BAB 4

1449 Words
Mikayla bangun sangat pagi. Setelah bersiap ia langsung keluar kamar. Dan … secara kebetulan pun, ia melihat Justin baru keluar dari kamarnya dan sudah bersiap untuk ke kantor. Mikayla berusaha menyapanya dengan hangat. "Morning, Justin," sapa Mikayla, mencoba menetralisir suasana. Setelah apa yang terjadi malam kemarin. Namun, Justin melewati Mikayla begitu saja. Ada apa lagi ini? Justin melangkah keluar gedung dan menuju gedung depan dan Mikayla menyusulnya. "Aku--" Belum juga Mikayla melanjutkan perkataannya, tatapan Justin membuat Mikayla sedikit takut. "Apa? Kamu kenapa?" tanya Justin sedikit kasar. "Kau--." "Apa? Jangan berusaha ramah padaku, ya. Aku tidak suka padamu, jadi tak usah mendekatiku," kata Justin. "Kau tak suka padaku?" Justin mendekati Mikayla dan perempuan itu pun berjalan mundur. "Jadi … kau berpikir aku menyukaimu karena kejadian semalam di saat aku menciummu? Bukankah sudah jelas apa yang ku katakan semalam? Aku tak merasakan apa pun, ingat itu," tekan Justin, membuat Mikayla menghela napas. "Terus?" "Apa cukup jika aku bilang itu hanya sekedar permainan? Dan … kau adalah bonekanya?" Mikayla membulatkan matanya penuh karena ia merasa sangat sakit hati dengan jawaban Justin yang sudah menbuat tubuhnya seperti mainan baginya. "Kau melakukan itu karena permainan? Apa maksudnya? Aku boneka? Tapi … seorang lelaki tak bermain boneka, bukan?" kata Mikayla. Justin menatap Mikayla tajam, ia tak suka dengan tatapan ini, benar-benar memenjarakan Mikayla. "Kau-- " "Sudahlah, s**t!" umpat Justin sangat kesal dan pergi meninggalkanku dengan perasaan yang tak karuan. Apa? Dia melakukan itu padaku hanya sekedar permainan? Dan … aku adalah bonekanya? Ada apa ini? Dan … aku begitu menerimanya. Mikayla berperan dengan pikirannya sendiri. Mikayla menitikkan air mata. Mikayla tak menyangka jika Justin ternyata , mempermainkannya. Mikayla merasa begitu terhina. Sangat-sangat terhina Perempuan itu merasa seperti jalang saja, meskipun Mikayla tahu jelas Justin menciumnya karena ingin merasakan sesuatu, tapi dia tak merasakan apa pun dan apa yang Mikayla harapkan? **** Sampai di ruang makan. Mikayla memperbaiki dandanannya dan mengusap wajahnya, mencoba terlihat baik-baik saja. Karena tak ingin memperlihatkan wajah sedihnya di depan Darren, Nancye serta Starla. Mikayla melihat seorang perempuan yang tak ia kenali sebelumnya berada di dekat Justin, perempuan itu menatap Mikayla penuh dengan pertanyaan. "Ayo, Sayang, duduk di sini," ajak Nancye. "Siapa dia, Aunty? " tanya perempuan cantik yang duduk di samping Justin. Mikayla lalu duduk di samping Nancye dan sesekali melihat ke arah Justin yang sedang menikmati sarapannya dengan wajah yang begitu tampan dan dingin. ‘Jangan bilang aku-- Aku jatuh cinta padanya? Tak mungkin hanya karena cinta semalam, bukan? Dan … jelas itu bukan ciuman, tapi percobaan bagi Justin.’ batin Mikayla. "Kenalkan, Sayang … ini ponakan Uncle, namanya Jessie,” kata Darren. “Dan … Jessie ini calon menantu Aunt namanya Mikayla," sambung Nancye. Ponakan? Tapi, jika Ponakan kenapa dia menatap Justin seperti itu? tanya Mikayla pada dirinya sendiri. "Apa ? Calon menantu? Maksudnya--" Jessie sepertinya tak percaya. "Iya, Sayang, dia calon istri Justin," jawab Nancye. "Kok aku tidak pernah denger sebelumnya, Aunt? Jika … Justin akan menikah." "Kamu ‘kan berada di Singapore selama ini bagaimana kamu akan tahu, Nak," sambung Darren. "Dia cantik ‘kan, Kak Jes?" tanya Starla sembari merangkul Mikayla. Starla memang anak yang manja. Dia selalu saja dekat dengan Mikayla entah alasannya karena ia benar-benar menyukai Mikayla atau tidak. "Dia hanya calon istri bagi Mommy dan Daddy, tapi tidak bagiku," kata Justin seraya beranjak dari duduknya, hendak meninggalkan ruang makan, namun Darren memukul meja makan dan langkah Justin terhenti. Semua orang yang ada di ruang makan terkejut termaksud beberapa maid yang sedang berdiri di setiap pojok. "Kamu mau kemana?" tanya Darren dengan tatapan marah ke arah Justin yang sedang berdiri. Nancye tahu saat ini suaminya sedang marah sampai beberapa kali ia berusaha menghentikan Darren, tapi tak juga berhasil. "Sayang, kau menakutkan semua orang," kata Nancye. Darren tak perduli dengan perkataan istrinya dan beranjak dari duduknya menghampiri putranya yang kini sedang berdiri membelakanginya. Selama ini … Darren selalu mendengar perkataan istrinya tapi untuk saat ini tidak, Justin sudah keterlaluan memperlakukan Mikayla. "Kau sudah pernah mengatakannya, bukan? Jika kau akan mendengar apa pun perkataan Daddy? Daddy sudah berusaha menjadi yang terbaik buat kamu, tapi apa balasannya? Mikayla adalah calon istrimu, sebentar lagi kalian akan tunangan dan menikah setelahnya, waktu itu kau sendiri yang mengatakan setuju akan perjodohan ini, tapi sekarang kau bersikap beda, apa yang ada di pikiranmu sebenarnya? Kau sudah berani memberontak di depan Daddy? Begitu?" Darren dengan tegasnya. Justin tahu bagaimana sikap ayahnya mendidiknya. Berbeda dengan ibunya yang selalu mendukungnya. Namun, kali ini berbeda Nancye mendukung suaminya untuk menjodohkan Justin dengan Mikayla. Nancye menghampiri suami dan putranya. "Sayang, jangan begini, ayahmu benar, Nak," sambung Nancye. "Mana Mommy yang dulu? Yang selalu mendukungku? MANA?" teriak Justin. "Aku tidak suka dan tak menerima perjodohan ini, apa Daddy dan Momny pernah bertanya bagaimana perasaanku? Aku tak suka perjodohan ini dan dia, aku tak menyukainya." Darren hendak menampar putranya, namun Nancye menghentikannya dengan menggenggam tangan suaminya. Darren pun menurut. Nancye melangkah meninggalkan ruang makan yang saat ini sedang dengan situasi menegangkan. Darren memijat pelipis matanya dan Justin memilih menyusul ibunya. Justin melihat ibunya sedang duduk di ruang keluarga arah Timur. Ruangan yang biasa di pakai Justin untuk berpikir dekat api unggun. Justin dengan perasaan bersalah menghampiri ibunya dengan duduk di bawah Nancye yang sedang duduk di atas sofa. "Mom," panggil Justin. "Ada apa, Nak?" tanya Nancye yang mencoba bersikap biasa dan mengusap rambut putranya yang kini sedang menyandarkan kepala di pahanya. "Mommy marah sama aku?" "Siapa yang marah, Sayang? Mommy tidak marah sama sekali," kata Nancye sembari mengusap rambut putranya. Nancye tak ingin bersikap seperti suaminya karena baginya mengasari Justin hanya akan membuat Justin semakin memberontak saja. "Maafkan aku, Mom, aku memang salah tapi ‘kan Mom tahu kenapa aku bersikap seperti ini." Justin mengadu. "Mom, aku dan Jessie pernah menjalin sebuah hubungan yang sangat serius dan pada akhirnya aku kecewa karena Jessie meninggalkanku demi tujuan lain, jika sekarang aku di suruh menerima perjodohan dengan paksa, aku seperti terkena pukulan yang berlipat, Mom," kata Justin. "Mom mengerti, Nak, tapi kamu ‘kan tahu ayahmu bagaimana, Mommy juga bisa apa? Bukankah seorang istri harus menuruti suaminya?" "Aku akan menuruti apa pun yang Mommy katakan, jika dengan tunangan bisa membuat Mommy senang, baik aku akan melakukannya, tapi jika memaksa aku bersikap baik kepada wanita itu, aku sungguh tidak bisa, Mom," kata Justin. "Berusaha-lah, Nak, bersikap baik pada Mikayla, dia anak yang baik, dia wanita yang dapat membuatmu melupakan Jessie dan Mommy tak akan memaksamu untuk memilih di antara dua pilihan yang sulit." Justin memilih tak mengatakan apa pun lagi dan hanya bersandar di pelukan Nancye. ‘Maafkan aku, Mom, tapi aku tak tertarik kepada wanita itu, dia jelek.’ batin Justin. Seakan perasaannya menjadi tenang ketika berada di pelukan ibunya. Di balik pintu, Mikayla mendengar semua pembicaraan Justin dan Nancye. Ketika ia hendak menuruni tangga, karena selama berada di mansion ia tak pernah melihat tangga menuju ke ruangan ini sebelumnya. "Jadi … itu alasan kenapa Justin tak bersikap baik padaku? Jadi … Jessie adalah mantan kekasihnya? Tapi kenapa dia bisa menjadi ponakan Aunty dan Uncle? Ada apa ini ? Kenapa aku merasa menjadi pengganggu dalam keluarga ini?" Mikayla berperang dengan pikirannya sendiri. Mikayla meninggalkan ruangan bawah tanah dan menitikkan air mata. ‘Kenapa aku bisa berada di sini? Kenapa? Kenapa takdir membawaku kemari? Kenapa Daddy memutuskan untuk mempercayakanku kepada keluarga ini? Keluarga ini sangat baik padaku, tapi aku tak tahan dengan sikap Justin yang tak pernah menghargaiku sebagai seorang wanita dan hanya menjadikanku mainannya,’ batin Mikayla. Di ruang keluarga bagian gedung belakang, Jessie sedang duduk memikirkan tentang rencana pernikahan Justin. Ia terlihat sangat gelisah. "Apa yang kau lakukan di sini, Jes? Aunty pikir kamu di depan," tanya Nancye seraya duduk di samping Jessie. "Oh … Aunt," kata Jessie. "Bagaimana kabar Ayah dan ibumu, Nak?" "Mommy dan Daddy akan kemari minggu depan, kebetulan Daddy harus mengurus sesuatu di rumah sakit London di sini, Aunt, sekalian berkunjung kemari," jawab Jessie. "Syukurlah. Aunt sangat senang jika Ayah ibumu berkunjung, sudah lama Aunt tak pernah bertemu dengan mereka," kata Nancye. "Tapi … Aunt…." "Ada apa, Sayang?" "Apa benar perempuan yang tadi adalah calon istri Justin? Aku bertanya hanya ingin meyakinkan diri sendiri saja." "Iya, Nak. Mikayla sudah dua minggu tinggal di sini. Dia anak teman uncle," jawab Nancye. "Sebelumnya dia tinggal--" "Mikayla tinggal di New York," jawab Nancye. Nancye tahu bagaimana dengan perasaan Jessie, hanya dengan melihat ekspresi wajah Jessie saat ini. Nancye harus ikut campur dalam kehidupan cinta putranya, karena hanya ingin yang terbaik untuk putra sulungnya. Awalnya Nancye menyerahkan semuanya kepada Justin dengan pilihannya. Tapi, Justin tak bisa melakukan apa pun. Nancye paham bagaimana perasaan Jessie, Nancye pun juga paham bagaimana perasaan Mikayla dan putranya, jadi ia akan terus berusaha menjadi penengah yang baik untuk semuanya., demi keluarga ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD