"Mengemasi bahana lebih baik bertutur dengan insan yang tak lagi percaya pada penjelasan meski penuh kebenaran."
~ Arial ~
Perasaannya resah. Arial membuka pintu rumah, sunyi. Tidak ada satupun tanda-tanda kehidupan menyambutnya pulang. Kakinya melenggang masuk bersama semua penat di dalam otaknya. Kemudian menutup pintu rumah adat pelan-pelan.
Arial Membalikkan tubuhnya. Seorang wanita paruh baya berdiri tegak di tengah ruang tamu dengan tangan terlipat di depan d**a, sorot menunjukkan emosi kekecewaan, kemarahan dan penuh peringatan. Arial semakin kalut, tubuhnya membeku kaku seperti es. Tatapan Wulan sangat menghardiknya.
"Tadi Mama dapat telepon dari sekolahmu," ucap Wulan dingin.
“Maaf Bu. Arial bisa jelasin semuanya,” sahut Arial takut-takut jika ucapannya mendurhakai Wulan.
"Jelasin apa lagi? Ini sudah jelas!" Wulan mengangkat secarik kertas putih.
"Ma," pasrah Arial.
"Mama dan Papa memberikanmu yang terbaik untuk membesarkanmu. Tapi balasan ini kamu, Arial ?! Tidak cukup kah kamu mengecewakan Mama?" ucap Wulan mulai meluapkan emosinya yang sempat tertahan selama dua jam untuk menunggu kedatangan Arial dari kegiatan bimbingan belajarnya di sebuah yayasan setelah pulang sekolah.
Arial terdiam tidak bisa menyahut semua ucapan Wulan.
"Kamu sudah besar, kan?" tanya Wulan kemudian didirikan. "Kamu mengaku kalau kamu bukan anak kecil lagi, kan?" lanjutnya.
Arial masih diam.
"Jawab Mama, Arial!" seru Wulan naik satu oktaf.
"Iya, Ma," sahut Arial cepat.
"Kamu seharusnya tahu mana yang baik dan mana yang tidak untuk dirimu dan teman-temanmu," ucap Wulan prihatin.
"Maafin Arial, Ma," sahut Arial.
"Ingat! Mama tidak mau lihat kamu seperti ini lagi. Mama ingin, ini yang terakhir kamu mengecewakan Mama dan Papa. Jika kamu membuat Mama dan Papa kecewa, Mama nggak segan untuk memindahkanmu ke sekolah asrama lagi," ucap Wulan tegas.
"Iya, Ma," jawab Arial.
⚛️⚛️⚛️
Arial merebahkan tubuhnya yang terasa sangat lelah. Otot-ototnya kaku bahkan mungkin membeku. Kedua matanya sangat sulit dipertahankan untuk tetap terjaga. Alih-alih ingin tidur, Arial malah mendengar suara pesan beruntun di ponselnya.
Grup yang hanya dihuni oleh tiga orang ramai diisi obrolan dari Angga dan Kevin.
Kevin Aditya: Gue diskors tiga hari.
Angga Pratama: Gue juga. Senasib, ya. Wkwkwk.
Kevin Aditya: Kasian si @ArialBimaPradipta, noh! Besok kan dia harus bantu Bu Ambar ngasih tambahan jam pelajaran bagi siswa yang jago remed fisika.
Arial scrolling layar ponselnya saat memberi tahu.
Arial Bima Pradipta: Apaan lo, bawa-bawa nama gue ?!
Angga Pratama: Setdah! Gakal wkwkwk.
Kevin Aditya: Lo khilaf, Ga?
Angga Pratama: Eh, maaf! Typo guys! Hehehe.
Kevin Aditya: Oh!
Angga Pratama: Btw, maksud gue galak sekali.
Kevin Aditya: Halah. Ngeles lo!
Arial menyimpan kembali ponselnya di atas nakas. Cahaya senja masuk ke dalam kamar, menerpa sisi ruangan kotak berisi deretan buku di rak satu meter setengah. Tubuhnya memutuskan untuk bangkit dan pergi keluar menuju halaman belakang. Tapi bunyi pintu membuat Arial berbalik dan berjalan menuju ruang tamu, meski dengan malas lalu membukakan pintu untuk si tamu.
"Biar Mama yang buka," ucap Wulan dari belakang.
Arial Membalikkan badannya lalu mengangguk. Ia kembali melanjutkan langkahnya untuk kehalaman belakang.
Arial duduk bersandar pada ayunan taman. Pikirannya mengarah pada dunia antah-berantah. Matanya ia pejamkan erat-erat.
"Arial," panggil Wulan sambil berjalan mendekat.
"Kenapa, Ma?" tanya Arial menegakkan tubuhnya.
"Ada temanmu, perempuan. Dia bilang mau ketemu sama kamu," jelas Wulan.
"Siapa, Ma?"
"Elsa. Cepet samperin."
Makhluk itu lagi. Arial mendesah berat lantas dengan malas melangkahkan kakinya menuju ruang tamu. Setiap mendengar nama gadis tengil itu telinganya selalu berdenyut sakit.
"Hai," sapa Elsa berdiri dari duduknya saat Arial muncul lantas duduk di sofa utama.
Bi Tini datang dengan membawa satu gelas jus mangga. "Silahkan, Non," ucapnya sopan memberikan jus mangga yang dibawanya.
"Iya, Bi. Terima kasih," balas Elsa santun.
Bi Tini berlalu, Arial mulai membuka mulutnya dengan sebuah pertanyaan. "Ada apa?"
Gue kangen sama lo, jujur Elsa. Senyum jenakanya tak luput untuk ia tunjukan pada sosok di hadapannya yang selalu ia anggap sebagai pangeran.
Arial berdecih. "Maaf. Gue gak punya banyak waktu. Mending lo pulang," usirnya kemudian.
"Yah," keluh Elsa. Raut kecewa terpampang jelas di wajahnya.
Arial menghembuskan napasnya kasar. "Mending lo pulang. Gue ngantuk," ujarnya cuek.
"Al. Tau nggak, sih? Hukum Hooke adalah hukum atau ketentuan mengenai cinta dalam bidang ilmu rasa yang terjadi karena sifat elastisitas dari sebuah hati atau jiwa," oceh Elsa tidak peduli dengan Arial yang akan mendengarkannya atau tidak.
Arial only diam, dengan jengah ia memalingkan wajahnya dan enggan menatap Elsa.
Elsa tetap mengembangkan senyuman termanisnya meski terlihat jelas sikap Arial yang begitu dingin di depan matanya. Untung sayang, sabar ya jantung hatiku, batinnya mengelus d**a.
Arial berdecak. Mood-nya semakin hancur karena hadirnya gadis mungil nan tengil yang tidak tahu waktu.
"Al," panggil Elsa terdengar manja.
Arial tidak menyahutnya.
"Besarnya cinta menurut hukum Hooke akan berbanding lurus dengan rindu yang bersemayam di hati dari posisi normalnya," lanjut Elsa mengeluarkan semua rumus jitunya yang sudah ia hafal mati-matian.
"Sayang, di otak lo nggak normal," balas Arial acuh.
Elsa meneguk jus mangganya. Anggap saja balasan termanis dari mulut Arial.
"Mending lo pulang. Sebelum gue panggil satpam buat ngusir lo dari sini," titah Arial dingin.
Sambil menatap wajah datar Arial mengatakan tutup toples berisi keripik pisang. Lalu memakannya tanpa menghiraukan wajah Arial yang jelas terlihat semakin kesal.
“Gue hitung mulai sekarang. Satu sampe lima,” tutur Arial dingin.
“Lo kan udah pinter ngitung,” balas Elsa sengaja ingin membuat Arial semakin kesal.
Laki-laki itu mendengus sebal. Lalu menatap Elsa dengan tajam membuat gadis di hadapannya mengerjap-ngerjapkan berusaha bertahan dari tatapan mata Arial yang begitu menusuk.
"Jajannya enak. Hehehe," ucap Elsa terkekeh sambil mengangkat keripik pisang yang ia ambil.
"Bawa pulang aja. Bekas lo, gue nggak doyan," sinis Arial.
"Sekarang sih ngomongnya gak doyan. Lah, nanti pas kita udah nikah, lo bakal yang paling doyan sama makanan bekas gue," balas Elsa tidak takut sedikitpun. Mulutnya tetap melahap keripik pisang yang dicomotnya.
Arial berdecih. Benar-benar kesal dengan gadis tengil di hadapannya.
"Gue tau, lo cowok jaim," celetuk Elsa lalu diam-diam. "Gue juga tau kalo lo suka sama gue," godanya sedetik kemudian.
"Udah badan kecil, kelakuan tengil, mirip upil. Paket komplit," maki Arial.
Gadis itu mendesis sebal. "Lo sendiri. Udah badan kayak tongkat, kelakuan songong. Fiks! Mirip gaharu," balas Elsa tidak mau kalah dengan cacian dan makian yang Arial lontarkan take.
Arial berdecak. Gadis di hadapannya selalu bisa memutar balikkan ucapannya. "Mending lo balik! Sana balik!" usirnya penuh perhatian di setiap perkataannya.
Elsa berdehem. "Gue nggak akan balik sebelum lo bilang yang sejujurnya ke gue kalo lo juga suka sama gue!" balasnya tegas.
Arial memutar bola matanya. Dirinya sudah benar-benar jengah dengan kehadiran gadis tengil di kehidupannya. "Heh! Denger! Upil kudanil aja gak ada yang suka sama lo," makinya.
Sabar hatiku sayang, sabar. Suatu saat nanti, gue pastiin Arial bakal sering ngomong romantis kok, ucap Elsa di dalam hati. Gadis itu mengelus-elus dadanya lagi.
“Denger juga ya, Arial! Kadang gue suka susah bedain mana p****t kuda, mana mulut lo yang kalo ngomong suka pengen dihujat orang,” bidas gadis di hadapannya dengan menohok. Lalu segera bangkit kemudjan pergi. Namun tangan kekar itu berhasil melindungi langkahnya. Elsa merasakan napas Arial menghembus dan menerpa telinganya.
"Asal lo tau. Usaha lo itu ibarat bilangan yang dikali dengan nol," tajam Arial menciutkan nyali Elsa.
Gadis itu berbalik menatap Arial. "Gue tau. Lo suka sama gue," tandasnya. Sorot matanya semakin menantang kedua mata elang milik cowok di hadapannya. Hingga tatapannya saling bertemu beberapa detik sebelum Elsa mendaratkan ciumannya di bibir Arial dengan sekilas.
Arial tidak bisa merujuk pada apa-apa saat gadis tengil itu bibirnya. Ia hanya bisa termangu sambil menatap Elsa yang cepat-cepat kabur dari hadapannya.
⚛️⚛️⚛️
Hari pertama skorsing!
Pukul enam setengah tujuh pagi, grup chat trio sapi mulai ribut.
Angga Pratama: Gue pengin ke sekolah, guys!
Kevin Aditya: Ngapain?
Angga Pratama: Di rumah, gue kena omel nyokap mulu!
Arial Bima: Sabar. Ayo istighfar. Astaghfirullah.
Angga Pratama: Astaghfirullah.
Kevin Aditya: Astaghfirullah.
Beberapa saat kemudian.
Kevin Aditya: Lo curhat?
Angga Pratama: pidato!
Arial Bima: Cukup Rhoma!
Kevin Aditya: Tunggu. Gokil lo!
Angga Pratama: Latihan jadi pelawak. Wkwkwk.
Arial Bima: Luwak!
Kevin Aditya: Lucu lo, kayak anjing!
Angga Pratama: @Kevinitya anjingnya. Wkwkwk.
Arial Bima: Wekwekwek.
Arial menoleh saat terdengar decitan pintu kamar. Seorang gadis kesayangannya muncul di balik pintu. "Kak," panggilnya lembut.
"Hm."
"Dipanggil Papa," ucap Chika.
"Iya." Arial segera keluar dari kamar kamar dan menemui Iskandar-Papanya. Ia meninggalkan obrolan grup begitu saja.
Arial duduk bersama Wulan dan bersampingan dengan Iskandar.
"Kamu dapat skorsing?" tanya Iskandar mulai membuka topik utama tanpa basa-basi.
"Iya, Pa," jawab Arial.
"Berapa hari?"
"Tiga hari, Pa."
Pria paruh baya itu mengangguk-anggukan sebuah anggukan dan diam. "Terima kasih sudah membuat Papa malu," lanjutnya lantas pergi meninggalkan ruang makan. "Chika. Ayo!" serunya kemudian pada anak bungsunya.
"Aku duluan, Ma. Kak. Assalamu'alaikum." Chika mencium punggung tangan Wulan dan Arial kemudian segera melesat menyusul Iskandar.
"Wa'alaikumsalam," jawab Wulan.
"Wa'alaikumsalam," tambah Arial pelan nyaris tak terdengar. Pikirannya sedang tidak bisa berkompromi dengan ucapan Iskandar beberapa detik yang lalu. Ia sadar sudah sering membuat Iskandar malu karena kelakuannya.
"Al," panggil Wulan.
Arial menatap Wulan.
"Kamu lihat sendiri kan bagaimana Papamu kecewa?" ucap Wulan.
Arial mengangguk lemah. "Arial cuma nolong Kevin, Ma. Dia dikeroyok sama lima preman," ucap Arial. "Apa itu salah, Ma?" tambahnya mulai kebenaran.
Wulan terlihat hanya diam saja.
"Ma. Arial mohon. Mama percaya sama Arial," bujuk Arial atas kebenarannya. "Kalau Mama nggak percaya. Mama bisa tanya Angga dan Kevin," lanjutnya.
Jelas. Mereka temanmu. Pasti akan mendukungmu, balas Mama.
"Ma. Sumpah, Arial nggak bohong," ucap Arial meyakinkan.
"Arial. Ini yang kamu dapat berani kepada Mama?" tekan Wulan.
Arial menghembuskan napasnya perlahan. "Nggak, Ma. Arial cuma mau bilang yang sebenarnya."
"Iya-iya. Mama percaya sama kamu," ucap Wulan singkatnya tidak ingin ambil pusing kemudian berlalu.
Tolonglah, dengerin Arial kali ini aja, Ma, ucap Arial menyusul langkah Wulan.
“Maaf. Mama sudah telat,” respon Wulan cuek.
"Ma. Harusnya Arial nggak nolongin Kevin dan lebih memilih ngebiarin dia dikeroyok sama preman dari bikin Mama sama Papa kecewa kayak gini," pekik Arial lagi. Namun sayang, Wulan semakin berlalu dan terlihat tak begitu mempedulikan pekikkannya. Arial menghembuskan napas beratnya. Ia mengacak-acak rambutnya dengan kesal lalu segera kembali masuk ke dalam kamar.
⚛️⚛️⚛️
Hari kedua skorsing!
Arial duduk di atas permadani biru muda. Punggungnya disandarkan pada bale ranjang. Tatapan kosongnya melindungi jendela. Sudah seharian ia tidak keluar dari kamar kamar dan memilih untuk menyendiri di kamar.
"Kak," panggil Chika takut-takut akan menggangu Arial. Ia masih mengenakan seragam sekolahnya lengkap dengan sepatu dan tasnya.
Arial menyimpan buku yang dipegangnya di atas karpet. Ia masih menatap hijau di jendela.
Chika melihat ke arah teman di samping tempat tidur. Di sana masih ada satu piring makanan utuh. Arial benar-benar tidak menyentuhnya sama sekali.
"Kakak nggak makan?" tanya Chika penuh perhatian.
Arial hanya diam. Ia merasakan perutnya sangat keroncongan. Namun apalah daya, nasi yang seharusnya masuk ke perutnya tanpa sengaja ia muntahkan lagi.
"Nanti kalo Kakak nggak makan. Kakak bisa sakit," bujuk Chika lembut.
“Iya. Nanti gue makan,” balas Arial malas.
"Kak." Chika duduk disamping Arial.
"Hm."
"Dari tadi hem-ham-hem mulu!"
"Masa gue harus ngedongeng, sih," ketus Arial.
"Papa udah gak marah, kok."
"Iya tau."
"Papa beliin PS4 buat Kakak. Sekarang udah di pasang di ruang tengah."
Arial menoleh. Merasa tertarik dengan fakta yang diucapkan Chika. "Ya udah biarin," sahut Arial sok cuek. Meski sebenarnya dalam hatinya ia terlonjak girang.
"Ah, Kakak. Kalo nggak dipake, kata Papa mau dijual lagi, loh!"
Jual aja, tantang Arial memancing Chika agar kesal.
"Ih Kakak!" geram Chika.
Arial tertawa kecil.
"Nyebelin banget, sih!" seru Chika.
Arial berdecih. "Nyebelin juga, lo maunya deket-deket gue mulu!"
"Udah ah! Capek! Udah ditungguin tuh sama Papa di ruang tengah. Ngajak Kakak buat game pertarungan," ucap Chika bangkit.
"Papa udah pulang?" Arial menengadah ke atas, menatap Chika lekat.
"Udah, lah," jawab Chika jutek.
"Tumben. Biasanya dua hari baru balik," gumam Arial mengembalikan menatap jendela di luar jendela.
Chika berdecak sebal. "Papa ambil cuti tiga hari!"
"Oh."
Chika mengepalkan kedua hal tersebut dengan gemas. Ia benar-benar ingin meninju wajah Arial saat ini juga. Chika segera pergi saat ia tertangkap basah oleh tatapan tajam Arial.
Tak lama Chika keluar dari kamar Arial menyusul. Lalu segera menemui Iskandar di ruang tengah. Ternyata Chika tidak berbohong mengenai PS4, Arial melihat Iskandar sedang asyik bermain sendiri di atas karpet berwarna tosca dengan tongkat playstation di kantor.
"Chika," panggil Iskandar.
"Iya, Pa. Ada apa lagi?" sahut Chika di ambang pintu kamar.
"Bilangin ke Kakak kamu. Kalau Papa masih gak mau bicara langsung," ucap Iskandar.
"Iya, Pa." Chika segera masuk kamar mandi. Mengganti seragam sekolahnya Cipta kilat.
Arial hanya diam bersama wajah datar sedatar papan tulis. Ia masih berdiri di tengah ruang keluarga, menatap Iskandar yang sedang asyik sendiri bermain game. Tak lama kemudian Chika keluar dari kamar dengan pakaian santainya.
"Chika," panggil Iskandar lagi, masih sibuk dengan game-nya.
"Iya, Papa," sahut Chika dengan malas memutar bola matanya.
"Udah bilang belum?" tagih Iskandar.
"Belum, Pa."
"Bilang."
"Harus ya, Pa? Lagian Kak Arial juga udah denger, kok."
"Cepat bilang!"
"Masyaallah, Papa," ucap Chika nyaris memekik.
"Mau Papa potong uang saku kamu?"
"I-iya," pasrah Chika.
Tatapan Chika beralih pada Arial. "Kak," panggilnya kemudian. Arial tatapannya.
"Kata Papa 'Papa masih nggak mau bicara langsung sama Kakak'," ulang Chika atas pesan ungkapan.
"Hm," sahut Arial melenggang ke dapur, mengambil s**u kotak berisi satu liter di lemari pendingin lalu menuangkannya ke dalam gelas. Pikirannya seolah melayang terbang saat harus mengingat dua hari lalu ketika Elsa dengan begitu nekadnya mencium bibirnya meski dengan cepat gadis itu segera melesat.
Arial, tegur Wulan terdengar tegas.
Teguran itu seketika membuat Arial tersadar dengan s**u putih yang ia tuangkan ke dalam gelas sudah meluber ke mana-mana. "Kotoran!" gerutunya sebal.
Wulan menggeleng-gelengkan sebuah kepalanya. Berusaha menahan emosinya.
Melihat tatapan Wulan yang tak ubahnya macan betina yang siap memangsanya, Arial hanya bisa menggaruk tengkuknya dengan pasrah. “Maaf bu. Tadi nggak fokus,” pelan ucapnya.
"Mikirin apa sih, sampe nggak fokus gitu?" selidik Wulan cepat.
Seketika Arial gelagapan untuk menjawabnya. Bagaimana mungkin ia menceritakan semuanya tentang Elsa yang berani-beraninya mencium bibirnya. Ah, tidak! Lebih baik cari aman saja Arial! "Nggak, Ma. Nggak apa-apa, kok." Arial lantas menggeleng dan segera melesat untuk membersihkan lantai dengan kain pel.
Wulan hanya bisa berdecak sabar.
Arial menoleh pada Iskandar yang terlihat ajakannya untuk bermain playstation bersama. Arial hanya menatap papanya dengan datar. Tapi tatapan Iskandar jauh lebih menghardiknya.
Usai membersihkan lantai dan meneguk habis susunya, lalu ia menuju ruang tengah meninggalkan Wulan yang tengah sibuk membuat makanan ringan bersama Bi Tini. Ia duduk di samping Iskandar. Stick playstation lalu menyandarkan tubuhnya pada bagian bawah sofa. Kaki kanannya menekuk santai. Ia hanya menuruti saran permainan asyik yang dikatakan Iskandar.
Selama game berlangsung. Tidak ada suara teriakan yang terdengar gemas, apalagi greget yang keluar dari mulut Arial. Anak sulungnya benar-benar menyimpan mulutnya baik-baik dan hanya ada sunggingan senyum kecil di bibirnya ketika dirinya merasa terpepet selama permainan berlangsung.
Iskandar berhenti memencak-mencak stick PS-nya dan menoleh ke arah Arial yang masih fokus menatap layar monitor selebar 41 inci. Lalu memperhatikan anak sulungnya baik-baik, Iskandar baru menyadari sesuatu bahwa Arial adalah seorang anak laki-laki yang sangat berbeda dengan anak lelaki pada umumnya yang akan berteriak keras karena hanya gemas bermain game. Ia begitu irit Berbicara dan hanya akan Berbicara seperlunya saja.
"Kok berhenti, Pa?" tanya Arial melihat lawannya di layar monitor tidak ada gerakan sedikitpun ketika diserangnya tanpa ampun.
Iskandar masih menatap Arial. "Al," panggilnya.
Arial menoleh.
"Lulus SMA, kamu sudah menentukan ke mana kamu ingin lanjut?" tanya Iskandar serius.
Arial sadar dengan siapa dia berbicara. Ia tidak akan menjawabnya dengan dua kata yang akan berubah Iskandar menjadi kembali dingin, yaitu 'tidak tahu'. Karena ia paham itu jawaban jawaban! Arial diam diam. Meski sebenarnya ia belum menentukan kemana ia akan lanjut setelah tamat SMA. "Kehutanan. Boleh, Pa?"
Iskandar mengangguk-angguk kecil.
"Syukur-syukur jalur raport," tambah Arial terkekeh sadar akan sesuatu. Sejarah pertama kali ia ikut remedial beberapa minggu yang lalu.
"Baik lah. Papa dan Mama akan mempersiapkan semua keperluannya," balas sungguh-sungguh-sungguh.