Cessa mendengarkan dengan mendengarkan penuh perhatian saat Nino menceritakan apa yang dilakukan dan ditemukannya sebelum mereka bertemu tadi. Nino memutuskan untuk berbagi cerita dengan Cessa karena percaya Cessa telah paham dengan tujuannya, jadi Cessa tidak akan melakukan sesuatu yang kiranya akan menghambat serta menyulitnya Nino. Contohnya seperti melapotkan pada Roni informasi-informasi yang Nino dapatkan.
"Berati kamu harus menemukan Sisca-Sisca itu," cetus Cessa yang diangguki setuju oleh Nino.
"Masalahnya, aku nggak tahu nama lengkap Sisca-Sisca itu siapa, di internet identitasnya disamarkan jadi Mawar."
"Iya juga, ya," desah Cessa lalu terdiam, seolah-olah sedang berpikir. "Terus rencanamu apa?
"Pak Kamal bilang, Sisca itu berada di dekat Papa. Jadi mungkin aku akan cari siapa aja Sisca di lingkaran Papa yang usianya kisaran karyawan itu dan punya background kerja di perusahaan media," papar Nino. "Mungkin akan makan waktu karena aku nggak kenal semua kenalan Papa dan yang berhubungan sama Papa pasti jauh lebih banyak dari yang aku duga."
"Benar, kamu bisa coba cara itu," timpal Cessa.
Rasanya lega setelah membagi isi kepalanya meski Cessa tidak memberi saran apa-apa, telinga dan tatapan penuh perhatiannya sudah membantu banyak dalam menenangkan perasaan Nino. Setidaknya, Nino merasa dirinya tidak sendirian.
"Sebenarnya, ada satu hal lagi yang menganggu aku, Sa," ujar Nino lagi.
"Apa?" sambut Cessa, siap mendengarkan.
"Ternyata anaknya Damar Yunta bukan tiga kayak yang aku tahu, tapi ada empat."
"Tunggu, maksudnya ...," ucap Cessa menggantung, agaknya langsung dapat memahami maksud Nino.
Nino menganggukkan kepala sekali. "Iya, ada kemungkinan masih hidup di suatu tempat," tutur Nino. "Pak Kamal bilang, dia baru umur beberapa hari saat Damar dan keluarganya menghilang. Dia sepantaran kita, sama-sama lahir tahun 2002, cuma beda bulan aja."
"Kenapa kamu mikir dia masih hidup?" tanya Cessa lagi. "Maksudku, bukannya aku berharap dia sudah meninggal. Tapi coba mikir realistis aja, saat itu dia masih bayi. Orangtua dan kakak-kakaknya saja meninggal, bagaimana mungkin dia bisa bertahan? Siapa yang merawatnya? Gimana bisa?"
"Gimana bisa itulah berarti banyak kemungkinannya, bahkan yang belum kepikiran di kita. Aku nggak yakin dia masih hidup atau enggak, aku cuma penasaran kenapa dia nggak ada di pulau itu sama keluarganya, artinya kan mereka terpisah. Ah, entah lah, sekarang aku cuma mau fokus mencari Sisca-Sisca ini. Nggak peduli sudah mati atau masih hidup, aku cuma berharap dia menjalani kehidupan yang damai," harap Nino, bersungguh-sungguh dari dalam hati.
"No, anak keempatnya itu ... laki-laki, kan?" tanya Cessa tiba-tiba.
"Dari namanya, Alden, kayaknya iya."
***
"Manusia-manusia ini benar-benar menganggu," keluh Alin, berkacak pinggang di dekat kumpulan orang berseraham mirip seragam polisi, hanya saja warnanya biru mencolok. Alin penasaran, apa jaman sekarang baju polisi sejelek ini? Namun, rasa penasaran Alin tak lebih banyak dari kekesalannya. Pasalnya, sejak Nino dibawa keluar pulau, setiap hari ada saja orang yang datang dan petugas-petugas ini akan berpatroli mengelilingi pulau menggunakan kapal mereka, entah apa sebenarnya tujuannya. Kalau hanya meninggalkan jejak kaki, Alin tidak masalah. Tetapi kerap kali orang-orang itu meninggalkan sampah, membuat pulau tempat tinggalnya kini tak sebersih sebelumnya. Kendati mereka tidak bersinggungan, tetap saja Alin dan yang lain merasa terganggu. Pulau ini tidak damai lagi jadinya.
Di atas batu karang besar, Adrian mengunyah buah pisangnya. Dengan mulut penuh dan tanpa menghentikan kunyahannya, dia berkata, "Alden akan baik-baik saja, kan, Kak?"
"Mana aku tahu," jawab Alin sewot, padahal sejujurnya ia juga mencemaskan si bungsu. Petugas-petugas ini pasti Abrawan yang mengirim mereka ke sini karena Alden pasti telah menceritakan tentang mereka pada Abrawan, sungguh mengerikan memikirkan nasib Alden, mengingat Abrawan sangat bisa melakukan apa saja.
Para petugas itu kemudian pergi beberapa saat kemudian, dan pantai mereka pun kembali tenang.
"Tumben mereka cuma sebentar," celetuk Damar sambil berjalan mendekat ke arah Alin dan Adrian, sementara Anisya main-main sendiri di bibir pantai. Bocah itu tak pernah bosan mengumpulkan cangkang-cangkang keong.
"Ngapain juga lama-lama, Pa? Setiap hari mereka datang dan di sini nggak ada apa-apa. Abrawab pasti takut banget ada yang menggali lubang kubur kita."
"Nggak akan ada orang yang bisa menemukan kita tanpa sengaja, mereka sangat rapi menyamarkan lubang kubur kita," timpal Damar, memandang kapal polisi laut yang kian menjauh.
Ada satu misteri baru. Jika sebelumnya mereka mengira arwah mereka tersesat lantaran jasad mereka terkubur di pulau ini tanpa ada disemayamkan sebagaimana harusnya jasad manusia diperlakukan, istilahnya dipulangkan pada Tuhan, kini perkiraan itu terbukti salah.
Malam itu, mereka jelas-jelas melihat saat anak buah Abrawan menembak mati bawahannya lalu memasukkannya ke dalam lubang yang sama dengan mereka. Namun, hingga saat ini arwahnya tidak ada di pulau ini seperti halnya yang terjadi pada Damar dan keluarganya. Entahlah, mungkin hal itu memang tidak seharusnya dipikirkan karena mungkin memang tidak ada jawabannya dan murni merupakan permainan takdir.
Namun, muncul pertanyaan lainnya jika benar ini murni permainan takdir. Apakah Tuhan sekurang kerjaan itu hingga mempermainkan mereka? Apa Tuhan tidak punya semacam sistem ataupun ketetapan-ketetapan baku sehingga Dia tidak perlu menciptakan 'takdir khusus' untuk manusia-manusia ciptaan-Nya?
"Eh eh, Pa, Anisya mau ke mana itu?" Adrian berseru sambil menunjuk ke arah Anisya yang tengah berjalan ke tengah laut. Dengan sigap Damar berlari menuju Anisya dan diikuti oleh Alin dan Adrian di belakangnya.
Damar berhasil menangkap tubuh mungil Anisya tepat saat permukaan air laut telah mencapai leher bocah itu. Adrian menggendongnya ke tepian dan menurunkannya cukup jauh dari bibir pantai.
Adrian langsung melepas kaosnya untuk diselimutkan ke punggung Anisya yang tampak kedinginan. "Kamu nggak apa-apa?" tanya Adrian, mengusap punggung Anisya.
"Anisya, ngapain kamu jalan ke laut? Kan udah dibilangin itu bahaya," tegur Alin. Ya, meski kalaupun tenggelam tubuh Anisya akan tersapu kembali ke pantai dan dia akan bangun sendiri beberapa saat kemudian, tetap saja mereka khawatir itu terjadi.
"Kalau Mama lihat, dia pasti akan marah. Kenapa kamu jalan ke laut?" sambung Damar, menatap Anisya tegas.
Anisya batuk-batuk dan menggosok hidung, sebelum menjawab kekhawatiran Papa dan kakak-kakaknya. "Aku mau ambil ini, Papa," jawab Alin, menunjukkan sebuah botol kaca dengan gulungan kertas di dalamnya yang sedari tadi Anisya peluk erat-erat.
"Kamu hampir tenggelam cuma buat ambil ini?" pekik Alin tertahan, yang kemudian diangguki polos oleh Anisya. "Astaga, Anisya, itu kan cuma sampah manusia."
"Mungkin Alin tertarik karena belum pernah lihat," Adrian menengahi, tak tega adiknya yang masih syok itu dimarahi Alin.
Alin memutar bola mata malas, berlagak tak peduli. Padahal diam-diam melirik Anisya yang kini dipeluk oleh Damar sambil menasehatinya agar tidak boleh masuk ke dalam air lagi lain kali hingga Anisya tak sadar botolnya diambil oleh Adrian dan Adrian diam-diam mengeluarkan gulungan kertas di dalamnya setelah susah payah melepas penutupnya.
"Oh, Papa ...," panggil Adrian tercengung, sesaat setelah membuka gulungan kertas tersebut.
"Ada apa?"
"Papa ... Harus lihat ini. Sepertinya, Alden mengirimnya untuk kita."