Sinkronisasi Rasa

1315 Words
Meja klasik dengan taplak rajut di tepi ujungnya menjadi pembatas antara cangkir teh dan meja kayu berkualitas tinggi. Hangatnya secangkir teh membuat tubuh kembali ke suhu normal akibat hujan deras yang mengguyur di luar sana. Senora melirik singkat laki-laki yang tengah duduk di depannya. Bulu matanya tampak lentik menjuntai ketika dirinya menundukkan kepala hendak meminum teh. "Tuan, apa kau tidak ingin melepas jubah itu?" sanggah Senora. Siapa yang tidak risih dengan penampilannya sekarang? Ia berada di ruang tamu dengan jubah besar melilit tubuh. Yah, Senora akan menyampingkan perihal etika dan sopan santun karena orang di depannya memiliki gelar yang lebih tinggi. Rasanya justru tidak sopan jika Senora yang menggurui. "Ah, kau benar." Teh yang baru saja diminum Senora hampir keluar kembali saat jubah itu berhasil disingkirkan. Ah, bagaimana tidak? Posturnya benar-benar sempurna. Seolah usahanya selama di medan perang tak sia-sia. Bukan hanya prestasi sebagai imbalan penghargaan namun bentuk tubuhnya pun mampu memunculkan hasrat terpendam bagi wanita terpolos seantero kekaisaran sekalipun. Ehem! Sadar Senora! Sadar! Bagaimana bisa seorang Senora kalah hanya karena bentuk tubuh seorang laki-laki? Yah, kalau disandingkan dengan tubuh Agares. Senora yakin perbandingan tak berbeda jauh. Seumpama pedang, Duke Rion itu layaknya pedang yang dipoles setiap hari sedangkan Agares? Dari bibitnya saja sudah indah. Tidak terbayang bagaimana kalau dipoles juga. Ah! Kenapa Senora memikirkan ini sih?! Memalukan sekali! Untuk menenangkan pikiran, Senora meneguk tehnya kembali. Tentu saja pandangannya sengaja menunduk agar ia tak ketahuan diam-diam memperhatikan bentuk tubuh laki-laki. Mau dikatakan apa Senora nanti? Seorang bergelar Lady of Lionel ternyata orang m***m. Hah! Itu tidak akan terjadi! "....dy?" "Lady? "Lady Senora?" "Ha? I-iya?" Oh Dewa! Maafkan Senora yang tidak bisa menghilangkan hawa nafsu ini! Senora menelan kasar salivanya ketika melihat laki-laki di depannya berdiri. Jangan salahkan Senora jika pikirannya saat ini dipenuhi semak belukar. Sebab, ketika Duke muda ini berdiri. Bagian menonjol di antara selangkangannya sejajar dengan mata Senora. Pundak Senora mengendur. Wah! Malam pertama dengannya pasti akan melelahkan. Ayolah Senora! Sadar! Berkat pemikiran kotor itu Senora langsung berdiri. Mensejajarkan diri dengan Rion. Yah, walaupun percuma saja karena tinggi Senora hanya sebatas pundaknya. "A-ada yang perlu saya bantu Tuan?" Sial! Bagaimana bisa santai di situasi ini? "Tidak, hanya saja.... jangan memanggil ku Tuan. Umur kita tidak jauh berbeda. Lalu...." Rion menjeda kalimatnya. Matanya mencuri lirik dengan tangan aktif menggaruk tengkuk belakang. "Ki-kita akan me-menikah bukan?" DEG! Apa? Kenapa sikapnya begitu? Lalu, apa-apaan wajah bersemu merah itu? Benarkan dia Duke Rion Alastair yang diwaspadai oleh Agares? W-wow! Di luar dugaan! Dia memerah hanya karena menyebutkan kata menikah. Ah, ini agak menarik. Tapi, Senora harus tetap siaga. Karena baginya tak ada orang yang benar-benar tulus di dunia ini. Senora terkekeh singkat. Ia tampilkan senyum menawannya seindah mungkin. Ya, ini adalah senjatanya. Beruntung ia mewakili wajah cantik ibunya sehingga banyak wanita yang menaruh iri pada gelar dan juga kecantikannya. "Baiklah, kalau begitu bagaimana aku bisa memanggil mu?" tanya Senora. Membuang formalitas dan berbicara santai. "Seperti biasa saja." "Kalau begitu apa aku boleh memanggil mu Duke Rion?" "Yah, kedengarannya lebih normal dibanding memanggil Tuan." "Hehe, baiklah, Duke Rion." "Ah, aku lupa mengatakan ini. Aku minta maaf tiba-tiba hadir kemari tanpa undangan maupun pemberitahuan," bungkuknya sopan. Tunggu! Tunggu! Seorang Duke membungkuk pada gelar di bawahnya? Oh, ini benar-benar kejadian langka. Dan juga kata maaf yang terlontar dengan mulusnya itu. Wah, sangking tercengangnya. Senora bahkan hampir menganga. "Tidak apa-apa Duke. Setahu ku Duke kemari bersama kepala keluarga Vermilion. Jika Ayah mengizinkannya itu berarti kedatangan Duke kemari adalah hal resmi yang harus kami sambut." "Yah, ku pikir ini begitu mendadak. Maksud ku... pernikahan ini," ucapnya malu-malu. Tak elak mata itu menatap ke segala arah tak berani bertemu tatap dengan Senora. "Jika kau merasa keberatan aku tidak masalah untuk membatalkan perjodohan ini." Seketika Senora teringat dengan mendiang Ibunya. Dulu, ketika ibunya masih hidup, ia tidak pernah memaksakan Senora dalam hal apapun. Semuanya murni keinginan Senora sendiri. Kenapa hal itu teringat lagi sekarang? Yah, walau dia berkata demikian. Realita tetaplah realita. Resiko yang akan Senora terima jika menolak perjodohan ini lebih besar ketimbang berpura-pura menerimanya dengan senang hati. "Duke Rion, mau kah melihat bunga wisteria bersama ku? Lambang keluarga Vermilion adalah Bunga Wisteria. Begitupun aku sangat menyukainya. Ku harap Duke Rion juga akan menyukainya. Sebab, jika kita menikah nanti. Aku ingin menanam setidaknya satu bunga wisteria di pekarangan rumah mu." Seulas senyum mempesona menunjukkan eksistensi keindahannya. Di balik wajah malu-malu bersemu itu ada detak jantung yang berpacu di luar jalur normal. "Bo-boleh. Aku tidak keberatan mau kau menanam seribu bunga pun." Mereka sama-sama melempar senyum. Beriringan menuju taman belakang. Di mana pohon bunga wisteria tumbuh. Hamparan warna keunguan memenuhi indra penglihatan. Bola mata sehitam malam itu membola sempurna dengan pemadangan di depannya. Tak sepatah pun keluar dari bibir itu. Hanya tatapan takjub tanpa suara yang bisa Senora prediksi dari diamnya seorang Duke ini. "Duke Rion?" panggil Senora. "Silahkan duduk di sini," lanjutnya mempersilahkan. Kursi panjang yang terbuat dari bahan besi dengan bentuk aestetik Senora persilahkan. Rion pun megikuti interuksi. Ia daratkan dirinya pada kursi itu. "Taman ini menakjubkan," komentarnya. "Aku tidak pernah melihat hal seindah ini. Saat kau menjadi istri ku nanti. Apakah taman belakang rumah ku akan terlihat seperti ini juga? Kalau iya, aku benar-benar ingin menjadikan mu istri ku secepatnya." DEG! Senora terkekeh. Pipinya bersemu merah atas ujaran Rion yang berkata tanpa jeda. Dia yang bertanya dia juga yang menjawab. Lucu sekali! "Semuanya butuh proses Duke," celetuk Senora. Hal itu membuat Rion gugup. "Ah, kau benar. Ahaha, seharusnya aku memikirkan hal itu. Padahal banyak yang melamar mu tapi aku sudah percaya diri duluan. Payah sekali," gumamnya di akhir kalimat. "Sebenarnya Duke tidak perlu merasa berkecil hati. Sebab, dari sekian banyak lamaran. Mungkin milik Duke lah yang akan ku pertimbangkan. "Benarkah?" sahutnya cepat. "Hehe, yah, walaupun sebenarnya aku bertanya-tanya. Kenapa seorang pahlawan berjasa seperti mu akan berakhir dengan ku. Jika menilik sejarah dan kebanyakan kasus jaman dahulu. Seorang berjasa seperti mu akan dijodohkan dengan orang yang lebih pantas. Mungkin seorang putri dari kerajaan seberang?" ucap Senora menyelidik. Tak serta merta ia melonggarkan kewaspadaannya. "Ah kalau itu aku juga tidak tahu. Setelah ekspedisi ke benteng bagian timur. Tiba-tiba Yang Mulia Kaisar memanggil ku. Dan berakhirlah keadaan seperti sekarang. Kau mengerti maksud ku kan? Yang Mulia itu sulit ditebak jalan pikirnya. Yah, tebakan yang menuju kebenaran hanya... mungkin Yang Mulia ingin membalas jasa ku dengan menikahi seorang Lady of Lionel seperti mu," senyumnya syahdu. "Hehe, yah, itu masuk akal." "Tapi... aku benar-benar tidak ingin memaksakan mu. Aku akan mengikuti kemauan mu jika kau menolak sekali pun," tanggapnya cepat. Rautnya menampakkan rasa sungkan. Seolah ia baru saja melakukan kesalahan fatal. Ah, kenapa jadi seperti ini sih? Senora tidak mendapatkan apapun dari jawaban itu. Alibinya kuat dan itu terdengar masuk akal. Lalu.... Entah kenapa, Senora jadi meragukan perkataan Agares yang memintanya untuk berhati-hati. Dilihat dari mana pun juga, Duke Rion Alastair adalah orang lurus. "Ah, iya! Apa pipi mu sudah membaik? Itu masih tampak merah." Senora meraba pipi kirinya. Rasa sakit masih terasa. Ah, benar juga! Duke Rion menyaksikan semuanya tadi. Baguslah! Sediit demi sedikit kekejaman keluarga busuk ini akan terbongkar publik. "Ini sudah tidak terasa sakit. Tadi Caroline sudah mengompresnya sebentar." "Senora.... Ah, maaf. Apa aku boleh memanggil nama mu saja?" "Tidak masalah." "Apa kau baik-baik saja? Tinggal di sini? Yah, sebenarnya aku tidak ingin ikut campur. Tapi melihat interaksi dengan adik mu tadi. Ku pikir kau tidak sedang baik-baik saja. Kau... apa kau baik-baik saja di sini?" DEG! Ah, sejak kapan terakhir kali pembelaan seperti ini Senora dapatkan? Sejak kapan perasaan terlindungi ini menyapa relung hatinya? "Terimakasih atas kekhawatiran mu. Aku baik-baik saja di sini. Tapi.... Jika suatu hari aku bisa keluar dan bebas. Aku mungkin akan setia menghitung hari di mana aku dibebaskan." "Kalau begitu...." Rion berlutut di depan Senora. Pandangan mereka bertemu. Menunjukkan keyakinan kuat. "Lady Senora Vermilion. Akan ku pastikan hari kebebasan mu segera tiba. Tapi sebelum itu aku ingin memastikan satu hal." DEG! DEG! DEG! "Maukah kau menikah dengan ku?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD