"Nggak jarang, hal aneh adalah hal yang paling sering diingat."
~Angga~
Hari ketiga skorsing!
Arial duduk di ayunan taman belakang rumah. Kedua kakinya bersila santai. Tangannya sibuk mencatat rumus-rumus fisika yang menurutnya sulit untuk diimplementasikan. Di sampingnya terdapat satu tumpukan buku catatan dan beberapa lembar latihan soal.
Wulan menghampiri anak sulungnya lalu duduk di sampingnya tanpa permisi. Arial tetap fokus pada pena dan buku di hadapannya.
"Al. Mama mau tanya sama kamu, deh," ucap Wulan mengawali pembicaraan.
"Tanya apa, Ma?" Arial menatap mamanya lalu lepas pekerjaannya.
"Kok Elsa kamu tolak, sih? Dia kan cantik, baik, pintar," lanjut Wulan mengajukan pertanyaannya. Sebenarnya Wulan tahu konflik permasalahan Arial dengan Elsa. Namun yang pasti masalah masalah hati dan perasaan.
Arial diam diam. Merasa gelagapan dengan pertanyaan kekinian dari Wulan. "Nggak, Ma. Arial mau fokus bikin Mama sama Papa bangga," jawab Arial logis ala calon orang-orang sukses.
"Mama setuju, loh kalo kamu sama Elsa!" seru Wulan berharap anaknya mengenal cinta di bangku SMA dan bisa bangkit dari masa lalunya yang buruk.
"Arial nggak mau cepat-cepat nikah, Ma," sahut Arial datar lalu kembali melanjutkan kegiatannya yang sempat sampai, karena obrolannya dengan Wulan sangat tidak berfaedah.
Wulan mengangkat kedua alisnya. "Astaghfirullah, Arial. Siapa sih yang nyuruh kamu nikah cepat-cepat?"
"Mama, kan?" balas Arial cuek masih sibuk mencatat.
Maksud Mama, Mama pengin kamu punya pacar, jelas Wulan gemas.
"Nggak gaul banget sih, Mama pengin Arial punya pacar," ledek Arial membuat Wulan kesal sendiri.
"Biarin aja!"
"Pacaran itu dosa, Ma!"
"Mama punya foto kamu lagi cium Elsa, loh!" goda Wulan tak habis akal.
Arial menoleh. Seketika dirinya diselimuti rasa khawatir jika Wulan tahu kelakuan tengil itu yang berani mencium bibirnya. Lagipula tidak ada sejarahnya jika Arial yang memulainya. "Bohong!" tandasnya.
"Bener, Arial!"
"Ma, udah lah! Arial mau fokus sekolah dulu."
"Kamu yakin?"
Arial memutar bola matanya. Mood-nya terasa sangat sebal. "Iya, Ma," jawabnya malas.
"Elsa baik, loh! Cantik, lagi!" goda Wulan membuat Arial kesal.
"Ma," tegur Arial menahan diri.
"Tau nggak, sih?" Ucapan terimakasih. Arial masih tetap memalingkan wajahnya ke arah lain. "Mama itu, takut kamu homo," lanjut Wulan sedikit berbisik.
"Astaghfirullah, Ma!" pekik Arial tidak terima.
"Ya wajar aja kalo Mama khawatir, Arial!" Iskandar tiba-tiba muncul dan berdiri di samping Arial.
Arial memutar bola matanya kesal.
"Papa aja heran, cowok seganteng kamu masa nggak punya pacar. Nggak percaya diri ya," tambah Iskandar.
"Jangan-jangan kamu sama Kevin atau Angga homoan!" tebak Wulan heboh sendiri.
Ya Allah, sebut Arial ingat kepada Tuhannya.
"Pokoknya hari Minggu nanti, kamu harus bawa cewek ke rumah!" tuntut Iskandar tidak mau tahu.
"Iya, iya! Nanti Arial bawa ke rumah sekalian sama rumah korban!" balas Arial membereskan semua buku catatannya dan segera pergi.
"Pindahan, dong?" timpal Wulan pura-pura berpikir.
Arial tidak menyahutnya. Ia lebih memilih diam dan kemudian berlalu membawa buku-bukunya.
Iskandar duduk di samping Wulan-tempat yang tadi diduduki Arial. Wulan menyenggol lengan Iskandar, seketika yang disenggol menoleh. "Kira-kira mudanya siapa ya Arial begitu?" tanyanya pura-pura tidak tahu. Ia persil-ngetukkan dagunya sambil sok mikir.
"Ya nggak jauh beda kayak bapaknya," jawab Iskandar sangat sadar bahwa Arial begitu banyak kata sifatnya. Tapi, sosok Arial yang sangat pendiam.
*
Iskandar kereta api laju kendaraannya tepat di depan gerbang sekolah SMA Dewantara, sekolah penuh sejarah sejauh ini.
"Ya udah, Pa. Arial sekolah dulu," pamit Arial pada sang Papa sebelum keluar dari mobil.
"Iya. Sekolah yang bener," peringat Iskandar singkat.
Arial mengangguk singkat. "Assalamu'alaikum," salamnya dan mencium punggung tangan Iskandar kemudian keluar dari mobil.
"Wa'alaikumsalam," jawab Papa.
Arial berjalan masuk ke dalam area sekolah, lima menit sebelum bel berbunyi mengguncangkan para siswanya untuk segera mengambil langkah seribu adalah waktu yang sangat efisien untuk berjalan santai menuju kelas tanpa adanya gebrakan dari guru BK yang super sangar.
Langkahnya menyusuri lorong koridor yang cukup ramai, di sana banyak siswa dan siswi yang sedang asyik menunggu bel masuk berbunyi di bangku semen koridor depan kelasnya. Dua anak harimau ajaib yang sudah dikenalnya sejak jaman zigot saling balapan menuju ovum menyambutnya dengan tepat ketika Arial memasuki kelasnya.
"Kita ketemu lagi ya, guys! Setelah tiga hari kita LDR!" seru Kevin merangkul dua kecoa idaman setiap wanita sholehah.
"Bayangin aja. Gue kena skorsing dapet gampar dari emak gue!" heboh Angga menyambar bangkunya.
"Lo enak dapet gampar. Gue gak di kasih makan!" sambung Kevin getar.
"Ya elah! Sedih cerita amat lo," ledek Arial agak malas untuk mendengar cerita dari kedua sahabatnya.
"Sok lo!" balas Angga kesal.
Arial hanya tersenyum singkat.
Sepuluh menit kemudian Pak Tora datang dan dengan senang hati akan memberikan bahan ajar matematika. Pria paruh baya itu duduk di kursi paling empuk seantero kelas XII IPA 1.
Selamat pagi, sapanya.
"Pagi!!!" balas rakyat kelas XII IPA 1 berbarengan.
"Bagi yang masih diperbaiki untuk tugas Bapak minggu ini, kalian bisa belajar bersama Angga, Arial, Elsa, Nita, Juno, Susan, Fahri, dan Dino. Bapak beri waktu tiga hari untuk belajar bersama mereka, setelah itu Bapak beri soal ujian perbaikan nilai. Karena Bapak tidak ingin melihat nilai kalian hancur lagi ditugas kali ini, "jelas Pak Tora panjang lebar.
"Iya, Pak," sahut ahli remed matematika kompak.
"Bagus!" ucap Pak Tora mantap. "Oh ya Arial, Bapak mau kamu menjelaskan dua soal tugas kemarin. Kamu kan dapat nilai bagus," pinta Pak Tora kemudian, disusul dengan sorakan dan tepuk tangan Elsa yang super heboh itu sendiri.
"YEEEEEEYYYY!!!!! Semangat !!!!" seru Elsa tanpa sadar.
"Duh! Yang cintanya bertepuk sebelah tangan, tepuk tangan aja sendirian," cibir Mala sontak membuat gemuruh suara tawa dan sorakan.
"HHHHUUUUUUUU!!!!"
"Diam!" seru Pak Tora menyeramkan.
Elsa memutar tubuhnya ke belakang, menatap Mala dengan mata yang hampir keluar dari tempatnya, "Awas aja, lo!"
"Sudah-sudah! Elsa, Mala! Diam!" pekik Pak Tora menengahi sumber keributan.
Sedangkan Arial menatap Elsa penuh dengan petunjuk arah. Kedua mata tajamnya membuat pertahanan Elsa seketika roboh tanpa sisa. Elsa kembali merapikan duduknya.
Arial berjalan papan tulis lalu mulai mengikuti soal diikuti dengan jawaban jawaban dan menerangkannya dengan detail.
Dua soal berlalu dan telah Arial jelaskan bagaimana menyelesaikan soal tipe ruwet menjadi lebih mudah untuk implementasinya. Soal yang ketiga dan keempat pengalaman oleh Fahri. Sampai jam pelajaran pertama dan kedua yang berhasil menjalankan otak para ahli remed pun berlalu meninggalkan asap racun yang masih kuat di atas kepala mereka.
Beberapa siswa dan siswi memilih untuk segera meluncur keluar kelas dan menuju kantin. Namun sebagian siswa dan siswi memilih untuk menetap di kelas sampai jam pelajaran selanjutnya.
"Heh, lo!" teriak Elsa. Mala, emosinya sudah meletup-letup di sebuah kepalanya membuat semua orang menoleh ke arahnya. Suasana tegang mulai datang seperti tamu tak diundang.
Mala hanya berusaha tenang seakan tidak pernah terjadi apa-apa di harinya yang cerah.
"Maksud lo apa ?!" Elsa mendorong Mala hingga tersungkur ke belakang.
Mala bangkit dengan penuh amarah. Perasaannya tidak terima dengan perbuatan Elsa. Kenapa ?! Nggak terima ?! " lanjut Elsa kembali mendorong bahu Mala dengan kasar.
Mala mengatupkan rahangnya. Kedua sudah siap mengepal erat, dia siap meninju wajah Elsa bersama Kemarahannya.
"Apa sih yang bisa lo perbuat? Dasar payah!" cibir Elsa menyombongkan diri.
Mala siap-siap melayangkan tinjunya ke arah Elsa. Namun sebuah bentakan keras penuh wibawa hangatnya. "ELSA!"
Merasa dipanggil, Elsa menoleh ke arah sumber teriakan. Terlihat Arial melangkah mendekatinya. Elsa membungkam.
"Mampus lo!" tajam Mala setengah berbisik dan langsung dari hadapan Elsa meski belum puas. Biar lah Arial yang memberikan pelajarannya.
Elsa hanya diam tidak dapat berkutik. Meski sudah terapkan gatal ingin mencakar gadis yang menjawabnya paling menyebalkan sejagat sekolah.
Ikut gue, ucap Arial dingin.
"Ke mana?" tanya Elsa takut karena mata elang milik Arial begitu menusuk netranya.
Arial tidak menjawabnya dan malah berlalu begitu saja. Mau tak mau, Elsa harus membututinya di belakang.
"Eh buset! Tuh bocah mau disidang!" seru Juno pandangannya dari sebuah buku catatannya.
"Ya elah! Ribet lu!" sahut Kevin menyusul Arial.
"Ribet apaan ?! Gaje lo!" teriak Juno.
"Berisik!" Angga melempar bola kertas tepat mengenai wajah Juno. Lalu segera menyusul kedua sahabatnya.
Taman belakang sekolah sangat sepi, tempat yang paling pas untuk menyidang kasus Elsa di atas rumput hijau. Arial langkahnya tepat di bawah pohon kiara payung. Menatap Elsa dengan tajam penuh petunjuk arah.
"Lo tau, kelakuan lo udah keterlaluan?" Arial bersuara datar.
"Iya. Maaf," balas Elsa takut.
"Minta maaf sama Mala, lo kan punya salahnya sama si Mala, ngapain minta maaf sama Arial ?!" timpal Kevin enggan menatap Elsa lalu duduk santai di kursi taman.
Arial menghela napasnya. Lalu berkacak pinggang. Ia pun bingung bagaimana cara agar gadis tengil di hadapannya berhenti mengejar dirinya. "Mending lo berhenti ngejar-ngejar gue."
Seperti ada timbunan tanah yang menutupi lubang hidungnya. Elsa memejamkan matanya. Menarik napasnya lalu menghela sebentar. "Gue akan berhenti. Setelah lo jadi pacar gue," ujarnya segera berlalu. Menyisakan rasa sesak yang menyeruak.
Arial hanya menggelengkan sebuah kepala. Memilih diam tanpa harus menimpalinya macam-macam. Bersama kedua netranya yang tajam hanya menatap Elsa yang semakin menjauh. "Seharusnya lo yang gue perjuangkan," batinnya.
***
Arial berjalan memasuki ruang loker, ruangan kosong yang hanya dipenuhi deretan lemari dan bangku panjang tanpa sandaran kursi. Sudah tiga hari ia merindukan lembaran kertas warna-warni yang akan memenuhi lemari mungilnya. Arial membuka pintu loker membuat sebagian lembaran kertas berjatuhan akibat melebihi kapasitas lemari.
"Tunggu, buset! Banyak bener jimat lo!" seru Kevin tiba-tiba.
Arial terlonjak kaget. "Sialan. Ngagetin lo!" umpatnya.
"Sini, sini! Gue bantu bacain!" seru Kevin semangat.
"Buat lo aja. Bawa pulang." Arial memungut lembaran kertas warna-warni yang berjatuhan kemudian mengumpulkannya ke dalam kantong plastik berwarna hitam.
"Eh! Eh! Gak bisa gitu dong. Lo harus menghargai mereka yang udah susah payah nulis kata-kata indah buat lo!" seru Kevin gemas.
"Ya udah. Lo bawa pulang aja dulu. Ntar gue satu persatu di rumah lo. Kalo di rumah gue, ntar yang ada nyokap gue heboh, lagi," ucap Arial memperhitungkan segala sesuatu jika ia membawa pulang surat-surat itu.
"Lah, kenapa?" tanya Kevin heran.
"Nyokap gue berharap kalo gue punya. Sampe dikira homo," jawab Arial lesu.
"Hmmm." Kevin pura-pura berpikir jernih. "Gue malah yakin." Lalu mengantung kalimatnya berhasil membuat Arial setia menunggu ucapannya. "Kalo lo bener homoan sama si Angga," lanjut Kevin hati-hati. "Bener, kan ?!" seru Kevin seakan menuding pencuri.
Rahang Arial seketika mengeras. Ia mengangkat tinjunya tepat di depan wajah Kevin. "Mau bagian yang mana, nih?" tawarnya penuh seringai menyeramkan.
"Eh, Al. Santai aja, Al." Kevin menurunkan kepalan tangan Arial dengan baik. "Gue cuma bercanda kok," tambahnya jelas takut.
Arial menurunkan tinjunya lantas mendengus sebal. "Lo sendiri, ngapain jadian sama banci?" balasnya menyebalkan.
"Wah. Sialan lo!" geram Kevin.
"Enggak, tuh! Sampe banci nggak mau putus dari lo, gimana ceritanya ?!" balas Arial.
"Ngomongin apa sih kalian?" tanya Angga datang dari belakang.
"Tanya noh, Si Homo!" sahut Kevin disusul dengan tangan Arial yang mendarat bebas tepat di pipinya.
PLAKKK!!!
Kevin meringis. Menatap Arial dengan mata berkaca-kaca. "Bilangin lo, ke Tante Wulan. Biar mampus!" ucapnya penuh drama.
Bilangin aja, tantang Arial santai.
"TANTEEE, ARIAL NAKAAAL!!!" teriak Kevin. Namun mulutnya langsung dibekap rapat oleh Angga.
"Berisik lo, onta!" gemas Angga masih membekap mulut Kevin.
Kevin meronta kuat untuk lepas dari bekapan Angga.
"Homo lo ya, berdua?! Makanya kompak bikin gue mampus," ucap Kevin setelah terlepas dari bekapan Angga.
"Heh!" Arial mengarahkan wajah Kevin kehadapan wajah dengan kasar. "Liat muka gue, babak belur kayak gini karena siapa ?!" tanyanya menunjukkan sisa luka lebam di wajahnya yang masih belum sembuh.
"Ya elah. Gue cuma bercanda kali, serius sih lo!" Kevin menepis tangan Arial lalu mencampakkan tatapannya ke arah lain.
"Santai aja, bro!" Angga menepuk bahu kedua lalu dia menatap Arial. "Muka gue juga sama, babak belur. Tapi gue ikhlas karena demi solidaritas kita sejak masih di dalam kandungan," ucap Angga sok bijak.
"Udah lah! Mending lo bantuin gue beresin nih kertas," perintah Arial.
"Ya elah. Cuma kayak gini sih gampang!" ucap Angga menyepelekan.
"Gue heran, kenapa belakangan ini banyak yang ngatain gue homo. Nggak nyokap, nggak bokap, lo juga ikut-ikutan." Arial menunjuk Kevin di akhir kalimatnya.
"Masa?" tanya Kevin tak percaya sembari memunguti kertas warna-warni di lantai.
"Punya rencana apa lo, sama nyokap-bokap gue?" selidik Arial serius.
"Maksud lo?!" tanya Kevin menatap tajam Arial, suaranya naik satu oktaf.
"Guys, udah dong. Masalah sepele aja diributin," timpal Angga menengahi kedua sahabatnya yang tengah beradu mulut.
"Gue sih santai. Dia noh yang bawaannya sewot mulu!" balas Kevin langsung mendapat reaksi Arial yang mencengkram erat kerah kemeja putihnya.
"Astaghfirullah! Teman-teman, istighfar!" pekik Angga mencoba untuk menyelamatkan Kevin dan Arial.
Arial melepaskan cengkeramannya.
"Gue denger-denger. Lo lagi deket sama cewek XI IPA 3 ya?" tanya Kevin mengubah tema pembicaraannya dan melupakan kekesalan Arial kepadanya.
Angga terdiam. Ia berusaha memilih kata-kata yang tepat untuk menjelaskan semuanya mengenai Kesya, cewek paling imut sejagat SMA Dewantara. “Iya. Rencananya hari minggu gue mau nembak dia,” jelas Angga jujur.
"Lo mau bunuh anak orang?" canda Kevin tidak jelas.
Otak lo kayaknya harus dikasih saringan kopi, deh, timpal Arial datar.
“Iya, dah iya. Gue gesrek,” aku Kevin.
Otak lo emang geser, balas Arial dan Angga berbarengan.
Kevin hanya bisa mendengus sebal. Dua lawan satu memang sangat berat. Kevin memilih menyerah dan kembali pembicaraan. "Oke. Gue restuin. Yang penting PJ," ucap Kevin seenak jidat.
"Woy!!! Sadar dong lo! Gue berjuang sendiri, lagian restu dari lo, gue nggak butuh!" gebrak Angga kesal.
Kevin berdecak kesal. "Kok lo ngeduluin gue, sih?"
"Lo nya aja yang nggak laku!" cecar Angga.
"Laku kok dia, kan pacarnya Eike," tambah Arial tertawa geli diikuti oleh Angga yang tertawa terbahak-bahak yang.
Kevin mendengus kesal.
"Santai, Bos!" ucap Angga menepuk bahu Kevin.
Arial bangkit setelah memunguti kertas warna-warni dan memasukkannya ke dalam kantong plastik hitam. "Enaknya dibawa siapa? Lo atau lo?" tanya Arial menatap kedua bergantian.
"Gue aja. Biar gue amanin," unjuk Kevin.
"Oke. Besok gue ke rumah lo," balas Arial memberikan kantong hitam pada Kevin.
***
Bel pulang sudah berbunyi sejak setengah jam yang lalu, tapi Arial masih santai duduk di salah satu anak macan yang sedang les privat bersamanya.
"Yang bener dong, ah! Turunan sin itu cos!" seru Arial tak sabar.
"Santai dong, sewot mulu!" balas Kevin masih fokus pada bukunya.
Sementara itu Angga dengan menunggu menunggu Kevin menyelesaikan satu soalnya sambil menggigiti permen karet hingga berubah menjadi putih seputih, baju SD yang tidak diganti selama enam tahun.
"Lah, dari tadi gue jelasin nggak dengerin, apa ?!" sahut Arial gemas.
"Udah! Udah! Pulang!" teriak Kevin menyerah. Otaknya ingin meledak.
Arial hanya menatap tajam dengan gemas. "Lama-lama gue telen, lihat!" rutuknya.
"Telen aja!" balas Kevin terlihat menantang.
"Permisi." Nita masuk ke dalam ruang kelas yang hanya terisi oleh tiga anak sapi.
Ketiganya menoleh saat mendengar suara lembut dari Nita. Nita terlihat berjalan mendekat. "Ada yang mau gue tanyain sama lo," ucap Nita telepon rasa gugupnya pada Arial.
"Apa?" sahut Arial datar.
"Nama lo siapa?" tanya Nita hati-hati. Keringat di telapak tangan mulai bercucuran.
Arial diam menatap Nita dengan sangat datar, membuat gadis di hadapannya merasa salah tingkah. "Lo nanya atau mau kenalan?"
"Gu-gue nanya," jawab Nita gugup.
Di belakang Angga dan Kevin cekikikan menahan tawanya.