Pada saat matahari berada tepat di atas kepala, Raja Rawindra yang mengenakan mahkota di kepalanya tampak siap untuk mengadili para pencuri. Rawindra menyuruh Ponda untuk membawa para pencuri ke aula utama.
Ia juga mengutus Pranaya untuk memanggil Hara dan Haridra yang berada di kamar untuk ikut serta dalam mengadili para pencuri. Ponda dan Pranaya segera melaksanakan titah yang diberikan.
Pranaya pun tiba tepat di depan pintu kamar Haridra.
"Selamat siang Pangeran Haridra, ini Pranaya.” Pranaya memberi salam sembari mengetuk pintu kamar Haridra.
Haridra yang mendengar suara ketukan pintu itu segera membukakan pintu lalu bertanya, "Ada apa, Paman?”
"Saya diperintahkan oleh Raja Rawindra untuk memanggil Pangeran dan Putri Hara ke aula utama."
"Aku akan segera ke sana bersama dengan Kak Hara. Paman bisa kembali terlebih dulu, aku yang akan memanggil kakak di kamarnya." pinta Haridra.
"Baik Pangeran, saya akan kembali terlebih dahulu." Balas Pranaya, ia pun beranjak pergi dari kamar Haridra.
Haridra mengganti pakaiannya dengan pakaian berwarna putih dengan corak biru, ia tampak berwibawa dengan mengenakan pakaiannya itu. Setelah mengganti pakaiannya pun ia bergegas menuju kamar Hara untuk mengajaknya ke aula bersama.
Haridra yang masih agak jauh dari kamar Hara, melihat kakaknya yang sudah siap menunggu di depan pintu kamarnya.
Hara yang melihat adiknya dari kejauhan pun menghampirinya.
"Ayo! Kita segera pergi ke aula bersama." Seolah sudah tahu bahwa Haridra ingin mengajak ia pergi bersama.
Haridra hanya tersenyum kecil sambil mengangguk mengiyakan.
"Mari." Ajak Haridra. Mereka berdua bergegas menuju aula.
Setibanya Hara dan Haridra di aula, tampak sudah ada banyak orang yang berkumpul termasuk juga para pencuri yang akan diadili. Jyotika, Ankara dan Mahabala juga sudah berada di sana.
Setelah setibanya Hara dan Haridra, Raja memulai pengadilan tersebut. Ia mulai menginterogasi para pencuri.
"Apakah kalian benar yang mencuri persediaan makanan di perbatasan?" Rawindra mulai bertanya.
"Memang benar kami berniat untuk mencuri, tapi kami terpaksa mencurinya dan kami juga termakan hasututan seseorang untuk melakukan tindakan pencurian itu." jawab salah seorang pencuri sembari membela diri.
"Apakah yang memberi tahu kalian bahwa masih ada banyak makanan di penyimpanan adalah dia?"
Semua mata para pencuri menoleh ke arah Ankara seketika.
"Iya benar, dia adalah orang yang memberi tahu kami bahwa di dalam gudang penyimpanan masih terdapat banyak makanan." Tutur salah satu pencuri, dan diangguki oleh pencuri yang lainnya.
Sontak saja hal itu membuat Ankara menunduk malu seakan tak memiliki wajah lagi, sial sekali hari ini ia dipermalukan di depan umum, sebuah keberuntungan karena dirinya telah dimaafkan oleh Hansa.
"Kami mohon pada Anda, jangan berikan hukuman mati karena istri dan anak kami menunggu kepulangan di rumah. Kami berjanji akan meninggalkan perbatasan jika Yang Mulia memberikan pengampunan nyawa." tambah salah satu pencuri sembari menangis sesegukan.
"Ayah, mereka hanya terpaksa melakukan pencurian. Mereka hanya dihasut oleh paman Ankara, selain itu mereka juga sedang dalam krisis kelaparan." Hansa yang tak tega hati melihat para pencuri itu pun angkat bicara.
"Benar Ayah, ini tidak sepenuhnya salah mereka, jika mereka dihukum maka Paman Ankara juga pantas mendapatkan hukuman yang sama." Hara ikut meyahut dengan spontan sambil menatap sinis Ankara.
Merasa tak suka dengan apa yang Hara katakan, Ankara pun langsung melirik Hara dengan tatapan tajam, tapi Ankara tak berani bicara karena itu dapat memperkeruh suasana.
Raja Rawindra tampak memikirkan perkataan anak-anaknya, ia berpikir bagaimanan para rakyat berpendapat mengenai dirinya bila ia bertindak tidak adil? Selain itu, ia juga sudah bersumpah ketika dilantik menjadi raja agar selalu mengedepankan keadilan dan kebajikan.
"Baiklah, ku bebaskan kalian! Aku juga akan membangun perkampungan yang lebih layak untuk para pengungsi dan juga menyediakan alat-alat pertanian untuk kalian bercocok tanam. Tapi untuk memberikan suaka yang sah, aku harus memikirkannya lagi matang-matang karena itu berurusan dengan kepemerintahan." Setelah berpikir dengan jernih, Raja Rawindra pun setuju untuk memberi mereka tumpangan tinggal sementara waktu.
Terlihat kebahagiaan terpampang di wajah para pencuri, setelah mendengar ucapan yang Rawindra katakan.
"Terima kasih, Yang Mulia Raja! Terima kasih juga untuk Pangeran Mahkota Hansa."
Mereka bersujud di kaki Hansa sembari mengucapkan pujian-pujian kepada Hansa yang telah membantu mereka dalam membujuk Raja. Di sisi lain, Mahabala yang tampak geram tak suka melihat nama Hansa di agung-agungkan.
“Jangan bersujud padaku, Paman. Aku hanya melakukan tugasku sebagai pangeran, angkat lah kepala kalian!” Hansa meraih pundak salah satu dari mereka agar mau berdiri.
"Ponda, tolong siapkan persediaan makanan dan juga peralatan pertanian, bawa juga para pekerja untuk membangun rumah-rumah yang layak untuk mereka tinggali." Rawindra menyuruh Ponda untuk mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan.
"Dan kalian kembali lah bersama Ponda ke perbatasan." Tambahnya pada para pencuri.
Ponda segera pergi untuk mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan, diikuti oleh para pencuri, Raja Rawindra pun membubarkan pertemuan setelah semuanya usai.
"Masalah pencurian ini telah selesai, kalian semua bisa kembali beraktivitas seperti biasanya."
Semua orang telah pergi dari aula kecuali Hansa, ia masih berada di sana karena ingin menyampaikan rencana kerjasamanya dengan Laksmana pada sang ayah.
"Semua orang telah keluar dari aula, apa yang membuatmu masih berada di sini?" Tanya Rawindra pada anaknya itu.
"Ayah, ada suatu hal yang ingin aku sampaikan padamu."
"Apa yang mengganggu pikiranmu, Nak? Bicara lah."
"Aku berencana membuat hubungan kerja sama dengan Kerajaan Janardana dalam hal pangan. Aku dengar dari pangeran Laksmana Bahwa tahun ini mereka kekurangan gandum akibat gagal panen yang disebabkan oleh hama belalang." Hansa juga menjelaskan semua rencananya dengan Laksmana pada ayahnya.
Rawindra yang mendengar penjelasan Hansa tampak senang dan menyetujui rencananya.
"Itu merupakan langkah yang bagus, tidak hanya pangan saja, kita juga bisa menjalin kerja sama dalam bidang militer, kita bisa menukar gandum dengan beberapa senjata dari Janardana. Mengingat mereka memiliki pandai besi yang tak ada duanya," tutur Rawindra dengan senyuman di wajahnya.
Hansa tersenyum cerah karena idenya mendapat persetujuan dari sang ayah.
"Aku akan membicarakannya lagi pada Raja Janardana dan mengurus hal ini." Raja Rawindra mengangguk-anggukkan kepalanya, sebuah ide yang bagus melakukan kerja sama dalam hal pangan.
"Terima kasih, Ayah. Hansa pamit undur diri jika begitu." Hansa pamit undur diri dan pergi meninggalkan ruang aula.
Rawindra segera menulis surat yang berisi ajakan atas kerjas ama antar dua kerajaan. Ia menyuruh Pranaya untuk menyampaikan surat itu langsung pada Raja Shangkali, karena pemimpin kerajaan Janardana itu sudah pulang ke kerajaannya sejak latihan gabungan dimulai.
Pranaya segera berangkat menggunakan kuda tercepat milik istana Narayana.
Tak berselang lama, Pranaya hanya butuh waktu sekitar satu jam dengan mengendarai kuda terbaik milik istana, ia pun sampai di kerajaan Janardana.
Ia disambut dengan baik oleh penjaga gerbang yang mengenali identitasnya sebagai panglima perang Narayana.
"Selamat datang di istana kami, Panglima Pranaya?!" Sambut salah seorang penjaga gerbang di sana.
"Terima kasih, apakah Raja Shangkali ada di istana?"
"Beliau sedang berada di dalam istana bersama Putra Mahkota Laksmana, saya akan mengantarkan Anda ke dalam."
Penjaga pertama mengantar Pranaya sedangkan penjaga lainnya mengamankan kuda berharga milik pria itu.
Kaki-kaki Pranaya melintasi sebuah lorong panjang yang terhubung dengan aula istana, matanya menerawang ke sekitar bangunan yang ia lewati, tampak kekaguman tersinar dari matanya karena ternyata lingkungan istana Janardana tak jauh bedanya dengan Narayana. Di sepanjang lorong, ia melihat patung-patung para pemimpin Janardana sepanjang sejarah.
Tak lama ia berjalan sampai lah ia di aula utama istana, benar saja di sana duduk lah Raja Shangkali bersama Putra semata wayangnya.
Pembicaraan ayah dan anak itu diinterupsi oleh kedatangan penjaga gerbang yang membawa seorang pria bertubuh tegak di belakangnya.
"Salam hormat hamba pada Raja Shangkali dan Putra Mahkota Laksmana. Di sini saya membawa Panglima Pranaya yang berasal dari Narayana untuk menghadap Raja." Prajurit itu melirik Pranaya untuk mempersilahkannya menghadap Raja.
"Saya Panglima Pranaya, diutus oleh Raja Rawindra untuk memberikan surat ini." Sambil menjulurkan surat itu pada Raja Shangkali.
Raja Shangkali mengambil surat itu dari tangan Pranaya. "Baiklah aku menerima surat dari Raja Rawindra ini dan akan membacanya dulu. Panglima Pranaya, kau boleh beristirahat terlebih dahulu di istana ini."
"Tidak bermaksud untuk menolak tawaran Raja Sangkali, saya hanya diutus untuk menyampaikan surat dari Raja Rawindra dan akan langsung kembali melanjutkan tugas yang lain."
"Baiklah, aku akan segera mengirimkan balasan secepatnya, dalam waktu dekat utusanku akan berkunjung ke kerajaan Narayana. Penjaga, antar Panglima Pranaya menuju gerbang."
"Baik, Yang Mulia." Segera penjaga gerbang mengantar Pranaya ke pintu gerbang.
Setelahnya Pranaya kembali dengan menunggangi kuda yang ia bawa dan menuju ke Narayana. Sedangkan di saat Pranaya kembali, Raja Shangkali membuka isi surat yang berisi tentang ajakan kerja sama dalam bidang pangan dan juga militer.
"Apa yang tertulis di dalam surat itu, Ayah?"
"Tertulis di dalam surat, ajakan dari Raja Rawindra untuk menjalin hubungan kerja sama." jawab dari Shangkali menanggapi putranya itu.
"Mengenai militer dan gandum?"
"Benar, kau sudah tahu?"
"Aku sempat membahasnya dengan Pangeran Hansa beberapa waktu lalu."
Raja Shangkali membaca tuntas surat tersebut dan ia pun senang dengan ajakan kerja sama ini.
"Aku setuju dengan hubungan kerja sama ini, Laksmana mau kah kau mengirimkan balasan ke sana? Ayah juga ingin mengirimmu sebagai penanggung jawab diplomatik ini."
Laksmana mengangguk patuh. "Laksmana selalu bersedia dengan perintah ayah."
Sembari berdiri ia pamit undur diri, Laksmana segera menjalankan perintah ayahnya, ia bergegas mengambil secarik kertas dan pena untuk menulis pesan balasan ke Narayana. Isi surat itu sesuai apa yang ayahnya katakan, bahwa Raja Shangkali menyetujui ajakan kerja sama tersebut, dan Laksmana sendiri yang akan menjadi penanggung jawab diplomatik.
Sementara itu, Ponda yang diberi tugas oleh Raja Rawindra untuk membangun kembali desa yang layak ditinggali para pengungsi di perbatasan juga telah sampai di perbatasan. Ia membutuhkan waktu yang cukup lama untuk sampai di perbatasan karena ia harus mempersiapkan peralatan pertanian dan juga pertukangan.
Tak lupa ia juga membawa para pekerja bangunan bersamanya, para pekerja itu disewa oleh pihak kerajaan untuk membangun kembali desa para pengungsi.
Di sana tampak keluarga para pengungsi yang dibawa ke istana Narayana menunggu kepulangan mereka.
"Anakku, maaf telah meninggalkanmu untuk beberapa hari ini." Salah seorang pencuri berlalu memeluk anaknya.
"Tak apa ayah, asalkan ayah bisa kembali dengan selamat, aku sudah sangat bersyukur." Tangis sang anak sembari sesegukan.
"Siapa kalian dan apa yang akan kalian lakukan? Jika kalian datang untuk menggusur tempat ini, tolong berikan kami waktu untuk mencari tempat yang akan kami tinggali selanjutnya." Tanya seseorang yang diyakini sebagai kepala desa di perbatasan itu, ia mengira Pranaya dan para pekerja akan menggusur rumah rumah mereka.
"Dia adalah Ponda, kepala prajurit kerajaan Nayarana, kedatangan mereka justru sebaliknya, mereka datang membawa peralatan bangunan untuk membenahi rumah-rumah kita agar lebih layak huni." Kata salah seorang pengungsi yang dibawa ke istana tadi.
Para pengungsi yang mendengar hal itu tampak tak percaya pada awalnya, tetapi setelah mendengar dari penjelasan Ponda mereka menjadi bahagia.
"Raja Rawindra memang tidak bisa memberi kalian semua suaka, tetapi Raja memberikan alat pertanian dan bibit untuk kalian gunakan bercocok tanam, Raja juga memerintahkanku bersama para pekerja untuk membangun kembali perkampungan kalian agar lebih layak huni."
Semua para pengungsi tak terkecuali anak anak mengucapkan syukur mereka dengan kebahagiaan terpampang di wajah mereka, mereka mengucapkan terima kasihnya pada Ponda.
"Terima kasih, Tuan Ponda.”
"Tidak, kalian tidak sepatutnya berterima kasih padaku. Jika kalian ingin, berterima kasihlah pada Raja Rawindra dan Pangeran Putra Mahkota Hansa, karena mereka lah yang memberi perintah untuk membangun perkampungan." Ponda memberi penjelasan.
"Aku dan para pekerja akan memulai pembangunan pada sore ini juga, sebelum malam tiba."
"Baik, Tuan. Kami juga akan membantu pekerja dalam pembangunan perkampungan kami.”
"Ya silahkan saja jika kalian ingin membantu, itu akan mempercepat pembangunan rumah rumah kalian." ucap Ponda sembari menyuruh para pekerja memulai pembangunan.
Di saat para pekerja sedang mengerjakan tugasnya yang juga dibantu oleh para pengungsi. Ponda melihat dari arah jalan Kerajaan Janardana tampak seorang pria mengendarai kuda dengan memakai lencana berlambang kerajaan Narayana, itu adalah Pranaya yang kembali dari Janardana setelah memberikan pesan pada Raja Shangkali.
Pranaya yang juga melihat Ponda pun menghentikan langkah kudanya.
"Selamat sore, Panglima Pranaya." Sambut Ponda sembari menunduk hormat.
"Apa yang kau lakukan di sini, Ponda?"
"Saya diperintahkan oleh Raja Rawindra untuk membangun kembali perkampungan para pengungsi agar lebih layak huni, dan juga membuat ladang untuk mereka bercocok tanam." Jawab Ponda.
Pranaya hanya mengangguk dan akan melanjutkan perjalanan pulangnya.
"Baiklah, aku akan kembali ke Narayana, lakukan tugasmu dengan baik."
"Siap." jawab tegas Ponda.
Tak menjadi rahasia lagi bahwa Ponda sangat mengidolakan Pranaya, walaupun usia Pranaya dan Ponda sama-sama dua puluh lima tahun, tetapi Pranaya dapat menjadi Panglima perang Narayana di usia yang terbilang muda, karena Pranaya memiliki ilmu tenaga dalam yang sangat kuat. Hal itu jugalah yang memotivasi Ponda untuk mengikuti jejak Pranaya.
Setelah kepergian Pranaya, Ponda melanjutkan tugasnya, ia tampak sudah mulai cukup akrab dengan pengungsi, ia juga berdiskusi dengan para pengungsi tentang bentuk bangunan apa yang sesuai dengan tipe mereka agar nantinya nyaman untuk ditinggali.
Satu jam setelahnya di istana Narayana, Pranaya yang telah sampai segera melapor pada Raja Rawindra setelah ia mengistirahatkan kuda yang ia tunggangi. Ia bergegas menuju kamar Raja untuk menemui Rawindra yang saat itu sedang beristirahat di dalam kamarnya.
"Permisi Yang Mulia, ini saya Pranaya." Salam Pranaya sembari mengetuk pintu.
"Masuklah, apakah kau telah melaksanakan tugas yang aku berikan?"
"Sudah Yang Mulia, saya menghadap Yang Mulia untuk melaporkan bahwa surat yang anda amanahkan pada saya telah diterima langsung oleh Raja Shangkali. Dalam waktu dekat juga utusan Raja Shangkali akan datang membawa surat balasannya." Ucap Pranaya.
"Kau telah bekerja dengan sangat baik, kau kuperbolehkan istirahat, untuk hari ini cukup untuk pekerjaanmu." Perintah Raja Rawindra.
"Saya pamit undur diri." Pranaya itu pun keluar dari kamar Raja Rawindra dan pergi untuk beristirahat.