Bab 17. Pulang

1439 Words
Tanpa terasa jam sudah menunjukkan pukul 3 sore. Rangga akhirnya memutuskan untuk mengakhiri percakapan mereka. Sudah tiba saatnya untuk dia dan Riana pergi kembali ke Negeri Zalaraya. “Kalau begitu kami harus pergi, Pangeran,” Rangga memulai berpamitan. “Riana harus segera diobati.” Ani dan Adi serta Bi Narti mengangguk sebentar—setuju. Penyakit dan racun dalam tubuh Riana harus segera disembuhkan. “Hati-hati, Ma, Pa,” lirih Ryan. Riana melepaskan rangkulan tangan Ani, mendatangi Ryan, memeluknya erat. Riana tak kuasa menahan air matanya. Sekali lagi, Riana sudah sangat menyayangi Ryan. Situasi mendadak haru. Mereka semua bisa merasakan aura menolak perpisahan mengungkung mereka. Semua orang tahu kalau Riana ingin tetap di sana sampai Ryan benar-benar siap untuk datang ke Negeri Zalaraya—tempat kelahirannya. Cukup lama Riana memeluk Ryan tanpa mengendurkan pelukannya sedikit pun. Ryan juga demikian. Rasa kecewa terhadap mereka berdua sudah sirna digantikan rasa berterima kasih yang sangat kepada mereka. Kalau bukan Rangga dan Riana yang merawatnya, serta jerih payah orang-orang yang setia pada ayahnya, mungkin Ryan sudah hanya tinggal nama saja. Ani menghampiri, membujuk Riana untuk menyudahi sesi berpelukan—rangga sudah menunggunya. Dia sama sekali tidak memiliki kuasa untuk melerai pelukan itu. “Mama pamit, ya?” Riana memegang kedua pipi Ryan. Ryan menggenggam tangan Riana yang di pipi. “Mama tenang saja. Ryan pasti akan merebut kembali tahta itu dari Nevard.” Riana tidak sanggup sebenarnya untuk melepaskan tangannya dari pipi Ryan. Ani memegang bahu Riana, membujuknya untuk bersegera. Lebih cepat lebih baik. Rangga sudah keluar terlebih dahulu. Bi Narti menyusul. Atas perintah BI Narti, Ryan membuka Buku Bulan—membacakan mantra yang biasa digunakan untuk membuka portal menuju Negeri Zalaraya—mengikuti apa yang Bi Narti bacakan. Jarak dua puluh meter dari tempatnya dan Rangga berdiri perlahan muncul cahaya berwarna biru, perlahan membesar hingga seukuran orang dewasa. Tengahnya membentuk pusaran. Rangga melihat ke rumah, Riana sudah berjalan mendekat. Farhan, Adi, Ani, dan Riana tidak ikut turun, mereka hanya berdiri di teras rumah saja. Riana sampai. Mereka berdua langsung masuk ke dalam portal. Riana yang pertama kemudian disusul Rangga. Portal lenyap dua detik setelah mereka masuk. __00__ Setelah mama dan papanya pergi, Ryan masuk ke dalam kamar tempatnya beristirahat bersama Farhan. Bi Narti juga pulang ke rumahnya. Sebelum pulang, Bi Narti memberikan Buku Bulan kepada Ryan. Ryan bertanya untuk apa buku itu diberikan kepadanya? Bi Narti memberikan buku itu agar Ryan lah yang menjaganya. Lagi pula jika nanti dia siap, mereka akan bersama-sama pergi ke Negeri Zalaraya untuk merebut kembali tahta. Ryan bersandar, dia memandangi cincin berlian yang melingkar di jari manisnya. Berlian yang ada di atas ring itu jauh lebih kecil dibandingkan ukuran berlian itu semula. “Bagaimana cara papaku mengubahnya menjadi cincin, Han?” Farhan menoleh. “Hanya dengan menutup mata.” “Menutup mata?” Farhan mengangguk. “Papamu seorang pandai besi dulunya sebelum menjadi salah satu panglima terpercaya ayahmu.” Menarik. Dari apa yang dikatakan Farhan, papanya hanya memejamkan mata, lalu berlian itu langsung berubah menjadi cincin. Lantas apakah sistem kerja pandai besi di sana hanya memejamkan mata di depan besi, lalu benda besi tersebut otomatis menjadi pedang, atau pun benda lainnya sesuai yang diinginkan si pandai besi? Farhan mengiyakan. Itu hebat sekali. Farhan tersadar dengan apa yang barusan dia katakan. Dia barusan memanggil Ryan tidak sopan. Farhan meminta maaf, sama seperti Riana, dia tidak langsung bisa mengubah kebiasannya itu. Ryan tertawa. Itu bukan sebuah kesalahan. Lagi pula Ryan lebih nyaman untuk dipanggil seperti biasa saja. Ryan akan meminta hal tersebut kepada paman dan bibinya nanti. Pintu diketuk. Bayu yang masih menggunakan seragam berwarna putih abu-abu, lengkap dengan tas di belakang punggungnya. Bayu membungkukkan tubuhnya, memberi hormat. Ryan belum terbiasa diperlakukan sesuai dengan statusnya sekarang. Terasa asing dan tidak nyaman. Ryan langsung menghampiri Bayu, memeluknya. Sudah 8 tahun tidak bertemu, dan “sepupunya” itu terlihat tampan mirip pamannya. “Bagaimana kabarmu?” Bayu tersenyum. “Baik.” Tinggi mereka sama—180 cm. Sama-sama kutu buku, juara kelas, dan memiliki pelajaran kesukaan yang serupa, pelajaran Fisika. “Kamu dari mana?” Ryan membawa Bayu duduk di tempat tidur. Bayu membuka tasnya, mengeluarkan sebuah kertas berisi lima puluh soal pelajaran favoritnya. “Lihat ini.” Ryan langsung tersenyum kagum melihat kertas itu. Angka, huruf, dan berbagai simbol memenuhi permukaan kertas itu. Di bagian atas halaman kertas pertama tertulis “Olimpiade Tingkat Nasional”. Apakah dia tidak salah membaca? Benar-benar keren sekali. Andai saja di tingkat provinsi kemarin Ryan tidak salah mengisi satu soal, sudah pasti dia akan bertemu dengan Ryan di olimpiade sekarang ini—tingkat Nasional. Entahlah, nampaknya angan-angan Ryan untuk bertemu dengan Bayu di olimpiade Fisika mendatang tidak bisa terwujud. Fakta bahwa sekarang Ryan sudah mengetahui siapa jati dirinya akan membuatnya berangsur-angsur melupakan niatnya itu. Ke depannya, Ryan akan disibukkan dengan latihan, latihan, dan latihan. Ryan harus melakukan itu agar dia dapat merealisasikan harapan orang-orang yang sudah setia kepada ayahnya. “Kamu sudah makan?” tanya Bayu. Dia sudah selesai mengganti seragam sekolahnya dengan celana dan kaos hitam. Ryan mengangguk. “Aku tidak berselera, Bayu.” Nafsu makan Ryan hilang begitu saja setelah mengetahui perkara-perkara besar yang selama ini dirahasiakan darinya. “Tapi pangeran harus makan.” Ryan menggeleng. “Panggil aku seperti biasa saja. Aku lebih suka seperti itu.” "Mau aku ambilkan nasi?" Bayu memberikan penawaran. Ryan menggeleng, dia tidak mau makan. Akhirnya Bayu keluar kamar, dia menuju dapur untuk mengambil makanan. Ryan bersikeras tidak mau makan, dan malah menyuruh Bayu saja yang makan. Bukan ide buruk sebenarnya. Mengikuti olimpiade, mengerjakan banyak soal yang menguras tenaga otak pasti membuat lapar. Farhan juga ikut ke dapur untuk makan. Ryan belum bisa sepenuhnya melepas kepergian Rangga dan Riana. Dia sendiri masih berharap bisa dilatih oleh orang yang selama 17 tahun sudah membesarkannya. Meskipun Rangga dan Riana sudah menyerahkan Ryan kepada Adi sepenuhnya, namun tetap saja, jauh di lubuk hati Ryan, keinginan itu masih ada. Baiklah. Ryan memutuskan untuk mengerjakan saja soal-soal dari Bayu tadi. Rasanya itu pilihan yang lebih tepat ketimbang terus tenggelam dalam kesedihan. Ryan beranjak ke meja belajar Bayu, mengambil pulpen dari tempat pensil, mulai mengerjakan soal pertama. Tidak butuh waktu lama, selesai membaca soal pertama Ryan langsung mendapat jawabannya. Soal pertama hingga kesebelas semua terasa menyenangkan. Ryan tidak membutuhkan pencarian jawaban menggunakan rumus, dia langsung tahu jawabannya setelah membaca soal. Soal seterusnya, kali ini Ryan membutuhkan rumus, namun tetap bukan masalah rumit, Ryan dengan mudah bisa mengetahui jawabannya. Tanpa terasa setengah jam sudah berlalu dan Ryan telah mengerjakan tiga puluh soal. Pintu kamar terbuka, Bayu dan Farhan masuk bersamaan. Farhan merebahkan tubuh di tempat tidur, sedangkan Bayu menghampiri Ryan yang tengah asyik bermain dengan soal-soalnya tadi. Ryan tiba di soal keempat puluh lima. Ryan membutuhkan waktu tiga menit untuk berpikir di sana, akhirnya dia menemukan jawabannya lagi-lagi. Bayu menggelengkan kepala, ternyata Ryan juga hebat dalam hal ini sama sepertinya. Lima menit berlalu, dan Ryan sudah mengerjakan semuanya. Bayu mengambil kertasnya—memeriksa. “Hebat kamu, Yan. Ini benar semua!” Ryan mengembalikan pulpen ke tempatnya, lalu membunyikan buku-buku jarinya. “Benarkah?” Bayu mengangguk. “Sayang kamu tidak bisa ikut.” “Tidak apa-apa. Semoga lain kali bisa.” Ryan beranjak menuju tempat tidur, dia ikut rebahan di samping Farhan, sedangkan Bayu masih fokus menatap kertas soal yang sudah dijawab Ryan—dia masih membaca seluruhnya. Entah apa yang harus dilakukan sore ini, Ryan tidak tahu. Biasanya di jam seperti ini—saat-saat kosong Ryan akan menggunakan waktunya untuk membaca novel atau mengotak-atik rumus fisika. Tapi hari ini rasanya keinginan untuk melakukan itu hilang entah ke mana. Ryan juga tidak tahu, tapi memang harus dia akui, dia kehilangan mood-nya untuk melakukan apa pun. Farhan menoleh. “Kamu baik-baik saja, Yan.” “Mungkin,” Ryan bergumam. Untuk pertama kalinya, Ryan lupa makna dari kalimat “baik-baik saja”. Entahlah, dia sendiri juga tidak tahu apakah dia baik-baik saja atau tidak. Sekarang dia bukanlah Ryan yang dulu, Ryan yang hanya fokus memikirkan sekolah dan masa depan, atau yang selalu mencari hipotesis di kala rasa penasaran hadir di kepalanya. Kini fokusnya bukan lagi itu. Di pundaknya sekarang ada banyak sekali harapan dari pengikut setia ayahnya. Ryan, seorang pemuda berusia 17 tahun yang kini memiliki status sebagai seorang pangeran dari Negeri Zalaraya—negeri yang sama sekali belum pernah dia datangi. Ryan harus mempersiapkan dirinya untuk itu. Mau tidak mau, itulah kebenarannya sekarang. Dia tidak bisa menolak atau pun menghindar, ini sudah ditakdirkan. Yang bisa Ryan lakukan sekarang hanyalah mengikuti arus. Besok dia akan mulai berlatih bersama pamannya. Jika ingin mengalahkan Nevard, maka Ryan harus berlatih sekuat tenaga. Dia sudah melihat bagaimana kuatnya Penyihir Hyunfi, lalu bagaimana dengan kekuatan Nevard? Pasti jauh lebih kuat. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD