situlah puncak momennya. Hampir semua koban selamat dan keluarga korban meninggal menangis, termasuk Nino yang belum bisa sepenuhnya lupa tragedi yang sempat menempatkan dirinya pada ambang batas hidup dan mati.
Kini, Nino didampingi oleh papanya berdiri di depan wartawan di atas dek kapal, usai acara tabur bunga selesai.
"Mas Nino, bagaimana kabarnya sekarang dan perasaannya karena telah selamat setelah 6 hari lebih menghilang?" tanya seorang wartawan dengan tertib lantaran telah diatur urutan bertanya.
"Baik, setelah istirahat saya sudah merasa sehat. Dan kalau ditanya perasaan, perasaan saya sedih karena nggak semua penumpang yang berangkat bareng saya nggak bisa pulang dan kumpul lagi sama keluarga seperti saya dan yang lain."
"Bisa ceritakan bagaimana Anda bisa selamat dan bagaimana bisa bertahan berhari-hari di pulau tidak berpenghuni?"
Nino menipiskan bibir, tanpa sadar kedua tangannya salinh meremas. Menahan diri untuk tidak menceritakan yang 'sebenarnya'. Terlebih, tatapan papanya dari samping terasa sangat mengintimidasi. "Hmm ... Ya, pastinya itu berkat pertolongan Tuhan, saya makan apa yang saya temukan dan sempat turun hujan juga jadi dalam 6 hari itu ada yang saya makan dan minum." Lagi-lagi Nino menunjukkan bakat aktingnya dengan apik.
Nino menjawab pertanyaan persis seperti yang papanya inginkan hingga akhir. Mereka tak berlama-lama di kapal, usai tabur bunga, kapal kembali ke pelabuhan dan rombongan presiden bergegas turun dari kapal.
Saat menuju mobil itulah tampak seseorang di belakang barisan wartawan tiba-tiba mengangkat sebuah spanduk protes, Nino tak bisa melihat jelas wajah orang itu dan hanya sempat membaca tulisan di spanduk karton tersebut. Sejurus kemudian spanduk itu rebut oleh polisi yang berjaga dan terjadi sedikit keributan saat orang itu diringkus.
"No, jalan," bisik Roni, menyadarkan Nino bahwa dirinya sempat terpaku di tempat. Nino lantas menggerakkan kedua kakinya untuk melangkah lagi, sampai memasuki mobil.
'Usut Presiden Armawan, Dia Bukan Pahlawan', itulah tulisan di spanduk tersebut.