Kebutuhan dan Kenyamanan

1852 Words
Raisa hanya diam membiarkan Dika duduk di sampingnya tanpa berpikir apa yang akan dilakukan pria itu. "Apa itu mentenangkan?" Pertanyaan Raisa membuat Dika menoleh ke arah gadis itu. "Apa?" balas Dika. "Memiliki seorang istri?" Raisa bertanya tanpa menatap Dika. Hatinya tak beraturan dan juga pikirannya hanya merasa takut dan ingin memiliki seseorang yang menjamin kehidupan dan keselamatannya saat ini. Dika hanya diam menoleh dan melihat wajah Raisa yang damai. "Menyenangkan, hanya tak merasakan," jelas Dika, tersenyum pahit mengingat pernikahannya yang hambar. "Kenapa senyumanmu begitu buruk, membicarakan tentang pernikahan?" tanya Raisa. "Ya, aku mungkin mau menikah dengan wanita yang sudah berhubungan denganku dalam waktu yang sangat lama. Tapi aku tidak tahu kenapa setelah menikah, aku sama sekali tidak memiliki perasaan yang seharusnya aku dapat," jelas Dika tanpa menoleh kearah Raisa. Raisa mengangkat sebelah alisnya tidak memahami apa yang diucapkan oleh pria itu. "Pernikahanmu itu, bukankah baru saja terjadi bukan, juga belum 1 minggu pun? Kau hanya belum menjalaninya, nanti juga akan merasakan apa yang ingin kamu dapatkah," ucap Raisa. Meski Raisa tidak memahami apa itu sebuah pernikahan, namun dia seakan pernah nemiliki seseorang yang selalu berbicara dengan baik dan penuh perasaan kepadanya meski dia tidak mengingat apapun. Namun hal itu selalu dia miliki termasuk tata cara berbicara dengan baik di hadapan orang lain. "Pernikahan seperti apa yang aku inginkan, sepertinya itu belum terjadi," ucap Dika. "Dasar bodoh! Bukankah sudah ada wanita yang menunggumu setiap harinya, itu berarti sudah terjadi!" ser Raisa. "Lalu, kenapa kau ingin menikah?" balas Dika. "Aku? Bukan pernikahan yang aku mau," ucap Raisa. "Apa?" "Aku hanya mau pelindung nyata, aku tidak tahu apa itu pernikahan. Tapi yang aku butuhkan hanyalah pelindung," jelas Raisa. "Kau masih takut orang-orang itu mengejarmu?" tanya Dika. "Jika kau tidak menikahiku, tidak mungkin membiarkanku menetap disini kan?" balas Raisa. "Memang siapa yang akan membiarkanmu pergi dari sini?" tanya Dika. "Sekarang belum ada, tapi siapa yang tau nanti," tegas Raisa. "Aku pemilik vila ini, kau bebas berada disini." "Ya, tapi aku tidak memiliki alasan apapun untuk menetap disini," ucap Raisa. "Kau ingin alasan?" tanya Dika. "Entahlah." "Gadis bodoh! Terlalu banyak yang kau pikirkan akan membuatmu sulit hidup!" Dika memukul dahi gadis itu pelan. "Kau sudah mengambil keperawananku, tapi tidak mau menikahiku," gerutu Raisa tertegun setelah dia mengatakannya, takut Dika tersinggung lagi. "Bukan aku tidak mau menikahimu, tapi kau bahkan tahu aku beristri," jelas Dika. "Istrimu disana, aku disini. Kau pikir apa yang aku inginkan? Aku hanya mau kau menikahiku dan aku memiliki rumah dan alasan menetap disini!" seru Raisa. "Kau mau pernikahan tanpa cinta?" tatap Dika. "Bukankah sangat jelas apa yang aku inginkan? Aku hanya mau sebuah tempat dan alasan menetap. Hal wajar jika aku meminta pertanggung jawabanmu," tambah Raisa. "Menikah tanpa cinta?" tanya Dika. "Terserah apa katamu, Tuan muda!" malas Raisa melihat Dika. Melihat Raisa membuang wajahnya, Dika merasa gemas, tanpa sadar dia menarik tangan gadis itu hingga berbalik arah berhadapan dengannya. Ciumàn pertamapun terjadi antra dia dan Raisa yang hanya tertegun mendapati ciumàn dari pria itu. Dika yang merasakan kelembutan bibir ranum gadis itu, dia membuka sedikit mulutnya dan merasakan aktivitas ciumän yang awalnya untuk menekan gadis itu agar tidak memalingkan wajahnya. Namun dia menikmati ciumannya tanpe mengakhirinya. Pegangan tangannya naik perlahan meremas rambut Raisa yang hanya terdiam. Dia mendalami ciumánnya meski tidak ada balasan dari Raisa. "Dasar bodoh! Kenapa kau menahan nafas!" melepas ciumànnya, Dika menatap tajam dengan jarak yang sangat dekat di hadapan Raisa yang terdiam. Gadis itu terdiam tersipu malu mendengar dan mendapati Dika menciumnya. Pertama kali dia tahu rasa ciumàn, dia tidak tahu harus berbuat apa hingga hanya diam yang dia lakukan. "Kemarilah!" Dika menarik Raisa ke pelukannya menekan dan lebih tepatnya ingin mencari kenyamanan juga dalam diri gadis yang ada di pelukannya itu. "Kau boleh tinggal disini, sampai kapanpun. Tapi aku masih belum bisa menjawab apa yang kamu inginkan. Bolehkah aku memintamu menunggu?" tanya Dika di balas anggukan Raisa di pelukannya. Dika tersenyum tipis, dia tidak pernah percaya jika akan mengatakan hal yang sama yang pernah dia dengar dari ucapan Nuri yang pernah memintanya menunggu dan menunggu. Dia tidak pernah menyangka jika akan melakukan hal yang sana pada seseorang terutama pada gadis yng ada di pelukannya kali ini. "Lalu, ciuman tadi untuk apa? Kau membuatnya membesar seperti ini!" Pertanyaan Raisa tampak menyenangkan ketika Dika melihat wajah polos gadis di hadapannya dengan wajah merajuknya. "Untuk memberimu hukuman karena memalingkan wajah di hadapanku!" seru Dika. "Aku rasa kau menikmatinya?" tatap Raisa. "Kau pikir bibirmu tidak pernah ku temui?" elak Dika, dia memang pernah mencium bibir gadis itu saat di dalam mobil. "Hmm, kau memiliki istri. Tentu saja sudah tetbiasa melakukannya," sindir Raisa. "Kau tahu itu!" seru Dika tersenyum tipis, meski dia sama sekali belum menyentuh ataupun melakukan apapun pada Nuri yang sudah berhubungan dengannya dalam waktu lama apalagi menyentuhnya meski sudah menikah. Namun Dika tidak pernah menyangka jika semua hal itu akan dia lakukan kepada gadis yang ada dihadapannya itu saat ini. Jangankan hanya sebuah ciuman menyentuh tubuh Raisa, sudah dia lakukan Bahkan dia sangat menyukai ketika seorang gadis yang tanpa protes sesuai apa yang dia perkirakan. Namun hanya sebuah pernikahan yang diminta oleh Raisa meski Dika tidak tahu apa yang harus dia lakukan, tapi hal yang tidak mungkin bagi dirinya harus melakukan sebuah pernikahan lagi, karena pernikahannya dengan Nuri pun belum menginjak 1 minggu sama sekali. Bahkan beberapa hari setelah pernikahan mereka jika sudah berada di luar tanpa mencoba untuk menemani istrinya itu. Berada di taman di sore hari Dika dan Raisa berbicara dan bercerita satu sama lain, antara Raisa yang menceritakan tentang hari-hari di mana yang dia ingat hanyalah kehidupan dirinya dengan seorang pria tua yang menampung dan menghidupi dirinya. Meski dia mencoba untuk mengingat kembali memori yang hilang, namun dia sama sekali tidak berhasil untuk mengingatnya. Dika hanya tersenyum tipis, dia sama sekali tidak memaksa Raisa untuk menceritakan dan mengingat apa yang pernah hilang di dalam kehidupannya. Namun Dika juga ikut menceritakan tentang dirinya yang hidup di tengah-tengah keluarga yang cukup penuh keegoisan dan juga ambisi yang membuatnya begitu melelahkan menjalaninya. Tapi setelah dia merasa jika keputusannya ada hal baik dan juga buruk yang tidak sesuai dengan apa yang diinginkan, namun Dika tetap menerimanya sehingga dia duduk di samping Raisa seperti saat ini. "Hmm, mungkin jika kau tidak sukses seperti ini dan menjadi orang yang berpengaruh, mungkin tidak akan bertemu denganku apalagi sampai menampungku di vila yang sangat besar ini, aku tidak yakin jika kamu akan memiliki rumah yang sangat besar dan juga kemampuanmu saat ini," ucap Raisa. Dika menatap tajam kearah gadis yang sudah berbicara dengan sedikit ejekan kepadanya, membuat Raisa tertawa ketika mendapati Dika tidak menyukai apa yang dia katakan ketika melihat garis tawa yang dilakukan oleh Raisa membuat Dika begitu nyaman dengan senyuman manis dari gadis yang ada di hadapannya itu. Dia yakin jika Raisa bukanlah seorang gadis yang berasal dari orang sembarangan, tata cara bicara Raisa jauh lebih menyenangkan dan tertata rapi terlihat dia begitu familiar dengan kehidupan dan juga beberapa pelayan yang selalu melayaninya. Dika juga yakin jika hanya orang yang cukup berpengaruh dapat menghilangkan segala identitas informasi Raisa, tanpa dapat diketahui olehnya. Namun kali ini Dika hanya tahu bahwa Raisa ada gadis yang tinggal di villanya meski Dika juga tidak tahu apa yang akan terjadi kedepannya, tapi dia akan tetap memastikan bahwa Raisa tetap berada di kediamannya. Setelah kembali dari taman Raisa dan bisa berjalan memasuki rumah, setelah mereka merasa puas berada di bawah pohon melihat danau yang begitu tenang bercerita satu sama lain dan juga mencoba untuk memahami tentang kehidupan mereka. Makan malam bersama dan juga tidur di dalam satu kamar yang sama Dika dan Raisa lakukan. Meski awalnya Raisa sempat protes dan takut jika jika akan melakukan hal yang jauh lebih dari sebelumnya, namun pria itu meyakinkan Raisa bahwa dia tidak akan melakukan apapun kepada dirinya meski hanya sebuah pelukan yang akan dia lakukan setiap kali Raisa merasa takut. "Kenapa aku selalu merasa kalau kamu mencari kesempatan untuk memelukku?" tanya Raisa, dia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur di samping Dika. Dika yang masih terduduk di atas tempat tidur sembari memeriksa ponselnya. "Kesempatan apa yang kau maksud, menyentuh tubuhmu? Bukankah sedari awal kau yang selalu memelukku, aku hanya mencoba untuk memberikan mu kenyamanan dan mengurangi rasa takut mu, jika hal itu tidak akan terjadi setiap kali kamu tidur itu akan jauh lebih baik bagiku. Aku bisa tidur dengan sangat nyenyak," balas Dika, dia merebahkan tubuhnya dan merentangkan kedua tangan hingga membuat Raisa tidak memiliki kesempatan untuk menguasai tempat tidur itu. Dengan wajah ingin membalas pria itu Raisa memilih untuk merebahkan tubuhnya dan menekan lengan Dika sembari memeluk bantal gulingnya. Dika hanya tersenyum tipis dan menggelengkan kepalanya ketika melihat tingkah manja Raisa, tidur dengan lengannya sebagai bantal dirinya. "Aku tidak peduli dengan apa yang kamu katakan, tapi aku tidak akan menyia-nyiakan seseorang yang menyediakan bantal untukku!" seru Raisa, hingga dia memejamkan kedua matanya mencoba untuk tertidur. Mendapati tingkah dari Raisa, Dika hanya tersenyum tipis menggelengkan kepalanya, namun dia sama sekali tidak mengganggu gadis itu yang hendak tertidur. Dia hanya ikut memejamkan kedua matanya dan mencoba untuk tidur dengan sangat baik kali ini tidur dengan sangat nyaman, keduanya saling berpelukan satu sama lain meski tidak ada hal apapun yang membuat mereka merasa canggung. Hanya saja keduanya memang mencari sebuah kenyamanan dan membuat diri mereka merasa hidup kembali. Sebuah ketukan dibalik pintu kamar membuat Dika mengerjapkan kedua matanya, dia merasa sangat kesal ketika mendengar ketukan dibalik pintu yang sudah membangunkan dirinya yang baru saja tertidur. "Siapa yang sudah berani membangunkan diriku! Aku bahkan baru saja tertidur," gerutu Dika. Raisa yang mendengar gerutuan Dika, dia membukakan kedua matanya mendongakkan kepala melihat kearah Dika yang masih mencoba untuk tertidur. Mendengar ketukan kembali Raisa memilih untuk melepas pelukannya, bangun dari tempat tidur dan berjalan menghampiri pintu kamar. Saat membukanya seorang pria berdiri dihadapan Raisa terkejut ketika melihat dirinya, berada di dalam kamar tuan mudanya. Sekretaris Dika baru saja sampai di villa setelah dia mendapatkan perintah untuk memberitahu Dika bahwa pertemuan antar keluarga dan akan dilakukan hari ini. "Kamu siapa? Tanya Raisa. Ben tahu akan Raisa yang tinggal di vila, tapi Raisa belum mengenalinya. "Maaf Nona, saya sekretaris tuan muda. Perkenalkan nama saya Ben, tapi apakah Tuan Muda sudah bangun?" balas Ben dengan ramah. "Sebenarnya dia masih malas terbangun, tapi aku akan membangunkannya untukmu," angguk Raisa. Ben tersenyum tipis, dia mengangguk dan membiarkan Raisa masuk kembali ke dalam kamar dan mencoba untuk membangunkan kan Dika yang sedari tadi masih bermalas-malasan untuk bangun dari tidurnya. "Bangunlah, sekretarismu memintaku membangunkanmu. Ada hal yang tampak serius untuk di bicarakan denganmu." Raisa duduk di tepi ranjang mencoba membangunkan Dika. Tapi Dika sama sekali tidak menjawabnya dan hanya tertidur yang dia lakukan. "Kau tidak mau menemuinya? Biar aku saja yang berbicara dengannya, lagipula dia cukup tampan di pagi hari!" seru Raisa. Mendengar ucapan Raisa Dika terkejut sehingga dia bangun dari tidurnya dengan wajah kesal dia tidak menyukai ketika Raisa mengatakan ketampanan pria lain di hadapannya hal yang sama sekali tidak dia sukai ketika seseorang memuji ketampanan pria lain terutama seorang wanita di hadapannya. Raisa tersenyum tipis melihat reaksi Dika akan ucapannya. "Kenapa kamu menatapku seperti itu?" Tawa Raisa tertahan di dalam hatinya, meski dia tetap bertanya kepada Dika yang terdiam dengan tatapan tajamnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD