Sebuah kemalangan aku melihatnya

1578 Words
"Kalau tidak dipaksa juga aku tidak akan pernah mau datang kesini. Buat apa? Dan, kenapa aku harus tinggal disini, sementara aku punya rumah?" oceh Arga, tangan kanannya memegang knop pintu. Mendorongnya perlahan pintu berwarna putih, terlihat sedikit cahaya masuk ke dalam ruangan yang nampak sangat gelap. Tanpa ada penerangan sma seleksi. Aroma ruangan yang masih baru terasa sampai ke indra penciumannya. Dengan, penuh keraguan Arga mulai berjalan masuk, mengernyitkan wajahnya was-was. Tangan kanan terus mengibas tepat di depan hidung mancungnya. Langkahnya terhenti, mencoba memutar matanya, melihat sekeliling ruangan itu. Mencari tombol untuk menyalakan lampu. "Dimana cara nyalakan lampu?" gumam Arga, hingga dia menemuka tombol lampu. Saat menyalakan lampu. Dia pikir semuanya masih belum beres. Dan, pasti banyak debu. Tetapi, apa yang ada dalam pikiran Arga semuanya salah. Kamar itu bampak sangat bersih. Desain ruangan yang unik. Dan tak kalah bagus dengan rumah mewah di kota. Meski tidak begitu besar. "Lumayan!" ucap Arga. Menganggukkan kepalanya pelan. Dia mencoba untuk duduk di ranjang berwarna putih, yang pastinya akan menjadi teman tidurnya beberapa bulan kedepan. Sekitar dua bulan dia akan tinggal. Meski tidak terlalu lama juga, sih. Tak berhenti sampai disitu, Arga terus berkeliling meluhat beberapa ruangan disana. Ada ruang kerja. Dapur, ruang tamu, dan kamar mandi. Semuanta terlihat memang sangat bagus. Kamar mandi tak kalah mewah seperti kamar mandi dirumahnya. Arga membuka semua kelambu tang menutupi cahaya di ruangannya. Saat cahaya terik matahari menyorot masuk ke dalam ruangannya. Terlihat sangat jelas, semuanya. Ruangan itu memang sangat luas untuk dia. "Sepertinya aku harus mandi dulu." Arga memegang ke dua bahunya yang terasa sangat capek. Menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri bergantian. Merasa sangat puas, berkeliling. Arga segera berendam air hangat dalam bathup. Mencoba merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa sangat kaku. Pekerjaan yang banyak. Dan, jadwal dengan Client begitu padat. Membuat dirinya merasa sangat kelelahan. Bahkannitaknya juga butuh istirahat sejenak. Kring... Suara dering ponsel di sampingnya. Arga yang baru saja memejamkan matanya sejenak dalam bathup. Dia menghela napasnya kesal, mengambil ponselnya segera. Tanpa melihat siapa yang memanggil dirinya dari balik telfon. Arga, langsung mengangkat telfonnya. "Siapa?" tanya Arga kesal. "Maaf! Tuan, anda dimana sekarang. Saya, akan ambil beberapa file untuk tuan. Untuk beberapa hari kedepan perlu ada rapat susulan dnegan beberapa client." suara dari balik telfon terdengar terbata-bata. Seakan bibirnya gemetar mengatakan hal itu pada tuannya Arga. Salah bicara sedikit saja, bisa pekerjaan yang melayang. Apalagi jika salah dalam pekerjaan. Bisa lebih cepat, keluar dari pekerjaannya. Atau sedikit kena caci maki darinya. "Atur semuanya. Tetapi, hari ini. Jangan ada yang boleh menganggu aku. Aku tidak mau ada yang menelfonku lagi. Sekarang, aku lagi istirahat. Jadi kalian Handle semuanya." tegas Arga, sedikif meninggikan suaranya. Menambah lengking suaranya satu oktaf. "Emm... Ta---" "Kamu mau membantahku?" Arga mengeraskan suaranya. Orang dari balik telfon itu seketika terbungkam, tubuhnya tegap, dan bibir serta tubuhnya perlahan mulia bergetar takut. "I--Iya tuan! Siap laksanakan!" Arga mematikan ponselnya. Melemparnya ke samping. Dan, mulai memejamkan ke dua matanya kembali. "Jika ada yang berani menelfonku. Lama-lama bisa aku pecat dia sekarang juga." Arga merendam tubuhnya, dengan posisi mata santai. Laki-laki itu baru saja menelfon pekerjaan lagi yang sangat penting. *** Pov Raiysa. "Akhirnya.. Aku sampai rumah juga." Raiysa mulai menjatuhkan dirinya di atas sofa. Tubuhnya terasa kaku, tulangnya seakan mau rontok di buatnya. Raisya menarik ke dua tangannya ke atas, menarik otot-ototnya yang terasa sangat kaku. "Eh.. Bentar! Katanya ada orang penghuni baru yang menempati apartemen depanku. Dan, dia tetangga baruku." Raisya melebarkan senyum di bibirnya Senyum itu berubah seperti senyum licik. "Kenapa aku tidak datang saja? Siapa tahu dia bawa beberapa makanan? Atau setidaknya barang-barang yang bisa di pakai." gumam Raisya menarik turunkan alisnya. Ke dua alisnya tertaut seketika. Di saat pikirannya mulai terhubung kejadian tadi siang. Dia bertemu dengan laki-laki yang sama seperti orang yang direstauran. Benar-benar membuatnya kesal. Sudah dua kali pertemuan tidak ada yang berjalan baik. Laki-laki itu selalu di anggap sudah membuat dirinya kesal. Om Jutek, judes, apa dia memang satu aliran darah sama nirwana, kali ya? Oh, memang satu darah mungkin. Sama-sama jahat. Seperti biasanya. Hari yang begitu menegangkan sudah terlewatkan. Raisya segera bangkit dari sofa. Dan, mulai ganti baju sesegera mungkin. Dengan, wajah yan masih sedikit berantakan. Gadis cantik itu segera berjalan menuju ke arah pintunya. Memegang knop pintu terpapang jelas rasa ragu mulai membuka pintunya perlahan. Tak lupa menutupnya kembali. Raisya dengan penuh percaya dirinya. Dia berjalan santainya ke arah di mana tempat tinggal tetangga barunya. Dia tahu juga dari desas desus para tentangga yang hilang jika ada orang baru. Dan, dia dari keluarga kaya. Bahkan, para wanita mudah di apartemen itu mencoba untuk mendekatinya jika dia laki-laki tampan. Sebelum semuanya terjadi. Raiysa lebih dulu datang ke kamarnya. Memberi tahu semuanya nanti. Tok.. Tok.. Tok... Suara ketukan pintu penuh percaya diri. Sembari menunggu seorang membukakan pintu. Ke dua mata Raiysa berkeliling. Mengamati sekitarnya. Semoga tidak ada yang tahu! Tidak ada jawaban juga dari dalam kamar itu. Meski Raisya memencet tombol apartemennya. Dan, mengetuk pintunya berkali-kali. Masih saja diam, tanpa banyak bicara. Merasa tak sabar, dia mencoba melihat apakan pintu itu di kunci atau tidak. Dan, tenyata pintu itu tidak di kunci. Raisya menarik dua sudut bibirnya tipis. Senyum perlahan merekah, seakan sebuah rencana sudah ada di depan matanya. Ke dua kaki jenjang dan tangannya sudah tak sabar menarik tubuhnya segera masuk ke dalam apartemen itu perlahan. Ini apartemen miliknya? Kenapa beda? Jauh lebih bagus. Dan, ibu benar-benar sangat rapi. Raisya berjalan masuk melihat sekeliling ruangan itu. Hingga kakinya membawa dia masuk ke dalam sebuah ruangan. Di sebuah kamar yang nampak sangat luas, lengkap dengan kamar mandi dalam, balkon, dan lengkap dengan berbagai alat olah raga yang ada di samping balkon. Semua tertata begitu rapi. Dia wanita atau laki-laki, kenapa kamarnya juga begitu sangat rapi? "Hello... Excusme, Apa ada orang di dalam?" ucap Raisya was-was. Berjalan sedikit menundukkan badannya. Memelankan langkahnya, dan berjalan semakin masuk ke dalam kamarnya. Merasa tidak ada jawaban sama sekali. Raisya nemberanikan dirinya untuk duduk di king size berwarna putih. Terlihat sangat cantik. Dia mencoba membaringkan tubuhnya sebentar di king Size yang entah siapa tuannya yang akan menempetinya itu. Sosok malaikat baik, atau sosok raja iblis yang jahat. Entahlah. Cklekk.... Suara pintu terbuka, sontak Raisya melompat dari ranjangnya. Berdiri tegap menatap ke depan. Kedua matanya membulat sempurna saat seorang laki-laki berjalan dengan santainya, keluar dari kamar mandi. Rambut basah, dan hanya mengenakan handuk kecil yang menutupi pinggang sampai lututnya. Raisya mematung seketika, saat dia melihar pemandangan indah di depannya. Sebuah dadà bidang yang begitu sispek. Terlihat bekas kotak-kotak di perut dan dadànya. Raisya ingin menyentuhnya, tetapi dirinya merasa ragu. Dan hanya bis menatapnya, kedua matanya berbinar binar. Melihat hal tak terduga. Seketika Dia menelan lidahnya susah payah. Ini apakah anugrah yang diberikan Tuhan? Raisya menelan Salivanya susah payah. Entah tertimpa apa kepalanya, seakan dia tersadar dari rasa kagumnya. Raisya dengan cepat menoleh, menutup ke dua matanya. "Maaf!" hanya satu kata teruncap dari bibir wanita itu. Meski ada beribu kata dalam otaknya yang ingin keluar. "Aaaa...." Laki-laki itu membalikkan badannya. "Siapa kamu? Kenapa kamu masuk kedalam kamarku?" tanya Arga acuh. "Maaf! Tadi, aku hanya ingin menyapa kamu. Kata orang-orang ada tetangga baru. Dan kebetulan pintu kamu tadi terbuka. Jadi aku masak.. Eh.. Masuk maksudnya." "Aku ingin memastikan, jika tidak terjadi apa-apa." Raisya mentari napasnya. Dia terasa sangat gugup. Nada bicara sedikit belepotan. Aliran darah laki-laki itu mulai merangkak naik. Kepàlanya seketika ingin meledak jika melihat beberapa gadis aneh lagi dalam beberapa hari terkahir. Seakan hidupnya tertimpa kemalangan yang kuat biasa. Laki-laki itu berupaya untuk tetap tenang. Lagian, di adalah orang baru di tempat yang baru dia tempati ini. "Maaf, om. Sepertinya aku salah tempat, ya. Aku pergi dulu." Raisya mencoba bersiap melangkah. Langkahnya terhenti, saat tangan kanan laki-laki itu mencengkeram lengannya. "Kamu sudah datang! Dan, tiba-tiba pergi begitu saja?" "Tidak, om.!" "Om? Apa yang kamu katakan? Sejak kapan aku jadi om, kamu?" geram laki-aki itu. "Panggil aku Arga." "Iya, om Arga. Eh.. Salah-salah Om." "siapa nama kamu?" bentak Arga. Merasa terpojok, Raisya tidak mau kalah kagi. Enak saja, ia di marahin. Lagian dia juga tidak salah menurutnya. Tidak mau terus di bentak dan disalahkan. Raisya menggerakkan kepalanya, menoleh ke belakang. Ke dua mata mereka bertemu. Bersamaan dua pasang mata itu melebar. Melotot tajam, kobaran api mulai menjalar sampai ujung kaki ke dukung kepalanya. Ke dua mata mulai muncul percikan api yang menjalar di tengah tatapan mereka. Saling bersiteru. Raisya mengerakkan matanya. "Apa dunia ini sempit?" tanya Raisya, memutar matanya malas. Arga menatap wajah Raisya lekat-lekat. Dia yakin gadis di depannya itu adalah gadis yang membuat rusuh di restaurannya. Dan, gadis yang sama saat tadi pagi tiba-tiba masuk ke dalam mobilnya. Arga memincingkan alisnya, gadis di depannya ini sedang mengajaknya bergurau? Arga merasa sangat aneh dengan gadis di depannya ini. "Kamu membututi saya?" tanya Arga hati-hati. Raisya menatap Arga sekilas. "Gak mungkin lah, kurang kerjaan saja. Aku mengikuti om.. Om." jawabnya acuh tak acuh. "Sudah berkali aku bilang...." "Jangan panggil aku Om." potong Raisya, Ke dua sudut Raiysa terangkat sedikit, alis sedikit tertarik ke atas. Bahkan tidak ada yang tahu, jika sosok Raisya tersenyum untuk saat ini. Bukan tersenyum senang. Tetapi, tersenyum penuh dengan rencana di dalam otaknya. "Emm.. Mas.. Maaf? apa anda sedang ingin terus memegang lenganku?" sindir Raisya. Gadis itu menatap Arga sedikit lebih lama. "Mas.. Tolong, dong. Lepaskan lenganku!" Arga merasakan aliran darahnya langsung naik sampai ke ubun-ubun. Mulut bocah kecil ini benar-benar tanpa penyaring. Arga berusaha mengatur napasnya, mencoba menangkan dirinya. Dia juga harus bisa bersabar saat menghadapi bocah kecil yang begitu menggemaskan. Dan, ingin sekali menelannya seketika.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD