Ryan termenung di kamarnya. Dengan posisi duduk, tangan memeluk lutut, dia tak henti-hentinya memikirkan apa yang terjadi seharian ini. Mulai dari mimpi, dia sakit, kardus hilang, dan yang terakhir mamanya tiba-tiba keluar dari kamar mandi tamu yang jelas-jelas sudah diperiksanya. Entah dari mana semua kejadian aneh itu berasal, tapi yang pasti semua itu berhasil membuat kepala Ryan terasa mau pecah memikirkannya.
Seumur hidupnya, ini pertama kalinya Ryan merasakan bingung, penasaran, gelisah, dijadikan satu. Dia sudah bertanya kepada mamanya perihal kardus yang hilang. Lagi, mamanya mengatakan kalau seharian ini tidak ada orang yang mengantarkan paket. Masih belum yakin, Ryan memaksa mamanya untuk jujur. Ryan masih berharap semua yang terjadi adalah prank semata.
Harapannya itu mulai terkikis ketika mamanya mengatakan bahwa memang benar seharian ini tidak ada yang mengantarkan paket ke rumah. Ryan bertanya lagi tentang apa yang dikatakan Farhan kepada mamanya. Apakah benar dirinya sakit selama dua hari dan tidak masuk sekolah. Mamanya mengatakan itu benar. Riana mengatakan bahwa Ryan tiba-tiba pingsan setelah pulang sekolah, kemudian dilarikan ke rumah sakit.
Ryan mengacak rambutnya frustasi. Sampai sekarang, akal sehatnya belum bisa merasionalkan segala yang terjadi. Akal sehatnya masih mengatakan bahwa apa yang dia ingatlah yang sebenarnya terjadi. Bukan seperti yang dia alami sekarang. Semua yang didengarnya dari mamanya dan juga Farhan hanyalah terasa seperti kebohongan belaka.
Tapi jika memang benar mereka berbohong, Ryan juga tidak bisa menemukan motif yang mendasari itu.
Tinggal satu harapan yang Ryan miliki--papanya. Ryan harus menanyakan kepada papanya apa yang sebenarnya terjadi. Untuk itu, dia tidak boleh tidur terlebih dahulu sebelum papanya pulang.
Tanpa terasa jam sudah menunjukkan pukul 12 malam. Ryan sudah berganti posisi menjadi telentang. Selama itu pula dia tidak menutup mata, dan pikirannya masih belum jauh-jauh dari hal semula.
Samar-samar dia mendengar suara mobil. Itu pasti papanya. Ryan bergegas turun menemui papanya.
Rangga yang saat itu masuk disambut Riana heran melihat Ryan belum tidur. "Kamu kok belum tidur?" tanyanya pada Ryan yang saat itu tengah menuruni tangga.
"Pa," panggil Ryan membuat papanya berhenti berjalan menuju kamar.
"Papa dari mana?" Sebelum bertanya hal-hal yang lain, Ryan harus bertanya terlebih dahulu dari mana papanya ini. Ryan masih ingat kalau tadi sewaktu berada di ruangan rawat mamanya, papanya bilang kalau dia ingin ke luar karena ada urusan penting.
Rangga terkekeh. "Kamu lupa papa biasanya dari mana hari Minggu begini?"
Boom!
Runtuh sudah harapannya. Jawaban yang diberikan papanya barusan membuat Ryan menangis batin. Sebenarnya apa yang terjadi saat ini? Kenapa semuanya terasa aneh dan tidak sesuai dengan apa yang terjadi di ingatannya.
Sekali lagi. Ryan masih ingin berharap kepada papanya.
"Emang papa biasanya hari Minggu ke mana?" tanyanya dengan perasaan was-was.
"Dari rumah pamanmu."
"Paman?" Paman siapa?" Tuhan! Apa yang terjadi sebenarnya?
"Paman Adi. Papa harus ke sana setiap Minggu untuk memeriksa anaknya, Bayu. Kamu lupa?"
Apa yang barusan dikatakan papanya? Memeriksa?
"Memeriksa?" beo Ryan dengan alis ditekuk.
"Papamu ini kan dokter, Yan,” jawab Rangga dengan wajah menahan tawa. Bisa-bisanya anaknya itu lupa bahwa papanya adalah seorang dokter.
Sekali lagi bom meledak di dalam diri Ryan. Apa kata papanya? Dokter? Tidak. Ini tidak lagi benar. Papanya bukan seorang dokter. Papanya adalah CEO dari perusahaan terbesar di Jakarta yang bergerak di bidang industri. Lalu apa barusan? Dokter? Sejak kapan?
Sejak awal jawaban papanya sudah sangat jauh dari harapan Ryan. Ryan masih ingat kalau papanya itu mengatakan ingin keluar karena ada urusan penting. Lalu jawaban kedua kalau papanya datang ke rumah Paman Adi membuat harapan Ryan bahwa ini hanya sandiwara belaka benar-benar hilang. Rumah Paman Adi ada di Sumatera Utara, bukan sekitaran Jakarta. Dan terakhir, profesi papanya dokter. Entah bagaimana caranya menjelaskan tentang semua yang terjadi.
Tiba-tiba kepalanya terasa pusing sekali. Ryan memijat pelipisnya. Makin lama kepalanya terasa seperti ditusuk puluhan jarum. Sakit sekali. Ryan tergeletak di lantai karena tak kuat menahan sakit di kepala. Pandangannya mulai kabur. Sayup-sayup dia mendengar suara mama dan papanya memanggil namanya.
Ryan merasakan ada yang mengelus lembut kepalanya. Ryan membuka matanya perlahan. Dia melihat suasana ruangan serba putih. Ryan mengangkat kepalanya. Riana menyambut dengan senyuman. Detik berikutnya, nyawa Ryan kembali sepenuhnya. Dia sadar, sekarang dirinya sedang berada di rumah sakit.
"Mama?" Ryan tidak percaya apa yang dilihatnya sekarang. Mamanya tengah terbaring di brankar rumah sakit?
Ryan memperhatikan sekeliling. Farhan dan papanya juga ada di ruangan mamanya. Mereka berdua tengah asyik berbincang.
Itu artinya kejadian-kejadian aneh tadi itu hanya mimpi belaka? Bagaimana bisa terjadi? Maksudnya apa? Dia bermimpi dalam mimpi, begitu? Ryan masih loading untuk memahami apa yang sedang berlaku.
Ryan memperhatikan sekeliling. Farhan dan papanya tengah bercakap-cakap di sofa. Mereka terlihat menikmati perbincangan mereka.
“Udah bangun, Yan?” ujar papanya saat melihat anaknya itu sudah bangun dari tidur.
Ryan belum menjawab. Dia masih mencoba mencerna dan meyakinkan diri bahwa dia sedang berada di rumah sakit saat ini.
“Ini di mana, Ma?” tanyanya.
“Rumah sakit, Nak. Kenapa?”
Ryan memegang pipinya. Ternyata benar dia memang berada di rumah sakit. Itu artinya kejadian-kejadian aneh yang hampir membuat kepalanya pecah tadi hanyalah mimpi belaka. Dan yang menarik, Ryan bermimpi di dalam mimpi.
Awal mula kejadian itu bisa terjadi saat dirinya bermimpi sedang berada di puncak bukit dengan pemandangan yang juga aneh menurutnya. Di zaman sekarang tidak lagi mungkin melihat peperangan seperti kerajaan-kerajaan di dunia fantasi. Lagi pula makhluk griffin tidak mungkin nyata, itu hanyalah makhluk mitologi semata.
Saat dia terbangun dari mimpi itu, ternyata dia bukannya sadar, masih berada di alam mimpi juga. Ryan menghela napas lega. Dia sempat frustasi dengan apa yang terjadi. Andai itu bukan mimpi, pasti dia sudah gila sekarang karena terus berusaha memikirkan jawaban atas semua yang berlaku.
“Kamu mikirin apa, Yan?”
Pertanyaan mamanya barusan membuat Ryan tersadar dari lamunannya. Dia menggelengkan kepala. “Nggak, Ma. Ryan gak mikirin apa-apa.”
“Kalau gitu Farhan pamit, ya, Om, Tante.” Farhan berdiri, menyalami Rangga dan Riana.
“Hati-hati, ya, Farhan,” ujar Riana.
“Ada pr dari Pak Eko, nanti aku kirim,” ucap Farhan kemudian tersenyum membalas himbauan Riana. “Iya, Tante.”
Tadi Farhan barusan mengatakan ada tugas. Berarti dia sekarang memang benar sudah sepenuhnya berada di alam sadarnya, bukan lagi di dunia mimpi. Sekali lagi Ryan menghela napas lega. Kepalanya tak lagi terasa berat. Benar adanya, itu semua hanyalah mimpi.
__00__
Pukul 19.00
Dokter sudah mengizinkan Riana untuk pulang. Setelah diberi resep dan Rangga juga sudah menyelesaikan administrasi, mereka langsung pergi meninggalkan rumah sakit.
Sampai di rumah Rangga langsung menyuruh Riana untuk segera istirahat. Dia harus benar-benar memulihkan tenaganya. Rangga mengikuti Riana hingga ke kamarnya. Rangga harus benar-benar memastikan kondisi Riana jika tidak ingin rencananya gagal.
Setelah mengganti seragamnya dengan kaos oversize berwarna biru muda dan celana selutut berwarna abu-abu, Ryan berjalan ke dapur untuk mengambil air putih guna diberikan kepada mamanya. Kata dokter tadi, mamanya harus meminum obat sebelum tidur.
Tiba di dapur, Ryan dikejutkan dengan penampakan BI Narti. Sosok wanita paruh baya itu tengah asyik memotong sayuran.
“Malam, Den!” sapa Bi Narti.
“Bibi kok bisa di sini?” Ryan bingung. Kata mamanya tadi kan anaknya Bi Narti melahirkan. Kalau pun sudah selesai, bukankah seharusnya Bi Narti menunggui anaknya sekarang.
“Iya, Den. Bibi dengar nyonya sakit.”
“Anak Bibi gimana?”
“Di rumah sama suaminya.”
Ryan mengangguk beberapa kali. Ternyata anaknya ditemani suaminya. Pantas saja Bi Narti bisa segera kemari.
“Aden mau ngambil apa?”
Ryan mengambil gelas dan bersiap menuangkan air putih. “Ini Bi, mau ambil air.”
“Haus toh?”
“Untuk Mama bi, minum obat.”
“Jangan!” ujar Bi Narti tiba-tiba dengan sedikit jeritan.
Ryan kaget. Sedikit air tumpah. “Kenapa, Bi?”
Bi Narti meneguk ludahnya. Dia terlalu mengeluarkan ekspresi yang berlebihan. Dia harus bisa membuat Ryan tidak curiga. “Biar Bibi saja, sekalian mau nganterin jamu buat Nyonya.”
Ryan ber-oh. “Ya sudah, Bi. Kalau begitu Ryan ke kamar, ya.”
Syukurlah. Untung saja Bi Narti bisa mencegah Ryan sebelum mengantarkan obat ke Riana. Kalau sampai Riana mengonsumsi obat itu. Entah apa yang akan terjadi nanti.
Setelah dilihatnya Ryan sudah tidak ada di sekitar tempatnya sekarang, Bi Narti buru-buru meninggalkan potongan sayurnya, lalu segera membuat obat untuk Riana.
Sampai di kamar, Ryan teringat dengan kardus yang tadi pagi diantarkan entah siapa namun katanya itu untuknya. Ryan melihat ke bawah meja belajarnya, kardus itu masih ada di sana. Ryan mengambil benda tersebut, meletakkannya di atas kasur.
Ryan memperhatikan setiap sisi dari kardus itu terlebih dahulu. Tidak ada nama pengirim tertulis di sana. Yang tertera hanyalah kalimat yang menunjukkan bahwa paket itu tertuju untuknya. Ryan mengangkat kardus tersebut, kemudian mengguncangnya. Mendengar bunyi yang dihasilkan membuatnya penasaran ada apa sebenarnya di dalam kardus itu.
Ryan mencoba untuk membukanya, sedikit susah. Sepertinya dia membutuhkan bantuan benda tajam. Ryan mengambil pisau cuter di atas meja belajarnya. Dia mulai memotong lakban hitam yang digunakan untuk merekatkan bagian yang bisa dibuka dari kardus tersebut.
Pertama kali yang Ryan lihat saat berhasil membuka kardus itu adalah potongan-potongan kertas yang hampir mengisi penuh bagian dalam kardus. Dikeluarkannya semua sampah itu. Sebuah kotak kecil, mirip kotak jam berwarna hitam terlihat. Ryan mengeluarkan benda tersebut. Dia memasukkan kembali kertas-kertas yang tadinya memenuhi kardus, kemudian setelah selesai, diletakkannya kardus itu di bawah meja belajarnya kembali.
Ryan bersiap untuk melihat apa yang ada di dalam kotak kecil itu. Sebelumnya dia melakukan hal yang sama, memperhatikan setiap sisi dari kotak. Kotak itu terbuat dari bahan kayu. Ketika dibuka, mata Ryan membelalak kaget. Benda itu, benda itu adalah berlian termahal yang dilihatnya di berita kemarin siang bersama Farhan.
Bersambung...