“Ada apa, Han?” tanya Ryan. Dia mengambil tempat di sofa di depan Farhan. Begitu duduk, tangannya langsung mengambil camilan yang disediakan Riana untuk Farhan.
“Mau jenguk kamu lah!”
Ryan tertawa kecil sambil mengunyah. Ada-ada saja. Yang sakit mamanya, kenapa bisa yang dijenguk dirinya? Sepertinya Farhan sekarang sudah memiliki kemajuan. Dia mulai suka melawak.
“Yang sakit mamaku, Han. Not me.”
Farhan ikut mengambil camilan disertai tawa. “Yang sakit kamu, Han. Kamu dua hari gak masuk sekolah.”
“Aku? Dua hari gak masuk sekolah?” beo Ryan tidak percaya. Seingatnya baru hari ini saja dia absen karena ikut ke rumah sakit untuk menemani mamanya yang pingsan tadi pagi. Seharusnya baru satu hari bukan? Ini kenapa jadi dua hari? Selain itu kapan dirinya sakit? “Ngaco kamu, Han!” Ryan menuang air ke dalam gelas, meminumnya. “Aku gak sakit.”
“Jadi ini siapa?” Karena bosan mendengar bantahan anehnya, Farhan menunjukkan sebuah foto melalui ponselnya. Farhan menunjukkan foto yang disebar ke grup 11 IPA 1 SMA Rajawali. “Lihat ini!”
Ryan memperhatikan sosok yang tengah terbaring di atas tempat tidur. Di tangannya ditancapkan selang infus. Itu dirinya. Benar. Itu dirinya.
“Kamu itu sudah dua hari di rumah sakit, dan baru pulang sekarang.” Farhan memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku.
“Aku? Emang aku sakit apa?” Ryan masih belum bisa mencerna apa yang terjadi saat ini. Jelas-jelas ingatan di kepalanya mengatakan bahwa yang sakit bukanlah dirinya, melainkan mamanya. Ryan kekeuh dengan ingatannya. Pagi hari tadi sebelum berangkat ke sekolah, dia melihat dengan mata kepalanya sendiri kalau mamanya itu pingsan dan dilarikan ke rumah sakit. Lalu bagaimana bisa Farhan bilang kalau dia yang sakit.
“Dehidrasi,” jawab Farhan kesal. Dia merasa temannya itu aneh. Bagaimana bisa dia yang sakit, dan dia pula yang lupa.
Ryan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Apa lagi ini? Dia dehidrasi? Dokter bilang kalau mamanya hanya dehidrasi ringan. Sekali lagi bukan dia yang dehidrasi.
“Aku gak sakit, Han. Yang sakit itu mamaku.” Ryan memberikan penegasan. “Mamaku pingsan tadi pagi saat aku mau berangkat sekolah.”
Farhan berdecak. “Ada-ada aja kamu.” Farhan membasahi tenggorokannya. Dia meminum setengah gelas air putih untuk menyadarkan temannya itu. “Kamu berangkat sekolah? Di hari minggu?”
Apa Ryan tidak salah dengar? Hari ini hari minggu? Bukannya ini seharusnya hari selasa. Ryan termenung. Dia mencoba mengingat betul-betul hari apa sebenarnya sekarang.
Kemarin pelajaran sejarah bersama Bu Ratih. Pelajaran sejarah itu hanya ada di hari senin. Karena mereka anak IPA, jadi pelajaran sejarah hanya dipelajari seminggu sekali. Maka jelas, seharusnya hari ini hari selasa, bukan hari minggu.
“Jangan bercanda deh, Han. Kamu pasti mau ngerjain aku, kan?”
Farhan terkekeh. “Seharusnya aku yang bilang itu sama kamu. Atau jangan-jangan kamu jadi aneh setelah sakit?”
Ryan masih bingung dengan apa yang terjadi. Kali ini untuk mencari hipotesis saja terasa sulit. Semua jawaban perkiraan yang muncul di kepalanya sangat-sangat tidak relevan dengan apa yang terjadi. Jika Farhan sengaja melakukan ini untuk memberikan kejutan di hari ulang tahunnya, itu tidak mungkin. Ulang tahunnya dua bulan yang lalu. Jika sengaja ingin menipunya, lalu foto siapa yang tengah terbaring di ruang perawatan itu.
“Kamu masih belum percaya?” tanya Farhan sedikit menantang. Dia mulai geram dengan Ryan yang pura-pura lupa dan bertingkah aneh.
Ryan menggeleng ragu.
“Sebentar.” Farhan berjalan mendekati kalender yang tergantung di dinding dekat kamar mandi tamu. Diambilnya kalender itu dibawanya untuk menunjukkan kepada Ryan bahwa hari ini lah hari minggu.
Ryan yang melihat tanggal yang ditunjuk Farhan seketika membulatkan matanya. Benar. Hari ini memang hari minggu. Keyakinannya bahwa hari ini adalah hari Selasa seketika melebur bak timah yang dipanaskan.
“Masih belum percaya?”
Ryan tidak merespon. Dia masih tenggelam dalam pikiran rumitnya. Lalu yang terjadi tadi pagi itu apa?
“Tapi…”
“Tapi apa lagi?” Farhan baru selesai mengembalikan kalender ke tempatnya semula. “Sepertinya kamu berhalusinasi, Yan. Kamu perlu istirahat lebih.”
Pikirannya seperti benang kusut sekarang. Dia kesulitan mencari ujungnya. Ryan mencoba mencari inti dari pembicaraan mereka tadi. Dia bersikeras sebelumnya bahwa hari ini hari selasa karena baru kemarin belajar sejarah di kelas. Tapi Farhan bilang hari ini hari minggu dan dia sudah dua hari tidak masuk sekolah. Yang membuat Ryan semakin bingung, bagaimana bisa fotonya berbaring di rumah sakit sebagai pasien itu bisa ada. Dari mana foto itu berasal?
Ryan mulai mencoba mengingat kejadian mulai dari pagi hari. Setelah bangun dan bersiap untuk pergi ke sekolah, dia turun ke bawah, sarapan pagi bersama Papa dan mamanya. Belum ada yang aneh di sana. Ryan bahkan ingat dia sempat menanyakan kenapa Bi Narti tidak masuk kerja hari ini. Lalu mamanya menjawab kalau anak Bi Narti melahirkan, makanya tidak bisa masuk kerja.
Setelah selesai sarapan, dia berpamitan untuk pergi ke sekolah. Masih berjalan beberapa meter saja, dia melihat mamanya itu pingsan dari pantulan kaca spion. Papanya langsung membawa mamanya ke rumah sakit untuk diperiksa.
Saat menunggu, dia mendapat telepon dari Farhan menanyakan kenapa dia tidak masuk sekolah. Sampai di situ masih belum ada yang aneh. Semua berjalan tanpa ada sedikit pun masalah. Lantas kenapa bisa sekarang menjadi hari minggu? Apa mungkin dia tertidur selama itu? Dari hari selasa lalu dia terbangun di hari minggu?
Ryan menggelengkan kepalanya mencoba menyadarkan diri. Lama sekali. Atau mungkin harinya mundur? Itu malah semakin aneh. Tidak mungkin hari berjalan mundur.
“Kamu mikirin apa?” tanya Farhan. Wajah temannya itu terlihat serius sekali.
“Sebentar.” Ryan berlari ke atas menuju kamarnya untuk mengambil ponsel dan segera kembali ke bawah. Dia membuka daftar panggilan telepon di ponselnya. “Kenapa gak ada?”
“Apa yang gak ada?”
“Kamu tadi pagi nelpon aku, menanyakan kenapa hari ini gak masuk sekolah. Seharusnya nama kamu ada di daftar panggilan masuk.”
“Terus sekarang gak ada?”
Ryan menggelengkan kepala. Jarinya masih sibuk bolak-balik menggulir layar ponsel mencari nama Farhan.
“Sudahlah. Sepertinya kamu memang harus istirahat.”
Ada apa ini sebenarnya?
__00__
Ryan tengah berbaring di atas tempat tidur sekarang. Farhan sudah pulang beberapa menit yang lalu. Dia mengatakan kalau Ryan harus istirahat agar berhenti berhalusinasi. Farhan beranggapan kalau Ryan itu pasti masih kurang fit, makanya berpikiran aneh.
Ryan malah merasa itu terbalik. Dia merasa bahwa dirinya baik-baik saja dan tidak berhalusinasi. Ryan tidak sakit. Dia merasa sehat-sehat saja. Yang aneh sekarang kenapa hal semacam ini bisa terjadi?
Ryan merubah posisinya menjadi duduk. Dia melirik ke arah jam. Pukul 3 sore sekarang. Ryan belum bisa menemukan jawaban untuk menjawab apa yang sedang terjadi sekarang. Otaknya masih buntu, belum bisa menemukan titik terang. Yang biasanya dia bisa dengan mudah menemukan hipotesis, kini terasa sulit sekali.
Ryan mengacak rambutnya frustasi. Ada apa sebenarnya?
Baiklah. Dia memutuskan untuk mengingat kembali rangkaian peristiwa yang terjadi mulai pagi hari tadi. Pertama dimulai dari dia bangun pagi. Selepas mandi dan memakai seragam, Ryan turun ke bawah untuk sarapan bersama mama dan papanya. Ryan bertanya kepada mamanya kenapa Bi Narti tidak masuk kerja hari ini. Mamanya menjawab kalau anak Bi Narti melahirkan, itu sebabnya dia tidak bisa hadir.
Setelah sarapan, mamanya itu ikut keluar mengantarkan mereka sampai ke depan rumah. Baru saja beberapa meter mobil papanya berangkat, mamanya pingsan lalu dilarikan ke rumah sakit. Dia bersama papanya menunggu di depan ruangan. Setelah dokter keluar dan memberitahukan bagaimana kondisi mamanya, mereka berdua masuk ke dalam untuk melihat mamanya.
Papanya izin keluar karena ada urusan. Tinggallah Ryan bersama mamanya di dalam. Karena mengantuk, dia memutuskan untuk tidur, lalu bermimpi aneh.
“Apa karena mimpi itu?” gumamnya.
Ryan baru sadar. Mungkinkah mimpi itu asal muasal kejadian aneh ini?
“Tidak, tidak.” Ryan menggelengkan kepalanya cepat-cepat. Mimpi itu hanya bunga tidur. Lagi pula, mimpi itu tidak mungkin bisa terwujud di dunia nyata. Apalagi dengan makhluk yang dilihatnya dalam mimpi. Griffin—makhluk mitologi itu belum pernah terlihat sekali pun penampakannya di muka bumi ini.
Tidak. Mimpi itu bukanlah penyebab kejadian aneh ini. Ryan merasa itu tidak mungkin. Tapi di sini lain, dia juga merasa mimpi itu ada sangkut pautnya, tapi apa?
Sekali lagi Ryan mencoba mengingat rentetan kejadian-kejadian yang berlangsung mulai pagi tadi. Dimulai dia bangun tidur hingga tertidur di rumah sakit. Hampir saja lupa. Ryan melupakan bagian mamanya membawa kardus. Paket itu.
Ryan langsung turun, memeriksa bawah meja belajarnya. Paket itu menghilang. Kardus berukuran sedang itu tidak ada lagi di bawah meja belajarnya. Ryan yakin, benar-benar yakin kalau dia meletakkan kardus tersebut di bawah meja belajarnya.
Dia bergegas keluar untuk menanyakan perihal benda tersebut kepada mamanya.
__00__
“Ma?” Ryan memanggil mamanya. Dia sudah berkeliling rumah mencari mamanya, tapi mamanya tidak kelihatan juga.
Sekarang dia sedang berada di ruang tengah. Kamar, kamar mandi, halaman belakang, gudang, atap, semua ruangan sudah Ryan periksa, dan mamanya tidak ada. Kalau pergi, mobil mamanya masih ada di garasi. Lantas ke mana mamanya sekarang?
Ryan duduk di sofa. Dia berniat untuk menghubungi mamanya.
“Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif…”
Ryan menjauhkan ponselnya dari telinga. “Mama ke mana, sih?”
Tidak biasanya mamanya itu menghilang seperti ini. Mamanya selalu meminta izin jika ingin berpergian.
Pintu kamar mandi tamu terbuka. Sosok Riana keluar dari sana.
“Mama?” Ryan kaget. Perasaan dia juga sudah memeriksa kamar mandi itu, dan mamanya tidak ada di sana.
Ryan berdiri, mendatangi mamanya. “Mama kok bisa ada di dalam?”
“Mama memang dari tadi di sana. Perut mama mules,” ujar Riana memegangi perutnya.
Aneh, batin Ryan. Ryan sudah memeriksa semua bagian dari rumahnya, dan dia tidak menemukan mamanya di mana pun. Tapi kenapa mamanya muncul dari kamar mandi tamu itu?
Bersambung...