PHY 12 - Tatapan Rivalitas

2153 Words
"Bingit darimu memang pantas untukku peroleh." ~Arial~ Arial berdiri di belakang punggung tegak milik Gilang. “Masih pagi, Lang. Udah pacaran aja,” tegurnya menyenggol bahu Gilang yang sedang duduk di bangku taman halaman depan sekolah. Nita wajahnya menatap Arial dengan pandangannya. "Why, Ta?" tanya Arial ketakutan tatapan Nita. "Cerewet lo! Pergi!" usir Gilang geram karena konsentrasinya harus bubar akibat ulah Arial. "Lagi ngapain sih lo?" tanya Arial ingin tahu dengan kegiatan Gilang di sepuluh menit sebelum bel masuk berbunyi. Tasnya pun masih setia menempel di punggungnya. Gilang berdecak. Ia benar-benar merasa jengah dengan kelakuan Arial. "Nit, kita ke kelas aja yuk?" ajaknya pada Nita. "Eh, lo kalo mau ke kelas duluan aja kali. Dia kan sekelasnya sama gue," cegah Arial cepat. Tidak ingin buruannya diambil orang. "Lama-lama lo resek juga ya ?!" ucap Gilang nyaris memekik. Ia benar-benar merasa kesal pada Arial yang sudah mengganggunya pagi-pagi. Arial tertawa melihat wajah Gilang yang sudah memerah seperti buah delima. "Santai aja kali." Lalu menoleh ke arah Nita sekilas dan kembali menatap Gilang. "Gue ada urusan sama Nita," lanjutnya santai. "Urusan apaan?" tanya Gilang sarkastik. Tidak rela jika Nita harus berduaan dengan pria lain terutama Arial. "Maaf, ini bukan urusan lo. Jadi gue nggak bisa ngasih tau lo," jawab Arial masih tetap tenang. "Heh, asal lo tau! Urusan Nita jadi urusan gue juga!" tegas Gilang jengkel dengan Arial. Nita mendengarnya cukup merasa tidak nyaman. "Udah, Lang. Biarin aja," ucapnya menengahi keributan takut jika masalahnya akan bertambah runyam. Gilang menatap Arial dengan tajam. "Udah, lo ke kelas aja dulu. Nggak bakal gue apa-apain kok. Posesif bener. Pacar bukan," timpal Arial sudah malas jika harus berlanjut debat dengan Gilang. Gilang menatap Nita. "Nit, aku ke kelas dulu ya?" pamitnya sopan. "Iya sayang, hati-hati," balas Arial dengan cepat serta terdengar begitu menyebalkan. "Lo---" Hampir saja tinjuan mendarat di wajah Arial kalau Nita tidak cepat mencegahnya. "Udah Lang," lerai Nita menahan emosi Gilang. Nita mengerti, Gilang sedang terbakar api cemburu meski ia bukanlah pacarnya. "Awas lo!" ancam Gilang tajam pada Arial. Arial hanya mengangkat kedua alisnya sambil menatap Gilang yang mulai melangkahkan kakinya menjauh. "Ada apa?" Suara Nita terdengar memecahkan telinganya. Sangat datar. "Gue mau nanya," balas Arial dingin. Kedua alis Nita tertaut. Menandakan sedang bertanya. "Lo suka sama Gilang?" tanya Arial terdengar datar. "Urusan lo apa?" balas Nita singkat merasa sangat kesal dengan pertanyaan Arial. Arial diam. "Ternyata lo lebih konyol, Al," tambah Nita sebelum pergi dari hadapan Arial. Arial masih diam. Diam seribu bahasa. Entah mengapa perasaannya seperti mengatakan bahwa Nita tidak menyukai Gilang melainkan menyukai dirinya. Namun tidak ia tunjukan secara langsung. Arial mengerti yang sedang ia mainkan saat ini adalah sebuah perasaan milik seseorang. *** "Jadi---" KRRIIIIIINGGGGGG!!!!!! Penjelasan Bu Ambar terhenti begitu saja saat bel istirahat berbunyi nyaring ke seantero jagat sekolah. "Selesai," lanjut Bu Ambar. Seluruh murid di kelas XII IPA 1 tertawa. Baru kali ini empat jam pelajaran dapat ditempuh dalam waktu tiga puluh menit. Keterlambatan seorang guru adalah bonus paling nikmat bagi seluruh siswa di belahan bumi manapun. "Ya sudah. Ibu pamit dulu, sekian untuk hari ini. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarrokatuh," ucap Bu Ambar menyudahi kegiatan belajar mengajarnya kemudian keluar dari ruang kelas XII IPA 1. "Wa'alaikumsalam warrohmatullohi wabarrokatuh," balas seluruhnya. Arial bangkit dari duduknya. Lalu menghampiri Nita yang sedang sibuk membereskan buku-bukunya. "Yuk?" ajaknya. "Hah?" Nita merasa ucapan Arial ada keajaiban. Baru tadi pagi cowok di hadapannya ini membuatnya kesal. "Gue ngajak lo ke kantin, Ta," jelas Arial. "Oh, yuk," sahut Nita bangkit dari duduknya. Ada hati yang merasa senang dan ingin berlonjak girang dari tempatnya. Ia merasa bahagia saat ini. Angga berdeham. "Gue nggak diajak?" ucapnya merasa Arial pilih kasih. "Nggak usah dramatis gitu, Ga," balas Arial malas. Angga terkekeh kecil. "Gue juga," timpal Elsa. Arial menoleh. "Lo pulang aja," candanya. Namun gadis itu malah terlihat kesal. Ia berlalu keluar dari kelas. "Yuk." Kevin menarik tangan Angga, Arial dan Nita tak acuh dengan si Nenek Lampir tukang pengganggu suasana. Mereka berlalu sebelum Hulk dari kelas sebelah datang. "Lelet lo," bisik Kevin pada Arial. Arial hanya diam. Lalu menatap Nita sekilas. Menanyakan pada hatinya apakah perasaan ini benar-benar ada? Hingga akhirnya ia sampai di kantin. Arial tetap setia memilih untuk nongkrong di kantin Kang Koko sampai jam istirahat berakhir. "Mau pesen apa lo?" tanya Kevin pada Angga, Arial, juga Nita. "Batagor," sahut Nita cepat. "Bakso kuah," lanjut Angga. Arial diam. Tatapannya kosong. "Al," panggil Kevin. Arial masih diam. "WOY!!!" teriak Kevin dengan sedikit tambahan tenaga. Arial menoleh ke arah Kevin. "Mau pesen apa lo?" galak Kevin. "Somay," jawab Arial pelan. Matanya kembali melirik Nita sekilas. Angga menyadari lirikan mata Arial pada Nita. Ia berdeham kecil untuk segera menyadarkan temannya. Arial segera menegakkan tubuhnya. "Kang." Kevin bangkit dari duduknya berjalan mendekati Kang Koko. Kang Koko menoleh ke arahnya. "Batagor satu, bakso kuah satu, somay satu, terus nasi goreng satu," jelas Kevin. "Oke siap," komentar Kang Koko menyanggupi. Kevin kembali berjalan ke tempatnya semula. Duduk bersebelahan dengan Arial dan berhadapan dengan Angga dan Nita ada di samping Angga. Tak lama kemudian makanan yang mereka pesan datang. Semenit setelah itu mereka menyantap makanannya, mengisi perut yang sudah dipenuhi oleh cacing-cacing yang berdemo di dalamnya akibat mata pelajaran fisika yang cukup menguras tenaga meski hanya berlangsung tiga puluh menit. "Di sini batagornya enak juga," komentar Nita takjub setelah beberapa sendok batagor masuk ke dalam mulutnya. "Ya enak lah. Kalo nggak enak ngapain dibeli," sahut Kevin. "Buang aja ke laut. Biar dimakan cumi," lanjutnya tanpa otak. "Ya kan masalahnya gue nggak pernah makan batagor seenak ini," balas Nita tidak mau kalah. "Lebay lo, Ta," cibir Angga. "Biasa aja, dih!" kesal Nita dianggap lebay. "Iyain dah!" serah Angga tidak ingin berdebat lagi. Nita mendengus kesal. Pembunuh. Arial tersedak ketika ada suara bergema telinganya. Sangat jelas dan begitu familiar. Napasnya mulai tercekat dan rasa pedih menjalar keseluruh hidungnya hingga matanya merah dan berair. Nita bergegas mengambilkan air minum dan segera memberikannya pada Arial. "Minum dulu, Al," ucap Nita penuh perhatian. Arial menerimanya. Satu gelas air putih habis di minumnya. "Thanks," ucapnya singkat. "Lo nggak apa-apa, Al?" tanya Angga khawatir. Arial menggelengkan sebuah kepala. "Makanya kalo makan tuh jangan ngelamun. Ngelamunin apa sih lo?" tambah Kevin curiga dengan sesuatu. "Nggak. Tadi gue kurang fokus aja. Keinget mapel fisika tadi," jelas Arial berdalih setelah agak mendingan. "Emang kenapa?" tanya Nita ikut penasaran. "Kayaknya tadi Bu Ambar nerangin ada yang keliru deh. Mungkin karena terburu-buru," jawab Arial meyakinkan. "Cuma karena fisika lo sampe keselek suatu saat nanti, Al?" seru Angga tak percaya. "Cuma somay. Belum keselek biji salak yang di bawah," timpal Kevin datar. "Emang lo pernah?" tanya Angga polosm "Gak. Tapi sodara gue. Sampe dioperasi. Seminggu dirawat," cerita Kevin semakin membuat suasana semakin penasaran. "Serius lo?" lagi-lagi Angga tidak percaya dan terlihat lugu. Ia belum sadar makna 'di bawah' setelah kata biji salak. "Bener," ucap Kevin meyakinkan. Angga geleng-geleng kepala. "Bahaya juga ya?" gumamnya. Iya, tambah Nita seperti terhipnotis oleh cerita Kevin. "Gue juga pernah keselek. Lebih parah dari cerita lo, Vin," pamer Arial membuat tiga orang itu merasa penasaran. "Keselek apaan?" tanya Angga penasaran. "Keselek omongan lo," jawab Arial cepat mengarah ke Kevin. Kevin mendesis geram. Tak lama ia terkekeh karena Arial menyadari maksudnya. "Oh iya. Si Kevin kan tukang ngibul," tambah Angga menyadari sesuatu. "Eh, gue serius," sangkal Kevin ingin deret. "Iya deh. Serius bohongin kita," lanjut Nita menahan tawanya. "Ah lo, Ta. Malah ikut-ikutan," pasrah Kevin kembali melanjutkan menyantap makanannya yang sempat sampai. "Tuh kan. Keliatan bohongnya," balas Nita agak sedikit kecewa. "Gue nggak bohong," tukas Kevin tegas. Arial melihat ke arlojinya. "Udah yuk? Dua menit lagi masuk," ajaknya tidak ingin lama-lama di kantin. Penyakit tidak betah nongkrong di kantin mulai kambuh. "Bentar lagi, elah! Disiplin amat sih lo!" geram Kevin di tengah-tengah menyantap makanannya. "Ya udah gue duluan," pamit Arial bangkit dari duduknya. Kevin Mendesis. Arial langkahnya. "Lo ikut, Ta?" tawarnya pada Nita. Angga pura-pura batuk. "Nggak nunggu Kevin dulu?" tanya Nita. "Dia lama," jawab Arial singkat. Nita menoleh ke arah Kevin. “Udah. Lo duluan aja,” usir Angga pada Nita. Nita terlihat merasa ragu. Pasalnya hanya tinggal dua sendok lagi Kevin menghabiskan makanannya. "Pangeran udah nunggu lo, tuh!" geram Angga meminta Nita untuk segera ikut dengan Arial. "Pangeran apaan? Diponegoro?" ucap Nita kesal. "Pangeran Soekarno!" balas Angga nyaris teriak. "Udah lo sana!" usirnya kemudian. Nita mendesis kesal. Angga sangat menyebalkan. “Ya udah gue duluan,” pamitnya bangkit berlalu. Arial berlalu mendahului Langkah Nita membuat gadis itu sedikit mempercepat langkah kakinya. Cuek banget nih orang! Rutuk Nita dalam hati. Arial memasukkan ke dalam saku celana. Menatap Nita dengan sekilas. Nita kekerasan tatapan itu. "Lo suka fisika?" tanya Nita memulai obrolan di sepanjang jalan menuju ruang kelas. "Biasa aja," jawab Arial datar. "Keliatannya kok antusias banget sama mapel fisika?" lanjut Nita. "Menurut lo?" balas Arial. Nita diam diam. Menurut gue sih lo suka fisika, tebak Nita kemudian. "Ya sedikit sih," sahut Arial. "Tadi bilangnya biasa aja, sekarang sedikit. Gimana sih?" protes Nita. "Ya gimana ya? Orang ganteng mah bebas," balas Arial dengan rasa percaya diri tingkat dewa. "Idih, pede!" cibir Nita. "Lo yang bilang." "Bilang apa?" "Gue denger Nita. Waktu lo muji gue ganteng pas pelajaran Pak Tora," Nita mendesis. Merasa malu sekali. Arial benar-benar telah membuat pipinya seperti udang rebus. "Lo itu kepedean, Al. Siapa juga yang muji lo waktu itu," elak Nita tidak ingin dipermalukan dengan sia-sia setidaknya ada sedikit perlawanan. "Lo ngapain ngelak sih? Pipi lo udah merah, Ta," jawab Arial tidak mau kalah. Spontan Nita memegang kedua pipinya yang memanas. "Baperan lo!" cibir Arial. Nita memajukan bibirnya. Arial nyebelin, tapi ... nyenengin. Sudetik kemudian ia mengembangkan kedua bibirnya membentuk sebuah senyuman. Kenapa lo? " tanya Arial heran dengan mood Nita yang cepat sekali berubah-ubah. Nita menggelengkan sebuah kepala dan masih tersenyum. "Kena bipolar ya lo?" duga Arial sedikit waspada. Nita mendesis kesal. "Kok lo ngeselin ya?" geramnya tertahan. Arial tertawa kecil. "Nita." Nita wajahnya. Terlihat Gilang berdiri di depan kelasnya dan menenteng sebuah kotak makan. Kenapa, Lang? tanya Nita berjalan Gilang. Sedangkan Arial. Langkahnya lalu mengambil jalan lain. Gilang sempat meliriknya dengan penuh rasa dendam. "Gue bawain sandwich buat lo." Gilang memberikan kotak makan itu. Nita terlihat tidak langsung menerimanya. Ia berpikir. “Barusan gue makan di kantin, Lang,” ucap Nita menjaga perasaan Gilang. "Sama siapa?" selidik Gilang. "Arial, Angga, Kevin," jawab Nita jujur. Raut wajah Gilang berubah jadi masam. Mendengar nama 'Arial' sangat menusuk telinganya. Ia diam. Pandangan yang terlihat kosong mulai terisi rasa dendam. Kenapa, Lang? tanya Nita heran melihat Gilang tiba-tiba berubah mood. "Ya udah deh. Kalo nggak mau, gue bawa lagi," ucap Gilang melangkahkan kakinya. Nita segera mencegat langkahnya. "Eh, Lang. Gue mau kok." Lalu tersenyum manis pada Gilang. Mengerti dengan mood Gilang yang berubah drastis saat dia menyebutkan nama 'Arial'. "Yakin?" Gilang terlihat tidak percaya. "He-em." Nita mengangguk antusias. "Doyan makan ya lo?" Gilang mengernyit. Tidak menyangka di balik tubuh kurus Nita ada kegemaran makan. Nita diam sejenak. "Ya ... Kalo gue sih asal enak terus sehat," balasnya sambil nyengir lebar. Gilang mengembangkan senyumnya. "Pasti enak dan sehat. Gue yang bikin." Ia memberikan sandwich di tangannya pada Nita. "Oke. Gue cobain sekarang," Nita berjalan ke arah bangku semen depan kelasnya. Lalu duduk dengan melipat kaki kanannya dan bertumpu pada kaki kirinya. Gilang duduk di sebelahnya. Nita mulai membuka kotak makanan yang dipegangnya kemudian mengambil sepotong sandwich. "Gimana?" tanya Gilang mengenai respon Nita. Nita mengunyah sandwich tersebut sambil merasakan kenikmatan sandwich yang Gilang buat kesalahan. "Enak," komentarnya kemudian. "Yang kurang apa?" tanya Gilang lagi meminta pendapat Nita. Nita diam diam. "Lo jago masak ya, Lang?" jawabnya dengan sebuah pertanyaan takjub. Gilang tertawa kecil. Merasa malu dengan pertanyaan Nita yang dilontarkan. Gue hobi, jawabnya jujur. Nita terkekeh. "Keren lo!" serunya menepuk bahu Gilang pelan. "Lo bisa masak?" tanya Gilang menyelidik. Nita mengangkat alisnya. "Menurut lo?" Gilang menghembuskan napasnya. "Paling lo cuma jago makan," cibirnya kemudian. Dengan bangga Nita mengangguk. "Nggak bisa masak kok bangga banget?" sindir Gilang. "Buat gue, bisa masak atau enggak. Itu penting! Yang penting itu makan," balasnya dilengkapi tawa ringan. Gilang menggelengkan sebuah takjub. Benar-benar di luar dugaan. "Terus kalo nggak masak. Lo mau makan apa? Rumput?" "Tinggal beli aja di warteg. Sepuluh ribu dapet tiga bungkus," jawab Nita dengan enteng. Gilang berdecak sebal dengan jawaban Nita. Pulang sekolah mending lo ikut gue, ucap Gilang. Nita menatap Gilang. "Kemana?" heran tanyanya. "Belajar masak," jawab Gilang seakan tidak ingin ada komentar dari ajakannya. Wajah Nita berubah menjadi murung. Kenapa? tanya Gilang. "Gue trauma," jawab Nita singkat. Maksudnya? tanya Gilang benar-benar tidak mengerti. "Ceritanya panjang, Lang." Nita terlihat sungkan untuk menceritakan sebuah kejadian yang pernah dialaminya. “Ya udah ceritanya aja. Gue siap dengerin kok,” balas Gilang menenangkan Nita. Nita mulai menenangkan diri dari kecamuk masa lalunya yang kelam. Rumahnya terbakar habis dan kakaknya meninggal dunia akibat ulahnya yang ceroboh. Semuanya meninggalkan trauma yang tak berkesudahan dan selalu menghantuinya. Nita menggeleng. Enggan bercerita. "Gue ngerti, Nit. Gue nggak maksa lo buat bisa masak kok," ucap Gilang hangat. Nita diam. "Lagian gue juga siap masakin semua makanan buat lo," ucap Gilang sungguh-sungguh. Biar gue yang jadi chef buat lo, tambahnya. Nita tersenyum. "Makasih ya, Lang?" Gilang mengangguk dan tersenyum. Bel masuk berbunyi. "Udah bel. Gue masuk dulu," pamit Gilang berdiri dari duduknya. Nita mengangguk dan tersenyum. "Iya. Makasih ya sandwich-nya," balas Nita ikut berdiri. "Sama-sama. Kalo lo suka, besok gue bawain lagi," sahut Gilang tulus. Nita mengangguk antusias. Perasaannya tidak lebih menghargai cara Gilang tap. Ya udah. Gue masuk dulu, pamit Gilang lagi. Nita mengangguk. Gilang berlalu dari hadapan Nita. *** Kedua tangan Arial masuk ke dalam saku celananya. Ia berjalan menunduk di atas kotak-kotak keramik dan menghitungnya. Sudah enam puluh kotak keramik yang ia hitung. Namun tatapan itu mengarahnya dengan penuh rasa dendam dan sangat terasa ingin membunuhnya. Tatapan tajam Gilang terlihat jelas dalam beberapa detik. Arial mengangkat wajah sehingga tatapan itu saling bertemu. Arial pengurangannya dengan datar tapi lebih terlihat polos. Ia paham dengan perasaan Gilang, Kehilangan seorang Ibu karena diduga usia yang sangat kecil begitu membuat Gilang semakin pantas untuk membencinya. "Lang," panggil Arial. Namun Gilang tak acuh sambil mempercepat langkahnya untuk masuk ke dalam kelasnya. Arial mengembuskan napasnya perlahan. "Arial." Arial menoleh. Elsa terlihat sedang berjalan mendekat. Kenapa? tanya Arial datar. Elsa tersenyum. "Semangat," bisiknya penuh keyakinan tepat di dekat telinga Arial. Entah maksudnya apa. Arial termangu mendengarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD