16. Tidak Peka

1532 Words
Zach memasuki sebuah ruangan yang terlihat mewah, ruangannya berwarna putih dengan satu sisi terpasang kaca sehingga menampilkan pemandangan kota yang penuh dengan lampu berwarna-warni. Beberapa guci antik terpajang di sudut-sudut ruangan, sebuah lukisan abstrak besar terpasang di depan sebuah meja. Seorang pria berusia 50-an duduk di meja itu, dia mendongkak baru ketika Zach masuk ke dalam ruangannya. Zach menatap pria itu lalu membungkuk pada lelaki itu. “Zachary!” panggil lelaki itu. “Iya, Yah?” sahut Zach. “Aku dengar kamu mencari donor jantung. Untuk apa?” tanya lelaki itu lagi. “Cepat juga Ayah mengetahuinya,” ujar Zach lalu tersenyum miring. “Aku yang mempunyai rumah sakit ini, Zach. Apa yang tidak mungkin?” Lelaki itu balas tersenyum miring. “Kau membantu seseorang? Itu bukan dirimu, karena itulah aku penasaran.” Lelaki itu berterus terang. “Aku hanya berusaha menjadi manusia yang lebih baik dari Ayah,” ujar Zach. “Apa hubunganmu dengan wanita itu?” tanya lelaki itu lagi. Zach tersentak, lalu mengusap wajahnya. Dia menghembuskan nafas pasrahnya. “Begini ya, dokter Frans Wijaya. Itu urusanku, jadi aku mohon dengan sangat jangan menyentuh wanitaku!” Zach memberi peringatan. Lelaki itu mengejek dengan senyum yang menyebalkan, “Jadi itu pacarmu?" "Aku sudah bilang, jangan coba-coba menyentuhnya!” Zach mengepalkan tangannya. “Aku tidak akan menyentuhnya, aku hanya bahagia karena kamu akhirnya move on dari pacar lamamu itu. Tapi ingat, Zach! Sekolahmu adalah hal yang harus kau utamakan. Aku sudah memberi peringatan pada semua dokter di sini yang berani memberi nilai bagus padamu dengan percuma,” ujar Ayah Zach. “Ya, ya, ya, aku akan melakukan yang terbaik untuk menjadi pewaris semua ini.” Zach merentangkan tangannya dan menatap ke segala penjuru ruangan. Lelaki itu berdeham sebentar. “Kalau begitu, aku akan pergi sekarang. Selamat malam ... Ayah,” ujar Zach lalu keluar dari ruangan Ayahnya. *** “Aku pergi dulu,” pamit Raya pada Ayah dan Ibu juga pada Mikha dan juga Mitha. “Eh, Abang! Anterin Raya ke depan deh,” ujar Ibu. Mikha yang sedang asyik bermain game menatap Ibunya dengan pandangan keheranan. “Tempat parkirnya ‘kan Cuma di depan situ,” ujar Mikha. “Iya gak apa-apa,” ucap Raya. “Gak apa-apa! Ditemenin Mikha aja. Abang! Ayo sana!” perintah Ibu lagi kali ini dengan mata yang melotot membuat Mikha mau tidak mau berdiri dari sofa dan pergi keluar bersama Raya. “Dasar Anak itu! Gitu aja gak peka!” protes Ibu begitu pintu tertutup. “Pelan-pelan, Bu,” ujar Ayah. “Ya, Abang ‘kan gak pernah pacaran. Wajar kalau dia gak tahu soal begituan,” timpal Mitha. Ibu geleng-geleng kepala, “Terus kapan dia nikah kalau dia begitu terus?” “Ya makanya ini lagi kita bantu ‘kan? Targetnya ‘kan sudah ada, semuanya tinggal masalah strategi. Kalau urusan begini, serahkan sama Ayah,” ujar Ayah. “Pengalamanmu banyak ya, Yah?” tanya Ibu. “Ya, lumayanlah,” ujar Ayah yang dihadiahi cubitan oleh Ibu. Sementara itu Raya dan Mikha berjalan menuju tempat parkir tanpa sepatah kata pun. Raya mencuri pandang pada lelaki di sampingnya yang wajahnya terlihat datar-datar saja. “Kamu mau minum kopi gak?” tanya raya pada akhirnya. “Hah? Oh, aku gak minum kopi kalau sudah malam,” jawab Mikha santai. Raya menggelengkan kepalanya sambil menghembuskan nafasnya kasar. Dia berhenti membuat Mikha yang berjalan selangkah di depannya ikut berhenti. Mikha berbalik dan menatap Raya. “Kamu suka aku?” tanya Raya. “Apa?” Mikha tersentak kaget mendengar pertanyaan Raya. “Kamu, melakukan semua ini untuk menarik perhatianku ‘kan?” Raya menunjuk Mikha dari ujung kepala sampai kaki. “Hah? Ehm, tidak!” jawab Mikha. Raya memutar bola matanya malas. “Tidak juga,” lanjut Mikha namun dengan nada suara rendah sehingga Raya tidak mendengarnya. “Mau minum alkohol lagi?” tanya Raya. “Tidak!” tolak Mikha. Raya terkekeh, “Kenapa?” “Kamu tidak ingat apa yang terjadi terakhir kali saat kita minum bersama?” Mikha melambaikan tangannya. “Memangnya apa yang terjadi?” tanya Raya menggoda Mikha. “Apa yang terjadi katamu? Kamu amnesia atau bagaimana? Itu, waktu itu ... kita ... melakukan hal yang ... tidak baik,” ujar Mikha terpotong-potong namun itu malah terlihat menggemaskan untuk Raya. Dia maju mendekati Mikha, “Hal yang tidak baik itu yang bagaimana? Minum alkohol, makan terlalu larut atau ....” Mikha menelan salivanya. “I-itu ....” “Setahu aku, bekas kemerahannya bahkan sampai di tempat yang tidak seharusnya,” ujar Raya lalu melirik ke arah dadaanya. Bulu kuduk Mikha meremang membuatnya mengeliat. “Ray.” “Ya?” Mikha menelan salivanya lagi. “Kamu mau mengulanginya tanpa alkohol?” goda Raya. “Setan!! Keluarlah!!” Mikha memegang kepala Raya sambil memejamkan matanya untuk berdoa. “Lepaskanlah wanita ini dari pikiran jahat yang cabull ya Tuhan,” lanjut Mikha membuat Raya kesal. Dengan cepat dia menepis tangan Mikha dari kepalanya. “Memangnya aku kerasukan?” protes Raya. “Kamu pasti kerasukan! Kamu tidak begini sebelumnya,” ujar Mikha. Raya merapikan rambutnya yang berantakan karena ulah Mikha. “Ray,” panggil Mikha lembut. “Apa?” sahut Raya kasar. “Mau makan mi instan?” tanya Mikha. Raya langsung menatap Mikha yang tengah tersenyum ke arahnya. Keduanya lalu menuju kembali ke kafe Mikha yang masih buka. Begitu masuk, mereka sudah disambut tatapan penasaran para pegawai kafe Mikha. “Dia temanku jadi jangan menatap kami dengan tatapan itu!” ujar Mikha. Pegawai-pegawainya langsung bubar dan melanjutkan pekerjaan mereka. “Loh, sudah mau tutup?” tanya Raya. “Iya, ‘kan sudah jam sembilan,” jawab Mikha. “Gio, tutup saja. Nanti aku yang kunci pintu,” ujar Mikha. “Kali ini gak nginap lagi ‘kan Bang Mik?” goda Gio. “Sekali lagi kamu buka mulut kamu, besok kamu pengangguran!” balas Mikha yang membuat Gio langsung menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Raya tertawa melihat itu. “Kamu mau makan mi kuah atau mi goreng?” tanya Mikha. “Makan yang kuah-kuah kayaknya enak, cuaca juga lagi dingin,” ujar Raya. “Oke.” Mikha langsung berbalik menuju dapur meninggalkan Raya sendirian di meja. Raya menatap sekelilingnya yang sudah sepi karena pegawai-pegawai kafe yang sudah pulang. Raya berdiri dan menuju dapur, terlalu lama di situ bisa saja Raya akan kerasukan betulan. “Kenapa ke sini?” tanya Mikha. “Aku takut,” jawab Raya. Dia memperhatikan Mikha yang sedang mencincang daging. Mikha mengangguk, “Memang di sini setannya suka ganggu.” “Di sini ada setannya?” tanya Raya dengan mata yang terbuka lebar karena kaget sekaligus takut. “Hm, jahil-jahil lagi. Pernah satu kali katanya ada yang lihat penampakan,” ujar Mikha. “Mik! Jangan bercanda, ah.” Raya menatap Mikha. “Gak ada! Lagian katanya S3 tapi sama hantu aja percaya,” ejek Mikha. “Gak percaya, Cuma ngeri aja. Lagian kenapa selalu bawa-bawa S3-ku sih?” protes Raya. “Oke, makanan siap!” Mikha mengangkat mangkuk berisi mi kuah itu ke atas meja yang lebih tinggi. “Sekarang ke meja, aku mau bawa mi-nya,” perintah Mikha. Keduanya lalu duduk di meja dengan mi kuah yang terlihat menggoda perut itu. “Aku udah pasti gagal diet sih ini,” ujar Raya. Mikha tertawa, “Menurut aku, kamu malah harus makan lebih banyak. Kamu kurus sekali.” Raya menatap Mikha tajam, “Body shamming! Tidak baik!” Mikha tertawa, “Aku hanya memberi saran.” Lalu keduanya tertawa lagi. Ponsel Raya bergetar membuatnya langsung melihat pesan yang masuk, wajahnya terlihat berpikir sebentar sebelum dia kembali menatap ponselnya lagi. “Mik, aku sewa tempat kamu besok ya?” Mikha yang tengah menyeruput kuah mi langsung menatap Raya, “Buat apa?” “Aku ada target besok, agenku ada yang gak bisa dan aku harus menggantikannya,” jawab Raya. Sediakan saja tempat yang strategis misalnya di pojok ruangan sana. “Maksudmu pojok ruangan sana yang ada kuntilanaknya?” Raya tersentak kaget mendengarnya, “Mikha!!” Tangannya menggapai tangan Mikha dan meremasnya sementara Mikha tertawa puas melihat wajah ketakutan Raya. “Aku bercanda,” ujar Mikha. “Ih!! Menyebalkan!” Mikha lalu menatap ke arah tangannya yang sedang digenggam Raya lalu tersenyum tipis. Itu tidak berlangsung lama karena Raya langsung melepaskan genggamannya. “Jangan bercanda seperti itu lagi!” ujar Raya membuat Mikha tertawa lagi. “Iya, iya.” Raya kembali menyeruput mi kuahnya yang sangat lezat itu. “Kamu memang berbakat masak, Mik. Semua masakanmu enak-enak, terutama daging cincang itu,” puji Raya. “Ray,” panggil Mikha. “Ya?” Raya kembali menatap Mikha. “Lelaki yang bersama kamu itu ... pacar kamu?” tanya Mikha. “Zach?” tanya Raya. Mikha mengangguk. Raya menggigit bibirnya dan tersenyum, “Hubungan kami ... sulit untuk dijelaskan.” Mikha mengangguk walau dia tidak mengerti. “Kenapa? Kamu ingin memastikan aku ini sedang jomblo atau tidak?” tanya Raya. “Hah? Tidak! Aku hanya ingin tahu apa pendapatnya mengenai pekerjaan pacarnya yang suka berpura-pura menjadi pacar orang lain,” bantah Mikha, lalu mengangkat mangkoknya dan pergi ke dapur. “Dasar penakut!” ujar Raya. Cukup keras sehingga bisa didengar Mikha. “Kuntilanaknya udah pindah di belakang kamu!” teriak Mikha. “MIKHA!!!” Raya histeris berlari mengejar Mikha.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD