Bab 19. Fakta baru

1562 Words
Ternyata benar, mayat itu adalah Maury. Ryan sudah mengonfirmasi, dia menghubungi Sinta—sahabat Maury—menanyakan apakah benar jasad itu Maury. Sinta membenarkan, dia sendirilah yang menemukan Maury dalam keadaan mengenaskan itu. Sinta mengatakan kalau dia curiga dengan Maury sudah berhari-hari tidak masuk sekolah. Rasa curiganya membawa Sinta untuk memeriksa sendiri apa yang terjadi dengan Maury. Setibanya Sinta di rumah Maury, Sinta tidak menyangka akan menemukan sahabatnya dalam keadaan mengenaskan seperti itu. Maury tergeletak masih mengenakan seragam SMA-nya, tubuhnya sudah dipenuhi belatung—Maury membusuk, bau sekali. Ryan ingat betul apa yang disampaikan oleh reporter tadi sewaktu mereka sarapan pagi. Mayat Maury diperkirakan sudah membusuk hampir sebulan lamanya jika dilihat dari kondisinya ketika ditemukan. Kendati demikian, hasil autopsi yang akan menjelaskan bagaimana Maury bisa meninggal. Ryan merasa ada yang aneh dengan kematian Maury. Jika perkiraan polisi benar, tentu keadaan akan semakin rumit. Seharusnya mayat Maury baru empat hari saja, bukan? Dua hari Maury tidak masuk sekolah, lalu Ryan juga sudah dua hari berada di kampung halaman pamannya. Itu artinya baru empat hari kematian Maury, tapi kenapa Polisi mengatakan kalau mayat Maury sudah membusuk hampir satu bulan? Itu bisa jadi benar jika dilihat dari kondisi yang Sinta ceritakan. Yang menjadi pertanyaan sekarang, kenapa baru empat hari, dan tubuh Maury sudah membusuk parah sekali? Setelah selesai sarapan, semua kembali ke aktivitas mereka masing-masing. Bayu sudah berangkat ke sekolah lima belas menit yang lalu. Adi melanjutkan memberikan pakan burung, dan Ani mencuci semua piring kotor. Ryan dan Farhan masuk ke kamar Bayu. Di luar cahaya matahari mulai berubah dari hangat menjadi terik. “Apakah kamu tidak merasa ada yang aneh, Farhan?” tanya Ryan. Dia tidak tahan membendung pikirannya. “Aku merasakannya, Ryan. Kematian Maury ini terbilang aneh.” “Kamu benar. Seharusnya tubuh Maury sekarang masih membengkak saja, belum sampai dimakan belatung hingga hampir tinggal tengkoraknya saja.” “Itu juga yang aku pikirkan sejak tadi. Kenapa itu bisa terjadi?” Farhan duduk di pinggir tempat tidur, Ryan memilih duduk di kursi belajar Bayu. “Kita ke sana,” ujar Ryan tiba-tiba sambil berdiri. “Maksud kamu?” “Kita harus ke rumah Maury untuk mengetahui apa yang terjadi.” Farhan berdiri. “Kita tidak boleh asal pergi, Ryan. Bukankah sebentar lagi sudah waktunya kamu berlatih?” Farhan mengingatkan. “Tapi aku tidak bisa membiarkan rasa penasaranku ini. Aku merasa ada yang ganjil dengan kematian Maury, dan entah mengapa aku merasa itu ada hubungannya dengan dunia Zalaraya.” “Maksud kamu?” “Lupakan. Apa kamu bisa membuka portal seperti papaku dan Bi Narti?” Farhan menggeleng. Dia tidak bisa melakukan itu. Ryan menghela napas. Jika Farhan tidak bisa membuka portal, lantas bagaimana cara mereka bisa tiba di rumah Maury. Kalau dia meminta izin kepada pamannya, pasti tidak akan dibolehkan. “Cincin berlian,” ujar Farhan tiba-tiba membuat Ryan mengangkat tangannya. “Kamu benar. Tapi aku tidak bisa menggunakannya.” Farhan meminta cincin itu, dia tahu cara menggunakannya. “Siap?” Farhan memastikan, dibalas anggukan oleh Ryan. Tiga detik setelah Farhan mengatakan “siap”, di depan mereka muncul secarik cahaya berwarna biru terang, dari kecil perlahan-lahan membesar. Tengahnya berputar membentuk pusaran, sekarang ukurannya sudah setinggi orang dewasa. “Silakan masuk, Yan.” Ryan masuk terlebih dahulu. Setelah Farhan masuk, perlahan portal mengecil, lalu terdengar seperti bunyi angin lewat, barulah menghilang. Ryan tidak merasakan apa pun. Begitu matanya terbuka, mereka sudah sampai di halaman belakang rumah Maury. “Kita tidak bisa muncul tiba-tiba di sini, Farhan. Mereka akan curiga,” bisik Ryan. Ryan benar. Apa jadinya jika orang-orang melihat mereka muncul tiba-tiba di rumah ini. “Lalu bagaimana? Kita juga tidak bisa menghilang lagi tanpa menggunakan portal.” Andai saja Bayu ada bersama mereka, keadaan ini akan lebih mudah untuk diatasi. Ryan ingat kalau Bayu bisa menghilang tanpa menggunakan portal. Ryan melihat pintu tua yang hampir rusak. Engselnya hampir terlepas dari kusen, dan kayunya terlihat lapuk. “Di sana.” Ryan menujuk pintu itu. Ryan berlari diikuti Farhan, mereka masuk ke dalam pintu itu. Ternyata pintu tersebut mengarah ke ruang bawah tanah rumah Maury. Keadaan gelap sekali. Mereka berada di sebuah ruangan, Ryan merasa demikian. Karena gelap, dia tidak bisa melihat apa-apa. Yang bisa mereka berdua rasakan hanya bau tidak sedap, sepertinya itu adalah bau kotoran tikus. “Sampai kapan kita di sini?” bisik Farhan. “Entahlah. Sampai mereka pergi semua.” Ryan dan Farhan duduk meringkuk. Mereka menunggu entah sampai kapan—menunggu yang bahkan mereka tidak bisa tahu apakah di depan sana orang sudah pergi atau belum. Mereka sama sekali tidak bisa mendengar suara dari luar, apalagi mengetahui yang sedang terjadi di sana. Mereka sekarang hanya bisa mendengar suara cicitan tikus yang semakin lama semakin banyak. Aroma kotoran tikusnya pun semakin menyengat hidung. Kepala Ryan sudah pusing, aroma kotoran tikus di ruang bawah tanah itu sangat menyengat sekali. “Ini masih pagi, Ryan, jika kita menunggu sampai mereka pergi semuanya, itu akan memakan waktu yang sangat lama.” Farhan benar. Ryan juga tidak mau pingsan karena terus-terusan menghirup aroma kotoran tikus yang amat sangat menjijikkan. Sekarang saja napasnya sudah tidak teratur karena terus-menerus menahan napas, membuang, lalu yang dihirup bukanlah udara segar, melainkan udara yang sudah bercampur aroma kotoran tikus. Ryan mengangguk. Mereka harus keluar sekarang. Tanpa membuang waktu, Ryan langsung beranjak keluar dari sana. Tidak susah, mereka hanya perlu berjalan lurus ke depan, lalu tiba kembali di pintu usang. Mereka berdua mematung. Di luar dugaan mereka, Ryan dan Farhan sama sekali tidak memikirkan kalau halaman belakang ini juga akan diperiksa oleh polisi. Ada tiga orang polisi sedang memeriksa. “Siapa kalian?” tanya salah satu polisi. Ryan tidak bisa menjawab. Ini tidak seperti yang direncakan, mereka berdua ditangkap, lalu dibawa ke kantor polisi. Polisi yang lain masuk ke dalam ruang bawah tanah dan memeriksa ruangan itu. __00__ Ryan menghela napas lega. Dia dan Farhan tidak sampai dijebloskan ke penjara. Sinta datang lalu menjelaskan siapa mereka dan tujuan Ryan dan Farhan datang ke ruang bawah tanah rumah Maury. Keberuntungan Ryan dan Farhan juga tidak sampai di situ saja. Ternyata ayah Sinta adalah salah satu anggota kepolisian di sana, jadi Sinta dapat lebih mudah membantu Ryan dan Farhan keluar dari kantor polisi. Sinta mengajak Ryan dan Farhan ke rumahnya. Mereka menurut. Itu adalah pilihan yang bagus untuk menanyakan banyak hal mengenai Maury. “Kenapa kalian tidak mengabariku kalau mau ke rumah Maury?” tanya Sinta. Gadis berambut sepinggang itu menuangkan minuman segar ke gelas Ryan dan Farhan. “Aku takut merepotkanmu, Sin,” Farhan memberikan alibi. Ryan paham mau ke mana Farhan membawa percakapan ini. Kejadian tadi itu sama sekali tidak terbayangkan oleh mereka. Lagi pula Ryan tidak mengira semuanya akan berakhir seperti ini. Tapi setidaknya hadirnya Sinta membuat mereka tidak sampai dintrogasi lebih. Bisa-bisa Adi tahu lalu Ryan akan dihukum. “Itu sama sekali tidak merepotkanku, Han, Yan. Kalian tahu, aku juga bertanya-tanya bagaimana Maury bisa mati mengenaskan seperti itu.” “Bisakah kamu menceritakan kepada kami tentang Maury?” tanya Ryan. Sinta mengangguk. “Apakah kamu ingat saat Maury memberimu hadiah?” “Aku ingat.” “Saat itu aku melihat keanehan. Saat kamu menolak hadiah dari Maury, dia langsung bersedih di kelas dan tidak berbicara padaku sedikit pun, padahal aku teman sebangkunya. Saat aku bertanya, dia tidak menjawab. Maury justru keluar kelas. Aku merasa ada yang aneh waktu itu. Biasanya Maury selalu terbuka padaku, tidak pernah menyembunyikan apa pun. Dia juga selalu mengutarakan emosinya kepadaku, mau itu sedih, bahagia, dan yang lainnya. “Aku mengikutinya hingga ke kamar mandi. Aku mendengar suara tertawa, tapi bukan suara perempuan, melainkan suara laki-laki, besar sekali. Tawa itu terdengar sangat menyeramkan, aku bahkan hampir tidak sanggup mendengarnya. Ketika tawa itu berhenti, Maury seperti berbicara sendiri. Aku tidak bisa mendengar jelas apa yang dia katakan, aku hanya mendengar dia menyebut nama belakangmu, Yan.” “Zalaraya maksudmu?” tebak Farhan. Sinta mengangguk. “Maury mengatakan Zalaraya, yang lainnya aku tidak bisa mendengar jelas.” “Lalu apa yang terjadi setelah itu?” Ryan bertanya antusias. “Aku tidak tahu. Karena kupikir mungkin terjadi sesuatu dengan Maury, aku masuk ke dalam. Maury menghilang.” “Menghilang?” tanya Ryan kaget. “Iya, Maury menghilang. Aku langsung mencarinya ke kelas, seluruh kamar mandi di sekolah. Aku menemukan Maury di UKS, tidur sambil memeluk hadiah yang kamu tolak.” Farhan dan Ryan saling pandang. Bagaimana bisa Maury menghilang. Lalu suara tawa siapa yang didengar Sinta. “Itu belum selesai, Yan. Aku menghampiri Maury, tubuhnya panas sekali, dia demam tinggi. Aku memanggil penjaga UKS, dia juga mengatakan hal sama bahwa Maury demam tinggi. Aku menelpon sopir pribadiku, meminta izin untuk Maury agar dibawa ke rumah sakit. “Di perjalanan tubuh Maury mendadak dingin, sedingin es. Aku terkejut. Perlahan Maury membuka matanya, dia menyuruhku agar jangan dibawa ke rumah sakit, Maury memintaku untuk mengantarkannya pulang saja. Aku tidak berpikir aneh-aneh saat itu. Tiba di rumahnya, Maury memintaku untuk pulang. Dia ingin sendiri. Aku mengiyakan, aku pikir mungkin Maury ingin sendiri karena kamu tolak hadiahnya. Setelah itu aku tidak tahu apa lagi yang terjadi dengannya.” “Yang membuatmu pergi ke rumah Maury apa?” Ryan masih bertanya, semakin banyak pertanyaan sekarang. “Aku sudah menghubunginya berkali-kali, namun tidak diangkat. Hari pertama dan kedua, aku masih berpikir mungkin dia masih butuh waktu sendiri. Aku semakin khawatir, aku memutuskan untuk melihat langsung bagaimana kondisinya. Lalu aku menemukannya sudah dalam keadaan mengenaskan seperti yang aku jelaskan di telepon.” Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD