Bab 22. Kekuatan

1585 Words
Sore ini Ryan memilih bersantai di halaman belakang rumah. Duduk di kursi plastik sambil membaca novel, menikmati angin sore yang berhembus cukup epik menurut Ryan. Sepanjang mata memandang, halaman belakang rumah Adi ditumbuhi pohon sawit yang sudah lebih mencapai dua meter tingginya. Buahnya juga sudah mulai menguning, sebentar lagi siap untuk dipanen. Kicauan burung-burung yang ada di dalam sangkar menambah suasana semakin menentramkan. Kicauan merdu itu membuat sensasi membaca jadi semakin mengasyikkan. Ryan sudah duduk bersantai di sana dari pukul 4 sore. Sekarang sudah jam 6, dan sebentar lagi matahari akan terbenam. Ryan sudah tiba di halaman ke-330, tinggal sedikit lagi, maka tamatlah novel yang dia baca. Untungnya Bayu punya novel lanjutannya, jadi selesai membaca novel Negeri di Ujung Tanduk, Ryan bisa langsung membaca series lanjutannya. Ryan menghela napas panjang. Ditutupnya novel, dia memandang lurus ke depan. Tiba-tiba dia kepikiran soal hasil autopsi Maury. Dia bertanya-tanya bagaimana bisa Penyihir Hyunfi memiliki kekuatan yang begitu hebat. Apakah kekuatan yang pamannya miliki sehebat Penyihir Hyunfi? Entahlah, Ryan tidak tahu. Dia baru melihat pamannya menutup pintu dengan ujung jari, belum ada yang lain. Semoga saja kekuatan pamannya dan dilatih olehnya bisa membuat Ryan nantinya dapat mengalahkan Penyihir Hyunfi. “Ryan…” “Ya, Bi?” Ryan berdiri—menongolkan kepala di pintu. “Tolong bantu, Bibi.” Ryan masuk ke dalam rumah. Ani menyerahkan bohlam kepada Ryan. “Tolong pasangkan ini, ya.” Ryan mengangguk. “Baik, Bi.” Ani sudah menyediakan tangga. Tinggal Ryan yang naik lalu memasangkan bohlam itu ke piting. Ryan terkejut kala bohlam itu berpindah ke tangannya. Bohlam tersebut menyala redup-redup. Karena terkejut, Ryan melepaskan bohlam itu dari tangannya. Adi yang melihat bohlam hampir jatuh ke lantai mengacungkan tangannya ke arah benda itu. Bohlam tersebut mengambang naik perlahan, berhenti tepat di wajah Ryan. Ryan menoleh. Dia tidak percaya apa yang barusan dia lihat. Bagaimana bisa bohlam tadi menyala ketika dia pegang. Adi menghampiri. “Biar aku saja.” Ryan menelan ludah, mundur dua langkah memberikan ruang kepada Adi untuk naik tangga. Adi mengambil bohlam yang mengambang, menaiki tangga, memasang bohlam tersebut. Setelah selesai, Adi mengangkat tangga besi, membawanya keluar. Ryan masih terkejut dengan apa yang terjadi. Dia tidak bisa berkata-kata. Ryan mengangkat kedua tangannya—memperhatikan setiap sisi dari tangannya. Bagaimana bisa bohlam itu menyala tadi? Walaupun menyala redup, tapi itu sudah cukup membuatnya terkejut. Ani tersenyum. Dia senang kekuatan yang ada di dalam diri keponakannya mulai terlihat. “Itu hebat, Ryan,” ujar Adi setelah memulangkan tangga ke tempatnya. “Kekuatanmu mulai muncul.” Adi merangkul Ani. Mereka berdua melihat ke arah Ryan. “Paman yakin apa yang legenda katakan memang benar ada dalam dirimu.” Dalam keadaan terkejut itu, Ryan masih bisa mendengar perkataan pamannya barusan. Perkataan itu membuat Ryan harus bertanya apa maksudnya. Adi melepas rangkulannya, mendekat tiga langkah. “Mulai besok kamu harus berlatih. Jangan kabur seperti tadi.” Adi menepuk bahu Ryan, pergi ke ruang tengah. __00__ Pukul 7 malam. Acara makan malam digelar. Farhan seperti biasa, menikmati makanan yang Ani sediakan dengan sangat lahap. Sesi makan malam hari ini seperti kemarin, dihiasi percakapan ringan mengenai sekolah Bayu, burung peliharaan Adi, dan kejadian lucu Ani saat berbelanja ke pasar tadi sore. Ryan menikmati makannya sambil mendengarkan. Dia sama sekali tidak tertarik untuk bergabung. Dia lebih fokus ke kejadian tadi—saat bohlam menyala di tangannya. Ryan merasakan shock luar biasa. Dia belum bisa mempercayai atau menerima seutuhnya bahwa memang dia ditakdirkan untuk memiliki kekuatan. Lima belas menit berlalu, sesi makan malam telah selesai. Berbeda dengan Bayu dan Farhan, Ryan memilih untuk pergi ke kamarnya—tempat pertama kali Ryan istirahat setibanya di rumah Adi. Bayu dan Farhan bertanya kenapa Ryan memilih ke sana, namun Ryan enggan menjawab. Sampai di sana, Ryan mengunci pintu. Lampu yang sudah menyala sengaja dia matikan. Ryan ingin berada dalam gelap. Dia naik ke atas tempat tidur, duduk memeluk lutut. Ryan tidak tahu kenapa dirinya jadi seperti ini. Ryan merasakan ketakutan yang sangat. Yang anehnya, dia malah mematikan lampu saat dia sedang ketakutan. Aneh. Tapi Ryan merasa dia tidak mau melakukan hal itu. Tiba-tiba saja tubuhnya bergerak sendiri mematikan lampu. Tiba-tiba saja Ryan merasakan haus yang amat sangat. Lama kelamaan tenggorokannya terasa panas sekali. Ryan memegangi lehernya. Dia berteriak, namun suaranya tertahan. Cepat-cepat Ryan turun dari tempat tidur, membuka pintu. Terkunci. Ryan memaksa menarik knop pintu, dipaksa, tidak juga bisa. Tenggorokannya sudah seperti mendidih rasanya. Tubuh Ryan berkeringat. Baju kaosnya bahkan sudah basah. Pintu tidak juga bisa dibuka. “AAAA….” Suara tertahan. Ryan terus menarik-narik kenop pintu, tidak juga bisa. Dia sudah tidak tahan lagi. Tenggorokannya seperti terbakar. Ryan mengepalkan tangannya. Tanpa dia sadari, kepalan tangannya itu mengeluarkan cahaya biru mengelilingi tangan Ryan. Tiga detik berikutnya, Ryan melepaskan pukulan. Bukan jebol, pintu itu justru terlepas dari engselnya, terpental sejauh tiga meter, terhenti karena menabrak dinding. Suara yang dihasilkan cukup untuk membuat semua yang berada di rumah bertanya-tanya. Farhan dan Bayu langsung keluar kamar melihat apa yang terjadi. Ani dan Adi yang sedang berada di ruang tengah langsung berlari menuju sumber suara. Setelah pintu terbuka, Ryan langsung berlari ke kamar mandi, mencelupkan kepalanya ke dalam bak. Terdengar suara desis saat Ryan memasukkan kepalanya ke dalam air. Perlahan, rasa panas di tenggorokannya menghilang. “Ryan!” Bayu menarik kepala Ryan dari dalam air. Napas Ryan tersengal. Dia duduk menggelepar di lantai kamar mandi. “Apa yang terjadi?” tanya Ani. Mereka semua sudah berada di kamar mandi. “Bawa Ryan ke kamar!” pinta Adi. Farhan dan Bayu langsung membantu Ryan berdiri, menuntunnya menuju kamar. Ani menghidupkan lampu kamar. Farhan dan Bayu menidurkan Ryan di atas tempat tidur. Saat menuju kamar, Ryan pingsan. Tubuhnya terus berkeringat. Badannya juga panas sekali. Ani keluar kamar, kembali lagi membawa kompresan. Dia mengopres kepala Ryan. Kain di atas jidat Ryan sampai mengeluarkan asap karena saking panasnya suhu tubuh Ryan. “Sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Ani pada Adi. “Aku juga tidak tahu.” Adi mendekat—meletakkan tangan di jidat Ryan. Belum sampai satu detik, Adi mengangkat tangannya mengaduh kepanasan. “Bagaimana keadaan Ryan? Apakah dia baik-baik saja?” Di antara semuanya, hanya Farhan sendiri yang terlihat paling khawatir. Adi dan keluarganya memang punya pembawaan yang tenang. “Panggil Bi Narti,” pinta Adi—dengan wajah tenang seperti biasa. Ani mengangguk. Dia meninggalkan kamar. Farhan terus menatap khawatir Ryan. Tubuhnya tidak henti-hentinya mengucurkan keringat. Bayu terus membasahi kain kompres berulang kali. Satu menit, kain kompres langsung kering kaku seperti dijemur seharian. Adi berdiri melipat kedua tangan. Dia tengah memikirkan apa yang terjadi dengan Ryan sebenarnya. Ini juga pertama kalinya Adi melihat hal semacam ini. “Biar aku.” Farhan bergantian dengan Bayu. Bayu pergi berlari ke kamar mandi untuk mengambil wadah berisi air yang baru. Wadah yang tadi airnya sudah berubah menjadi panas. Setengah jam berlalu. Yang ditunggu akhirnya datang. Bi Narti menyuruh Farhan untuk minggir. Bi Narti membuka tas yang dia bawa. Bi Narti mengeluarkan sebuah daun berwarna ungu, bentuknya mirip sekali dengan daun papaya. Wajah Ryan tertutupi semua oleh daun. Perlahan dauh itu bersinar, namun tidak terlalu terang. Terlihat asap menguap ke atas. Sepertinya suhu panas dalam tubuh Ryan terserap semua oleh daun yang Bi Narti letakkan. Daun itu perlahan berubah warna menjadi hitam. Entah karena gosong atau memang cara kerjanya seperti itu. Bi Narti menyerahkan daun yang hitam tadi kepada Ani untuk dibuang. Lantas Bi Narti meletakkan daun baru di wajah Ryan. Sama seperti yang pertama, hanya dalam waktu lima menit, daun itu berubah lagi menjadi hitam. Hal itu terus dilakukan oleh Bi Narti sebanyak lima kali. Tepat di daun kelima, sudah sepuluh menit lamanya, namun daun itu baru menghitam Sebagian. Bi Narti mengangkat daun, memeriksa wajah Ryan. Tidak ada lagi keringat. Napas Ryan pun sudah teratur. Bi Narti menyerahkan dauh terakhir itu kepada Ani. Dia turun dari tempat tidur. “Biarkan Ryan beristirahat. Kita bicarakan di luar.” Farhan mengangguk. Semua berjalan menuju ruang tengah. “Apa yang sebenarnya terjadi, Bi Narti? tanya Farhan—tidak sabaran. “Apa yang dialami Ryan merupakan hal baru yang akan tercatat dalam sejarah Negeri Zalaraya. Tidak seperti yang kita duga selama ini. Kekuatan yang ada di dalam diri Ryan, bukan untuk dimunculkan, namun muncul sendiri. Kekuatan yang ada di dalam diri Ryan itu seperti makhluk, mereka memaksakan diri untuk keluar secara bersamaan. Namun karena tubuh Ryan belum siap untuk menerimanya, maka terjadilah hal semacam tadi.” “Itu artinya Ryan tidak membutuhkan pelatihan lagi?” tanya Bayu. “Tidak, Bayu. Ryan tetap harus diajarkan cara bela diri dan menggunakan senjata dengan benar. Satu lagi, tugasmu adalah membantu Ryan untuk mengontrol emosinya.” Kalimat yang terakhir bukan ditujukan kepada Bayu, melainkan Adi. “Kekuatan dalam diri Ryan sangat banyak, aku bahkan belum bisa menghitung berapa jumlahnya.” “Maksud, Bibi?” Farhan tidak mengerti. “Semua elemen kekuatan yang dimiliki penduduk negeri Zalaraya, semua ada di dalam diri Ryan.” “Benarkah?” Farhan tidak percaya denga napa yang dia dengar. Bi Narti mengangguk. “Namun untuk mengendalikannya secara bersamaan itu tidaklah mudah. Butuh waktu bertahun-tahun lamanya agar kekuatan Ryan menjadi sempurna.” Ani dan Adi saling tatap. “Lalu apakah Ryan juga membutuhkan waktu yang lama agar bisa menyempurnakan kekuatan itu?” Ani yang bertanya. “Aku tidak bisa memastikan.” Ini benar-benar di luar dugaan. Mereka selama ini beranggapan bahwa Ryan sama seperti mereka yang harus dilatih terlebih dahulu barulah kekuatan yang mereka miliki akan muncul. Nyatanya berbeda. Kekuatan dalam diri Ryan lah yang memunculkan dirinya sendiri. Mereka tidak pernah menduga hal itu terjadi pada Ryan. “Biar aku ceritakan sebuah kisah.” Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD