Perempatan Takdir

1567 Words
"Maukah kau menikah dengan ku?" ucap Rion. Segaris senyum mengembang samar. Mata indah yang dulu selalu digenangi air mata kini menyendu. Seolah menemukan titik kebahagiaan sesaat. Bolehkah seperti ini? Bolehkan gadis seperti Senora mencicipi kebahagiaan walau hanya sebentar saja? Ia tahu, bagaimana ujung dari pernikahan ini. Seperti kata Agares. Tak ada laki-laki normal yang mau dengan gadis bekas. Semuanya akan berakhir ketika Rion tahu bahwa Senora hanya gadis murahan yang menawarkan keperawanannya demi balas dendam. Menolak pun Senora tidak bisa!Kondisinya terhimpit oleh paksaan. "Baiklah...." Sahut Senora. Wajah Rion langsung sumringah. Gigi rapinya menampakkan diri sebagai imbas dari kelegaannya. Tapi sayang, itu tak bertahan lama! "Aku akan membicarakan hal ini dengan keluarga ku terlebih dahulu," lanjut Senora. Pundak Rion tampak mengendur. Senora memergoki raut putus asanya. Diam-diam bibirnya gatal ingin tersenyum. Ah, orang ini ternyata hanya badannya saja yang bongsor. Hatinya lunak sekali seperti bayi. "Baiklah," jawab Rion lesu. Walaupun begitu, besar kemungkinan pernikahan ini akan terlaksana. Bagaimana tidak? Karena pernikahan ini adalah titah langsung dari Kaisar negeri ini. Lalu sebagai gelar di bawahnya. Seorang Aslan Vermilion tidak bisa menentang hirarki kekuasaan. Toh, di balik pernikahan ini, justru ia mendapat banyak keuntungan. Salah satunya menjadi mertua seorang Duke yang mana akan ada banyak orang yang mengenalnya. *** Purnama membumbung tinggi. Membawa cahaya pada penduduk bumi. Gugus bintang Sirius nampak malu-malu terlihat. Menyaksikan pendar yang seakan sirna dengan sekali kedipan mata. Bunyi binatang malam bersorak ria. Seolah mengadakan pesta perayaan atas kehendak Dewa yang tak menurunkan berkah hujan seperti malam-malam sebelumnya. Kunang-kunang hinggap di antara pepohonan. Sinar di ujung perutnya seakan peri kecil yang tengah bermain dengan riangnya. Ah, malam ini sebenarnya bersuhu rendah. Sudah cukup membuat pori-pori terbuka lebar. Sejak dulu kekaisaran ini memang dipenuhi banyak misteri. Ketika musim panas tiba, siangnya akan terasa panas sekali. Namun ketika malam tiba, suhu dingin akan menerpa seluruh wilayah. Sampai-sampai titik terendah itu menimbulkan butiran salju di wilayah tertentu. Segelas anggur merah diletakkan pada meja bundar sebuah gazebo di tengah kebun bunga anyelir. Ini adalah kedua kalinya laki-laki itu meneguk habis minuman dengan tingkat alkohol rendah itu. Tangannya bergerak ringan mengisyaratkan pelayan wanita-si pengantar minuman untuk kembali. Sesuai tata karma bangsawan. Wanita pelayan itu menunduk patuh sebelum melangkahkan kaki. Warna merah yang berpadu dengan gelas bening itu diangkat tinggi hingga menutupi rembulan di jarak pandangnya. Seringainya mengembang samar. "Yang Mulia Putra Mahkota...." "Ah tidak! Teman baik ku, Agares." "Ayo bermain lagi. Seperti dulu...." Istana Lionel 11 tahun yang lalu. "Hei! Benda aneh apa lagi yang kau bawa kali ini?" ucap seorang bocah berusia sebelas tahun. Darah kaisar mengalir di tubuhnya. Seseorang yang kelak menempati singgasana Kekaisaran. Isandro Agares Lionel. "Bukan apa-apa. Ini hanya batu yang kebetulan memiliki warna indah. Kau percaya tidak, kalau batu indah ini berada di lingkungan kumuh pinggir kota?" ucap bocah laki-laki lainnya. Seorang Duke muda yang akan mewarisi gelar Duke suatu hari nanti. "Hemm.... Begitu." "Hanya itu?" sahut Rion menggebu. Membuat Agares sedikit tersentak. "Memang kau berharap respon seperti apa dari ku?" "Setidaknya kau menunjukkan ketertarikan sedikit atau apalah. Wajahmu terlalu datar," komentar Rion. Perlu digarisbawahi! Sudah menjadi rahasia umum bahwa dua bocah cilik yang kelak akan membawa gelar besar ini memiliki hubungan pertemanan yang cukup kuat. Rion selalu mengunjungi istana untuk bermain dengan Agares. Tapi, seperti biasa. Agares tampak tak berminat dengan rautnya yang selalu menunjukkan rasa jengah. Berbeda dengan Rion yang memiliki rasa pertemanan cukup kuat. Agares tak memiliki barang sehelai benang pun rasa itu. Karena baginya, Rion hanya penggagu ulung yang mengusik hari santainya. "Hah! Batu tetaplah batu. Memang apa yang menarik walau dia memilik warna mencolok?" "Sudah ku duga jawaban mu pasti seperti itu. Lihatlah baik-baik!" tunjuk Rion pada batu berwarna hijau bening itu. "Desa yang ku kunjungi tempo hari benar-benar jauh dari kata sejahtera-" "Kau berpura-pura menjadi rakyat biasa lagi ya?" potong Agares. "Sssst! Jangan keras-keras! Kalau ada yang tahu bisa gawat!" "Hobi mu merepotkan!" dengus Agares. "Yah, walaupun begitu. Aku menyukainya. Aku bisa melihat dunia dari sudut yang berbeda. Kenyataannya, dunia yang ku tempati jauh dari kata sempurna. Masih banyak orang-orang menderita berkat beberapa kebijakan. Itu sebabnya aku berharap kelak kau bisa membawa perubahan pada negeri ini," ucap Rion sumringah di akhir kalimat. "Hemm.... Membawa perubahan ya? Tapi.... itu terlalu merepotkan," gumam Agares sangat lirih. "Ha? tadi Yang Mulia bicara apa?" "Bukan apa-apa," seringai Agares mengembang samar. Tangannya meraih batu berwarna hijau itu. Ia amati lekat-lekat. Senyumnya mengembang kembali saat satu kesimpulan memenuhi otaknya. Agares tahu apa yang harus ia lakukan pada batu ini. "Hei Rion!" "Ya?" "Batu ini... kau temukan di desa mana?" "Desa Hariun di bagian timur kekaisaran." "Hemm.... Begitu. Baiklah. Ah! Bolehkan aku meminjam batu cantik ini sebentar?" Mata Rion membulat sempurna. Wah, ini pertama kalinya seorang Agares memuji benda yang ditemuinya. "Humm, dengan senang hati. Tapi jangan lupa dikembalikan ya? Sebab itu pemberian dari anak laki-laki yang ku temui di desa itu." Beberapa waktu setelahnya. Agares berhasil meyakinkan Kaisar untuk membuka pertambangan di Desa Hariun. Penduduk di sekitarnya pun terkena dampak signifikan. Yang tadinya tak punya apa-apa menjadi kaya raya. Mereka berbondong-bondong mengambil batu mineral yang dikenal sebagai ruby untuk dijual pada pemasok. Rion pun ikut merasa senang. Penduduk desa sudah memiliki pendapatan stabil. Rantai kemiskinan terputus sejak itu. Ya, setidaknya untuk saat ini sebelum tambang itu menemui masa akhirnya. Kira-kira hanya berselang satu tahun setengah sejak tambang ruby itu dibuka sebelum menemui akhir hayatnya alias habis. Perlahan penduduk Desa Hariun yang sudah terlena dengan harta mulai kehabisan akal. Pada dasarnya mereka hanya rakyat biasa yang tidak dibekali ilmu perekonomian mumpuni sehingga uang yang mereka dapat dari hasil tambang itu musnah hanya untuk kepuasan semata. Lambat tahun Rion menyaksikan kehancuran desa Hariun dengan mata kepalanya sendiri. Tingkat kriminal meninggi. Anak-anak yang senantiasa tersenyum cerah kini terikat rantai. Mendekam di balik jeruji besi. Mereka dijual oleh orangtuanya sendiri. Para gadis terpaksa menjual tubuh mereka hanya untuk secanting beras. Lalu, para laki-laki terpaksa ikut ke medan perang tanpa jaminan kembali. Keadaan desa Hariun justru lebih buruk dibanding dahulu. Sebelum mengebal batu mulia ruby Di tengah kemirisan itu. Seorang anak laki-laki menghampirinya. Dia lah anak yang menyambut kedatangan Rion dulu. Menyajikan air bersih di tengah kondisi kemiskinan melanda. "Hai, kita bertemu lagi ya?" sambut Rion sumringah. Ia bersyukur anak laki-laki ini tidak ia temukan di lelang p********n. "Pergi," gumam anak kecil itu. Nada suaranya gemetar hebat. "Apa maksud--" "KU BILANG PERGI!" teriak anak laki-laki itu. "Gara-gara Kakak. Ibu ku harus pergi di malam hari menemui b******n-b******n itu! Gara-gara Kakak. Adik ku...hiks. Adik ku kehilangan tangan kanannya karena nekat mencuri buah di pasar. Hiks." "Bukan hanya itu! Semua yang terjadi pada penduduk desa ini.... semuanya karena kakak! Andai Kakak tidak menyembunyikan identitas Kakak sebagai bangsawan. Mungkin... hiks... mungkin aku tidak akan semudah itu percaya pada Kakak. Semua bangsawan sama saja! Mereka serakah! Kakak juga serakah! Pergi!" TUK! Kerikil kecil itu berhasil mengenai d**a Rion. Ini tidak terasa sakit sama sekali. Bahkan ketika para warga beramai-ramai melemparinya batu sekalipun. Itu tak menimbulkan rasa sakit. Satu-satunya yang terasa hanya rasa bersalah. "Tuan Muda!" pekik seorang pengawal. Sebab dari tadi Rion hanya mematung tanpa berniat melindungi diri dari amukan warga. "Silahkan masuk ke kereta Tuan!" titah pengawal itu. Tanpa boleh melawan. Rion mengikuti instruksi. Ia pergi seperti pengecut. Meninggalkan penduduk desa yang hancur. "Kenapa jadi begini?" gumamnya lirih. Gejolak jalan bebatuan menggoyangkan tubuhnya di dalam kereta kuda. "Aku tidak bermaksud seperti ini...." "Ayah...." "Ibu...." Tangan gemetar itu meraih kalung liontin di lehernya. Adalah pemberian terakhir orangtua Rion yang telah meninggal beberapa tahun lalu karena kecelakaan kereta kuda di musim penghujan. "Agares!" "Jika dia tidak memulai pertambangan itu. Semua tidak akan terjadi!" "Ta-tapi...." "Aaarrrggghhh!" "Jika aku tidak menunjukkan batu itu. Agares pasti tidak akan membuat pertambangan!" "Semua ini.... gara-gara aku?' "Ha...hahaha.... tidak... bukan aku...." Frustasi menyelimuti Rion. Ia cengkram kuat-kuat kepalanya. Kadang Tertawa seperti orang gila. Kadang menghabiskan waktu seharian di kamar untuk melamun. Sejatinya Rion adalah anak baik. Ia punya hati yang lembut dan belas kasih. Ketika seseorang oh tidak! Saat ini ia membuat seisi desa hancur karenanya. Ia tak bisa membendung goncangan batin itu seorang diri. Orangtua yang senantiasa menghiburnya, kini telah tiada. Lantas di mana ia mendapat bentuk penghiburan. "Ah.... Agares. Aku masih punya dia. Dia pasti punya jalan keluarnya. Ya! Dia kan pintar," gumam Rion. Dengan langkah lunglai ia pergi ke istana. Berharap Agares yang sudah ia anggap sebagai sahabat mampu mengobati luka menganga di hatinya. Tapi... bukan harapan yang terwujud. Melainkan keputusasaan yang menerjunkannya ke palung terdalam. "Rion, kau ini tidak sadar juga ya? Memang kenapa aku repot-repot membuat tambang itu jika bukan untuk menghancurkan mu?" DEG! "A-apa maksud--" "Sekarang bagaimana? Kau menikmati rasa putus asa dari kebencian yang dilayangkan penduduk itu?" "Y-Yang Mulia. Tidak! A-Agares. Ke-kenapa kau bicara aneh. Apa maksud mu?" Agares mendekat. Pandangannya layu dengan ekspresi sedih. Ia merangkul Rion. Mengusap punggungnya untuk menenangkan. Lalu ia menyeringai seraya berbisik, "Rion, biar ku beri tahu sesuatu. Beginilah sifat bangsawan seharusnya!" DEG! "T-tidak...." "Ini tidak benar...." Keadaan Rion semakin memburuk. Mentalnya dibuat hancur. Ia sering jatuh sakit. Bahkan seisi mansionnya beranggapan bahwa Duke muda ini akan menyusul kedua orangtuanya. Siang itu Rion berjalan santai di halaman belakang. Ia melihat sekumpulan semut memangsa belalang sembah. Tanpa sadar senyumnya mengembang samar. "Dia bisa kalah juga ya. Padahal ukurannya lebih besar." Seringainya mengembang. "Ternyata begitu.... ah, sekarang aku tahu." Beberapa tahun setelahnya. Duke Rion Alastair mengajukan diri menjadi komandan perang. Atas izin sang Kaisar. Duke muda itu berangkat setelah acara debutantenya dan kembali membawa kemenangan. Berkat usahanya. Ia dijuluki sebagai pahlawan perang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD